Gaya Hidup Minimalis 2025 Dari Rumah Modular ke Digital Decluttering

Gaya Hidup Minimalis 2025 Dari Rumah Modular ke Digital Decluttering.--screnshoot dari web
KORANRM.ID - Tahun 2025 menandai babak baru dalam tren hidup minimalis, di mana pendekatan ini bukan hanya soal estetika ruang kosong dan palet warna netral, tetapi juga menyentuh ranah digital dan psikologis. Semakin banyak orang, terutama generasi milenial dan Gen Z, menyadari bahwa hidup dengan lebih sedikit bisa berarti memiliki lebih banyak: lebih banyak waktu, ruang bernapas, dan kejernihan pikiran. Di tengah gempuran informasi dan teknologi yang serba cepat, gaya hidup minimalis menjadi bentuk perlawanan yang lembut namun kuat terhadap kelelahan hidup modern.
BACA JUGA:Guru Wajib Belajar Satu Kali Seminggu
BACA JUGA:Jusmani, SE Lanjutkan Estafet Kepemimpinan Desa Air Berau
BACA JUGA:BPD Bandar Jaya Menyampaikan Laporan Tertulis ke Bupati, Minta Kades Lengser
Salah satu wujud nyata dari minimalisme modern adalah rumah modular. Desain hunian ini bukan hanya sekadar tren arsitektur, tapi juga mencerminkan perubahan pola pikir tentang apa yang benar-benar dibutuhkan untuk hidup nyaman. Rumah modular menawarkan efisiensi ruang, fleksibilitas, dan kemudahan perawatan, menjadikannya pilihan ideal bagi mereka yang ingin hidup ringkas namun tetap fungsional. Dengan ukuran yang lebih kecil dibanding rumah konvensional, penghuni rumah modular dipaksa untuk lebih selektif dalam memilih barang, menyimpan hanya yang esensial dan bermakna. Ini bukan sekadar soal mengurangi jumlah barang, tapi menciptakan ruang yang mendukung kesejahteraan mental.
BACA JUGA:Mantan Gubernur Bengkulu Rohidin Ngaku Salah Sidang Perdana di Pengadilan Tipikor Bengkulu
Namun minimalisme 2025 tak berhenti di ruang fisik saja. "Digital decluttering" atau bersih-bersih digital kini semakin menjadi kebutuhan. Banyak orang mulai menyadari bahwa notifikasi yang tak ada habisnya, ratusan aplikasi yang jarang digunakan, dan email yang menumpuk hanya memperkeruh pikiran. Membersihkan ruang digital—menghapus file yang tak lagi relevan, menyusun ulang folder, meng-unfollow akun media sosial yang tak membawa dampak positif—telah menjadi bagian dari rutinitas self-care. Ini bukan tentang menghindari teknologi, tapi menggunakannya dengan lebih sadar.
Menariknya, gaya hidup minimalis juga merambah pada cara orang bekerja dan bersosialisasi. Konsep “slow living” dan “deep work” semakin populer, di mana orang mulai menolak budaya multitasking dan memilih untuk fokus pada satu hal dalam satu waktu. Begitu pula dalam relasi sosial, banyak yang lebih memilih interaksi mendalam dan autentik dibanding sekadar koneksi digital yang dangkal. Semua ini bermuara pada satu hal: keinginan untuk hidup dengan kesadaran penuh, tanpa dibebani oleh ekspektasi eksternal yang tak perlu.
BACA JUGA:Tingkatkan Kedisiplinan Kades Gading Jaya Briefing dengan Jajaran Perangkat
BACA JUGA:Empat Desa di Kecamatan V Koto Mulai Realisasi Fisik DD Tahap I
Gaya hidup minimalis tahun 2025 bukan sekadar gaya hidup sementara, melainkan bentuk adaptasi manusia modern terhadap dunia yang semakin bising dan kompleks. Ini adalah jalan menuju keseimbangan baru, di mana teknologi tetap hadir, tetapi tak lagi menguasai. Di tengah kemajuan zaman, minimalisme mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, melihat ke dalam, dan bertanya: apa yang benar-benar penting?
Referensi:
• Becker, Joshua. The More of Less: Finding the Life You Want Under Everything You Own, WaterBrook, 2016.
• Newport, Cal. Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World, Portfolio, 2019.
• ArchDaily. “Why Modular Construction Is the Future of Urban Housing.” 2024.
• Psychology Today. “Why Digital Decluttering Can Improve Mental Health,” 2023.
• The Guardian. “How Gen Z is Embracing Slow Living and Minimalism,” 2025.