Perempuan di Balik Perkebunan Sawit: Kisah, Peran, dan Tantangan Mereka

Perempuan di Balik Perkebunan Sawit: Kisah, Peran, dan Tantangan Mereka--screenshot dari web.
KORANRM.ID - Mengungkap kontribusi dan perjuangan kaum perempuan sebagai tenaga kerja maupun pengelola kebun. Sebelum matahari memecah langit di pagi yang basah oleh embun, perempuan-perempuan sawit sudah memulai hari di ladang. Dengan gerakan cekatan, tangan mereka menyemai benih, merawat bibit, menyemprot pupuk, hingga mengumpulkan tangkai buah yang terlepas di tanah. Kehadiran mereka tak sekadar menopang alur produksi—namun juga menyulam cerita tentang kekuatan, ketangguhan, dan karya yang sering luput dari sorotan. Di balik setiap kilo Crude Palm Oil (CPO) yang dihasilkan, terdapat perjuangan perempuan yang telah membentuk industri dengan dedikasi penuh, sekaligus berhadapan dengan tantangan struktural yang tak ringan.
Peran perempuan dalam perkebunan sawit mencakup aspek formal dan informal, berakar kuat dalam rantai agribisnis. Data menunjukkan bahwa di banyak kebun di Indonesia, mereka bertugas menyemprot pupuk dan pestisida, mengumpulkan buah luruh, serta membantu proses penanaman dan perawatan tanaman muda earthworm.org. Meskipun demikian, mayoritas masih terikat status kerja tidak tetap—menyebabkan ketidakpastian dalam jaminan sosial, akses asuransi kesehatan, dan perlindungan upah. Kondisi ini membuat perempuan rentan, meski andil mereka sangat signifikan dalam produktivitas.
Era pertumbuhan ekspansi perkebunan menyasar wilayah-wilayah terpencil sejak 1980–2000, khususnya di Kalimantan dan Sumatra. Di sana, perempuan mulai muncul sebagai penopang tenaga kerja utama di kebun. Namun, dalam banyak struktur organisasi, mereka tetap dibatasi ruang pengambilan keputusan dan akses pelatihan. Studi ilmiah terkini menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di kebun kecil masih rendah dan sering berbanding terbalik dengan adopsi praktik agrikultur berkelanjutan sciencedirect.comdegruyterbrill.com.
BACA JUGA:Teknologi Pengolahan Sawit Ramah Lingkungan, Menuju Industri Berkelanjutan
Di tengah dinamika ini, muncul wajah baru perempuan sawit yang bergerak dari akar rumput ke posisi kepemimpinan. Riset di Riau mengungkap pembentukan gender committee di kehutanan swasta yang memfasilitasi diskusi, mengadvokasi kesetaraan upah dan perlindungan bagi perempuan pekerja knepublishing.com. Langkah ini menghasilkan perubahan kecil, seperti jadwal tugas yang lebih fleksibel, pelatihan keselamatan penggunaan pestisida, dan dialog terbuka terkait pelecehan tempat kerja.
Namun, perjuangan mereka tidak berhenti di bentuk organisasi baru. Dalam usaha kecil di Kalimantan Tengah, perempuan petani kecil membentuk kelompok tani untuk menerapkan praktik Good Agricultural Practices (GAP). Bersama penyuluh agrikultur dan lembaga riset, mereka mempelajari teknik sanitasi tanaman dan penggunaan input pertanian efisien. Pengaruhnya terlihat nyata: produksi meningkat 20% dalam dua musim panen sekaligus mengurangi biaya pupuk dan limbah researchgate.netdegruyterbrill.com.
Kisah lain terlihat di Kapuas Hulu, di mana pemantauan waktu kerja menunjukkan bahwa perempuan memiliki beban ganda—bertugas di ladang sekaligus merawat anak. Struktur keluarga tradisional memberi tekanan tambahan, namun sekaligus turut mendorong perempuan belajar manajemen keuangan dan administrasi usaha tani pmc.ncbi.nlm.nih.gov. Mereka menjadi manajer informal yang mahir dalam mencatat pengeluaran dan keuntungan tanpa menyandang titel resmi, menciptakan perubahan di rumah dan ladang.
Di tingkat korporat, perempuan makin sering menapaki posisi manajerial sebagai eksekutif kebun sawit. Studi dari Malaysia mencatat isu fisik, stereotip dan keselamatan: mereka harus menunjukkan kompetensi tinggi agar diterima dalam tatanan maskulin agrikultur tropis myfoodresearch.com. Meski demikian, wawancara menunjukkan minimnya peluang promosi bagi perempuan dan lingkungan kerja yang kurang ramah gender.
Ancaman risiko lingkungan dan kesehatan muncul nyata dalam kehidupan sehari-hari. Paparan pestisida dan herbisida menjadi bagian pekerjaan mereka, yang kerap tanpa jaket pelindung atau alat keselamatan memadai. ILO bahkan menyebut bahwa pekerja perempuan di sektor sawit berada dalam posisi paling rentan terhadap kondisi kerja yang buruk ilo.orgearthworm.org. Itulah mengapa upaya pembentukan pendidikan kesehatan dan keselamatan kerja menjadi prioritas—tetapi implementasinya masih jauh dari merata.
Di medan sosial budaya, perempuan mengalami kontradiksi ganda. Publik kadang memuji mereka sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, namun di kala yang sama menolak menyertakan mereka dalam forum-forum penting petani atau rapat desa. Kasus di Kalimantan Barat menunjukkan perempuan sering menyuarakan keberatan terhadap pembukaan lahan baru, dan dipandang sebagai penghambat ekspansi. Namun mereka melakukan perlawanan halus—dengan tidak hadir dalam rapat formal, tetapi membentuk forum informal: pesta masyarakat, arisan hingga musyawarah kecil untuk menjaga hutan dan menguatkan kearifan lokal edepot.wur.nl.
BACA JUGA:Digitalisasi dalam Manajemen Kebun Sawit, Menuju Efisiensi dan Keberlanjutan
Narasi perubahan dimulai saat perempuan mulai diberi ruang pendidikan dan akses pelatihan. Di wilayah Riau, program lembaga CSR perusahaan sawit menyediakan pelatihan manajemen kebun dan administrasi digital untuk perempuan muda. Hasilnya menggembirakan—mereka mampu membuat laporan produksi, menganalisis biaya panen, dan ikut menentukan arah bisnis perusahaan kecil lokal. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya pekerja, tapi pelaku bisnis yang kompeten.
Menghubungkan cerita lokal dan tren global, muncul inisiatif dari organisasi perempuan agrikultur tingkat nasional dan internasional. Dalam publikasi World Bank tahun 2022, disebutkan bahwa pemberdayaan perempuan petani kecil sawit bisa meningkatkan produksi nasional hingga 10% jika disertai akses ke pelatihan, kredit usaha, dan pemasaran en.wikipedia.orgen.wikipedia.org. Dukungan multidimensional ini, jika berjalan efektif, bisa membalik pola ketimpangan gender dan meningkatkan kesejahteraan keluarga di pedesaan.
Simposium regional juga mempertemukan perempuan petani dari berbagai provinsi: Sumatra, Kalimantan, Sulawesi. Dari pertemuan di Pontianak 2024, dihasilkan deklarasi perlindungan keselamatan kerja dan akses pendidikan bagi anak-anak pekerja sawit. Inisiatif ini didukung MoA dan LSM, menandai gerakan kolektif untuk menjadikan suara perempuan bagian dari kebijakan nasional.
Dalam waktu dekat, perempuan akan menjadi ujung tombak sawit berkelanjutan. Ekspansi kebun tidak lagi identik dengan deforestasi; melainkan dengan agroforestry, konservasi air, dan produksi tanpa limbah. Perempuan yang mendalami GAP dan praktek ramah lingkungan—dari pelatihan—akan menjadi pionir dalam perubahan ini. Keberadaan mereka adalah modal sosial untuk membangun sistem agrikultur inklusif dan berkelanjutan.
Capaian ini harus diiringi regulasi lebih kuat. Perlu perlindungan hukum terkait upah, jaminan sosial, dan keadilan gender. Hak atas cuti menstruasi dan perlindungan kesehatan reproduksi juga harus diakui, karena banyak perempuan tidak berani meninggalkan ladang saat menstruasi padahal mereka bekerja keras. Sertifikasi RSPO, ISPO, atau GAP akan menjadi lebih bermakna jika memasukkan standar inklusi gender dan perlindungan pekerja perempuan.
Mengakhiri narasi ini, bayangkan saban malam saat para perempuan pulang dari kebun, mereka menenteng puluhan kilogram sawit dan cerita harapan di pundak. Mereka mengelola keluarga, pendidikan anak, dan mimpi masa depan yang cerah dalam bisikan embun senja. Mereka bukan hanya penopang produksi, tetapi pilar transformasi sosial dan ekonomi.
Perempuan di balik perkebunan sawit sedang membentuk ulang wajah agribisnis tropis. Dengan pengakuan, dukungan, dan partisipasi aktif, mereka mampu mendorong sawit menuju masa depan yang adil, produktif, dan egaliter. Kisah mereka bukan sekadar tentang kerja keras, tetapi tentang potensi perempuan sebagai katalis perubahan—dari kebun, untuk bangsa.