KORANRM.ID - Sejak perilisan film Jurassic Park pada tahun 1993, gagasan menghidupkan kembali hewan punah selalu menjadi perdebatan menarik di dunia sains dan masyarakat umum. Teknologi genetika yang semakin canggih membuka kemungkinan bahwa hewan seperti mammoth berbulu, harimau Tasmania, bahkan dinosaurus dapat kembali menghuni Bumi. Namun, apakah ini benar-benar dapat dilakukan? Bagaimana caranya? Kapan teknologi ini akan terwujud? Dan yang lebih penting, apa dampaknya bagi ekosistem dan etika ilmiah?
BACA JUGA: Museum Adityawarman, Jejak Peradaban Minangkabau di Bumi Taratak
BACA JUGA: Kejayaan Majapahit Sebuah Kisah Peradaban yang Memikat
Konsep menghidupkan kembali spesies yang telah punah, atau yang dikenal sebagai de-extinction, terutama didasarkan pada tiga metode utama: kloning, rekayasa genetika, dan pembiakan selektif. Teknologi kloning menggunakan DNA yang masih tersisa dari spesies yang telah lama punah dan mengimplantasikan inti sel tersebut ke dalam sel telur kosong dari spesies yang masih hidup. Hal ini pernah dicoba pada spesies kambing liar Pyrenean ibex, yang berhasil dikloning dari jaringan beku tetapi hanya bertahan hidup selama beberapa menit.
Metode kedua, rekayasa genetika, menggunakan teknologi CRISPR-Cas9 untuk memasukkan gen spesifik dari spesies punah ke dalam DNA spesies yang masih ada dan memiliki hubungan dekat. Misalnya, proyek Colossal Biosciences saat ini sedang berusaha menghidupkan kembali mammoth berbulu dengan mengedit genom gajah Asia agar menyerupai mammoth. Dengan demikian, bukan benar-benar mammoth yang dihidupkan kembali, tetapi hibrida yang memiliki karakteristik mirip.
BACA JUGA:Kerajaan Kutai Jejak Peradaban di Tanah Borneo
Metode ketiga adalah pembiakan selektif, yang dilakukan dengan mencari spesies yang memiliki kemiripan dengan spesies yang telah punah dan secara bertahap menyilangkan individu yang memiliki ciri khas spesies yang hilang. Cara ini lebih cocok untuk hewan yang baru punah dalam beberapa abad terakhir, seperti harimau Tasmania atau merpati penumpang.
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah kita bisa menghidupkan kembali dinosaurus seperti dalam Jurassic Park. Sayangnya, kenyataan tidak sesederhana di film. DNA memiliki umur simpan yang terbatas dan akan terurai seiring waktu. Studi menunjukkan bahwa bahkan dalam kondisi terbaik, DNA hanya bisa bertahan hingga sekitar 1,5 juta tahun sebelum menjadi terlalu rusak untuk direkonstruksi.
Dengan dinosaurus yang punah sekitar 65 juta tahun lalu, kemungkinan mendapatkan DNA yang cukup utuh sangat kecil. Meskipun demikian, beberapa ilmuwan mencoba pendekatan lain, seperti memodifikasi gen burung modern (yang merupakan keturunan langsung dinosaurus) untuk menciptakan sesuatu yang mirip dengan nenek moyang prasejarah mereka.
Menghidupkan kembali hewan yang telah punah bukan hanya masalah teknis tetapi juga etis dan ekologis. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa spesies yang dibangkitkan bisa bertahan hidup di ekosistem modern? Misalnya, jika mammoth berbulu berhasil dihidupkan kembali, mereka akan membutuhkan lingkungan tundra yang luas, yang saat ini telah berkurang akibat perubahan iklim. Selain itu, bagaimana keseimbangan ekosistem akan terpengaruh dengan kehadiran kembali spesies yang telah lama punah?
BACA JUGA:Kampung Purba, Situs zaman batu, Awal Peradaban Nenek Moyang Manusia Di Pulau Jawa
Dari segi etika, beberapa ilmuwan berargumen bahwa sumber daya yang digunakan untuk proyek de-extinction sebaiknya dialihkan untuk melindungi spesies yang saat ini hampir punah. Selain itu, ada pertanyaan moral tentang apakah manusia memiliki hak untuk menciptakan kehidupan hanya karena kita memiliki teknologi untuk melakukannya.
Meskipun banyak kemajuan telah dibuat dalam bidang genetika dan bioteknologi, kebangkitan kembali hewan yang telah lama punah masih memiliki banyak tantangan. Para ilmuwan optimis bahwa dalam beberapa dekade ke depan, kita akan melihat kebangkitan spesies yang baru saja punah, seperti merpati penumpang atau harimau Tasmania. Namun, untuk spesies yang telah punah selama ribuan tahun seperti mammoth berbulu, para peneliti memperkirakan bahwa kita masih membutuhkan waktu setidaknya beberapa dekade lagi sebelum teknologi ini dapat diterapkan sepenuhnya.
Meskipun teknologi de-extinction terus berkembang, realisasi Jurassic Park dalam bentuk menghidupkan kembali dinosaurus kemungkinan besar tetap menjadi fiksi ilmiah. Namun, untuk spesies yang lebih modern, kemajuan dalam teknologi genetika dapat memberikan harapan bahwa suatu hari nanti, kita bisa melihat hewan yang telah lama punah kembali berjalan di Bumi. Namun, implikasi ekologis dan etis dari teknologi ini tetap menjadi bahan diskusi yang penting. Apakah kita benar-benar ingin mengubah sejarah alam? Ataukah kita sebaiknya lebih fokus pada perlindungan dan konservasi spesies yang saat ini terancam punah?
Referensi:
• Shapiro, B. (2015). How to Clone a Mammoth: The Science of De-Extinction. Princeton University Press.
• Church, G., & Regis, E. (2012). Regenesis: How Synthetic Biology Will Reinvent Nature and Ourselves. Basic Books.
• Pimm, S. L., et al. (2014). "The biodiversity of species and their rates of extinction, distribution, and protection." Science, 344(6187), 1246752.
• Lunt, D. H., et al. (2013). "The limits of ancient DNA research: The issue of DNA degradation and contamination." Trends in Genetics, 29(3), 76-83.
Kategori :