Menyemai Cinta di Dunia Pendidikan
Menyemai Cinta di Dunia Pendidikan.-Deni Saputra-Sceenshot
koranrm.id - Pendidikan sejatinya bukan hanya sebatas transfer ilmu dan keterampilan semata, melainkan juga soal penanaman nilai dan pembentukan karakter untuk generasi penerus bangsa.
Dalam konteks ini, cinta merupakan energi dasar dalam membangun relasi yang sehat antara pendidik dengan para peserta didik, lingkungan belajar, dan nilai-nilai spiritualitas yang menyertainya. Gagasan besar Menteri Agama RI tentang kurikulum berbasis cinta, yang baru saja diluncurkan sebagai bagian dari Program prioritas strategis, menjadi titik balik penting dalam memaknai ulang arah dan esensi pendidikan di seluruh Indonesia.
Di tengah derasnya arus globalisasi, pendidikan sering kali terjebak dalam ruang yang hampa akan nilai-nilai kemanusiaan. Capaian akademik serta standar penilaian menjadi fokus utama, sementara dimensi emosional dan spiritual peserta didik justru malah kerap terpinggirkan. Dalam konteks inilah, perlu untuk merenungi makna pendidikan, bukan semata-mata sebagai proses mentransfer ilmu, tetapi sebagai jalan untuk menyemai cinta bagi kehidupan.
BACA JUGA:Dikampus Ini Jejak Cinta Leo Dan Darah Di Antara Debat Dan Takdir
Cinta dalam ruang pendidikan harus menjadi nilai dasar yang menjiwai seluruh proses pendidikan. Ketika seorang guru mengajar dengan empati, ketika seorang dosen mendengarkan keresahan mahasiswanya dengan tulus, ketika seorang murid merasa aman untuk bertanya dan berekspresi, di situlah cinta bekerja. Pendidikan sejati lahir dari relasi yang hidup antara guru dan murid, dosen dan mahasiswa, kiai dan santri, serta relasi yang dibangun atas dasar saling menghargai, saling memahami, dan saling mencintai dalam arti yang luhur.
Kurikulum berbasis cinta yang diluncur oleh Kementrian agama, adalah konsep pendidikan yang menempatkan cinta sebagai nilai dasar dalam seluruh proses pendidikan, mulai dari perencanaan pembelajaran, interaksi guru dan murid, hingga hasil akhir yang menjadi capaian suatu proses pendidikan. Tentu saja, bukan sekadar romantisme naratif saja. Cinta di sini mencakup kasih sayang (rahmah), kepedulian, penghormatan terhadap martabat manusia, serta komitmen untuk menghadirkan ruang belajar yang inklusif, ramah, dan penuh makna untuk semua yang berinteraksi.
Dalam kurikulum berbasis cinta tersebut, setidaknya terdapat 5 pilar utama yang disebut panca cinta. Yaitu, cinta Tuhan Yang Maha Esa, cinta ilmu, cinta diri dan sesama manusia, cinta lingkungan, dan cinta tanah air. Lima bentuk cinta inilah yang sering kali dilupakan dalam praktik sehari-hari pembelajaran. Pendidik sibuk mengejar nilai (skor), tetapi melupakan makna. Sibuk mempersiapkan generasi yang pintar, tapi lupa menyiapkan mereka untuk menjadi manusia. Langkah Kementerian Agama meluncurkan kurikulum ini, dapat dibaca sebagai jawaban atas problem pendidikan yang terlalu kognitif-sentris, minim emosi, dan sering kali abai terhadap aspek afektif dan spiritual peserta didik.
BACA JUGA:Kodim Mukomuko Terima Kunjungan Tim Masev TMMD Ke-125
Mengajarkan cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, memahami Tuhan sebagai Zat Yang Maha Cinta, memahami Tuhan dari perspektif jamaliyah-Nya. Mendorong cinta terhadap ilmu berarti mencintai ilmu dan sumber ilmu, memahami bahwa ilmu adalah cahaya cinta Tuhan yang dapat menerangi kehidupan manusia. Membangun cinta pada diri dan sesama berarti mencintai diri sendiri, sebagai langkah pertama untuk memahami Tuhan. Semua terhubung sebagai umat manusia, dan mencintai orang lain berarti mencintai diri sendiri yang saling terkait. Mengajarkan cinta pada lingkungan berarti menghormati ciptaan-Nya, dan menyadari hubungan manusia dengan alam sebagai kesatuan tak terpisahkan.
Dalam kerangka pendidikan Islam, cinta adalah inti dari misi kenabian. Nabi Muhammad SAW hadir sebagai utusan pembawa kasih sayang bagi seluruh alam. Maka, menanamkan nilai cinta dalam pendidikan adalah bagian dari meneladani risalah tersebut. Pendidikan yang dilandasi cinta akan memerdekakan peserta didik dari rasa takut, tekanan, dan kekerasan simbolik, dan membuka ruang bagi tumbuhnya potensi dengan penuh kepercayaan, empati, dan respek. Dalam konteks ini, guru bukan sekadar pengajar, tetapi juga penyemai kasih, pengasuh nilai, dan penjaga kemanusiaan. Begitu pula lembaga pendidikan, tidak hanya sebagai tempat belajar, melainkan sebagai rumah yang menumbuhkan.
Pendidikan berbasis cinta menuntut tidak hanya berpikir tentang mmengajar dengan cinta. Tetapi juga menciptakan ekosistem yang diwarnai cinta dari segala arah, cinta datang dari keluarga, yang tumbuh di lingkungan pertemanan, mengakar dalam komunitas, mewarnai budaya keseharian, dan menyatu dalam relasi antarmanusia serta alam semesta. Ini bukan sekadar gagasan spiritual, tetapi praksis sosial yang sangat relevan di tengah-tengah krisis relasi, kekerasan simbolik dalam dunia pendidikan.
BACA JUGA:Gelombang Panas Eropa 2025 Pecahkan Rekor Suhu Dunia
Arah baru pendidikan, menyemai cinta membangun peradaban. Cinta dalam pendidikan bukan utopia, melainkan kebutuhan. Dunia yang kita tinggali hari ini dipenuhi konflik, polarisasi, dan krisis kemanusiaan. Pendidikan yang hanya menekankan kompetensi tanpa nilai justru memperparah keretakan sosial. Maka, gagasan Menag tentang kurikulum berbasis cinta adalah bentuk keberanian melawan arus pendidikan yang terlalu kognitif, terlalu formal-simbolik, dan miskin jiwa untuk melahirkan insan Rahmatan Lil'alamain. Dengan cinta sebagai ruh insan, pendidikan bukan hanya melahirkan manusia pintar, tetapi juga manusia yang peduli dan pemberi kasih sayang. Bukan hanya pendidikan yang melahirkan manusia penikmat dan pengeksploitasi sumber daya, tetapi manusia perawat dan pengembang ekosistem kehidupan. Bukan hanya mencetak pekerja, tetapi membentuk pemelihara kehidupan. Bukan hanya mengajarkan jawaban, tetapi juga untuk menumbuhkan penghayatan.
Jika pendidikan diibaratkan perjalanan, maka cinta adalah arah sekaligus bahan bakarnya. Ia bukan sekadar metode yang ditambahkan ke dalam RPS atau modul ajar, tetapi napas yang menghidupkan seluruh sistem. Cinta mengajarkan kita untuk tidak hanya mendidik demi kompetisi, tetapi juga demi kebahagiaan, kedamaian, dan kebermaknaan hidup. Cinta, seperti benih yang ditanam, harus disemai dan dirawat secara konsisten di rumah, sekolah, ruang-ruang pendidikan, komunitas, hingga kebijakan nasional. Karena pada akhirnya, hanya pendidikan yang dibangun di atas cinta yang akan melahirkan peradaban yang memanusiakan manusia. Artikel ini ditulis oleh Fauzi (Guru Besar/Dekan FTIK UIN Saizu Purwokerto.