Cara Otak Membentuk Kebiasaan dan Bagaimana Kita Bisa Memperbaikinya

Cara Otak Membentuk Kebiasaan dan Bagaimana Kita Bisa Memperbaikinya.--screnshoot dari web

KORANRM.ID - Setiap hari, tanpa disadari, manusia mengulangi pola perilaku yang sama: memeriksa ponsel setelah bangun, menyeduh kopi sebelum memulai hari, hingga menggulir media sosial saat merasa bosan. Pola ini bukan kebetulan, tapi hasil kerja kompleks sistem di otak yang dirancang untuk menghemat energi kognitif melalui kebiasaan. Otak membentuk kebiasaan agar manusia dapat menjalani hidup dengan efisien tanpa harus mengambil keputusan dari nol setiap waktu. Namun, di balik efisiensi ini, tersembunyi risiko: kebiasaan buruk pun dibentuk dengan cara yang sama dan bisa mengendalikan hidup bila tak disadari.

Proses terbentuknya kebiasaan dimulai dari yang disebut habit loop, atau lingkaran kebiasaan, yang terdiri dari tiga komponen: isyarat (cue), rutinitas (routine), dan hadiah (reward). Isyarat adalah pemicu yang memberi sinyal pada otak untuk masuk ke mode otomatis. Setelah isyarat datang, otak mengeksekusi rutinitas tertentu, lalu diakhiri dengan imbalan berupa rasa nyaman, lega, atau puas. Misalnya, rasa bosan (isyarat) bisa memicu kebiasaan menggulir media sosial (rutinitas) demi memperoleh distraksi menyenangkan (hadiah). Semakin sering pola ini terulang, semakin kuat jalur saraf yang terlibat, membentuk semacam “jalur cepat” di otak yang disebut chunking.

BACA JUGA:Gowes Sehat, Hidup Sehat Mengungkap Segudang Manfaat Bersepeda

BACA JUGA:Telur, Sumber Protein Pagi yang Tak Tergantikan

Neurosains menunjukkan bahwa bagian otak bernama basal ganglia sangat berperan dalam proses pembentukan kebiasaan. Ketika kebiasaan telah terbentuk, otak tidak lagi perlu berpikir keras untuk mengeksekusinya—bahkan saat tubuh lelah atau pikiran penuh tekanan. Inilah sebabnya banyak orang tetap melakukan kebiasaan buruk meski sadar akan dampaknya. Namun, kabar baiknya adalah bahwa otak juga fleksibel, atau neuroplastik—artinya, kebiasaan bisa diubah, jalur saraf bisa dibentuk ulang, dan pola hidup bisa diperbaiki.

Untuk memperbaiki kebiasaan, langkah pertama adalah kesadaran. Tanpa menyadari isyarat yang memicu kebiasaan, sulit untuk memutus siklusnya. Jurnal harian, refleksi diri, atau mencatat pemicu emosional seperti stres dan bosan bisa membantu mengenali akar kebiasaan buruk. Langkah kedua adalah mengganti rutinitas—bukan sekadar menghilangkannya. Misalnya, jika merokok menjadi pelampiasan saat stres, gantikan dengan napas dalam atau berjalan kaki singkat, yang memberikan imbalan serupa: ketenangan. Langkah ketiga, perkuat sistem dukungan: lingkungan yang mendukung perubahan sangat mempengaruhi keberhasilan. Letakkan benda positif dalam jangkauan (buku, air putih, catatan motivasi), dan batasi akses pada pemicu kebiasaan negatif.

BACA JUGA:Warga Bandar Jaya Siap Gelar Aksi Demo yang Lebih Besar Jika...

BACA JUGA:Irit BBM? Rahasia Mengendarai Motor dengan Konsumsi Bahan Bakar Minimal

Motivasi memang penting, tapi sistem lebih penting. Kebiasaan bukan soal niat sesaat, tapi pola jangka panjang. Maka perbaikan harus difokuskan pada membentuk sistem yang mempermudah perilaku baik dilakukan secara konsisten. Dengan memahami cara kerja otak dalam membentuk kebiasaan, kita tidak lagi merasa dikendalikan oleh rutinitas lama, tapi justru menjadi arsitek perubahan diri yang sadar dan terarah. Karena perubahan besar selalu dimulai dari keputusan kecil yang dilakukan berulang.

________________________________________

Referensi:

1. Duhigg, C. (2012). The Power of Habit. Random House.

2. Clear, J. (2018). Atomic Habits. Avery Publishing.

3. Graybiel, A. M. (2008). “Habits, Rituals, and the Evaluative Brain.” Annual Review of Neuroscience, 31:359–87.

4. Wood, W., & Neal, D. T. (2007). “A New Look at Habits and the Habit–Goal Interface.” Psychological Review, 114(4), 843–863.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan