Gaya Berbusana Ramah Lingkungan Fashion Berkelanjutan yang Makin Populer

Gaya Berbusana Ramah Lingkungan Fashion Berkelanjutan yang Makin Populer--screnshoot dari web
KORANRM.ID - Industri fashion kini tengah memasuki babak baru dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan. Di tengah krisis iklim dan masalah limbah tekstil yang kian memburuk, gaya berbusana ramah lingkungan atau sustainable fashion mulai dilirik sebagai solusi sekaligus tren baru. Bukan sekadar pilihan gaya, fashion berkelanjutan kini menjadi simbol kepedulian dan tanggung jawab terhadap bumi. Tak heran jika semakin banyak generasi muda hingga pelaku industri besar beralih pada cara berbusana yang lebih etis dan ramah lingkungan.
Fashion berkelanjutan mengacu pada sistem produksi dan konsumsi pakaian yang mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi secara holistik. Ini berarti memilih bahan yang dapat didaur ulang, meminimalkan penggunaan air dan energi, mengurangi limbah, serta memastikan proses produksi melibatkan praktik kerja yang adil. Konsep ini menjadi kebalikan dari fast fashion yang selama ini mendorong konsumsi massal dan limbah pakaian dalam jumlah besar hanya demi mengikuti tren sesaat.
BACA JUGA:Plastik Sekali Pakai Dilarang Total Apa Dampaknya bagi Gaya Hidup Kita
BACA JUGA:Mengelola Asam Urat dengan Gaya Hidup Aktif dan Seimbang
Salah satu elemen penting dari fashion ramah lingkungan adalah pemilihan bahan baku. Banyak merek kini mulai beralih menggunakan kain organik, serat daur ulang, atau material alternatif seperti rami, bambu, dan Tencel yang lebih ramah lingkungan daripada kapas konvensional. Misalnya, brand seperti Patagonia dan Stella McCartney telah lama menggunakan bahan daur ulang dari botol plastik atau limbah laut untuk menciptakan pakaian berkualitas tinggi. Langkah ini tidak hanya mengurangi polusi, tapi juga memperpanjang siklus hidup produk tekstil.
Di Indonesia sendiri, tren ini mulai berkembang dengan munculnya brand lokal yang mengusung nilai keberlanjutan, seperti Sejauh Mata Memandang, This Is A Good Sign, dan Osem. Mereka tidak hanya menawarkan produk fashion dengan desain modern, tetapi juga menekankan transparansi dalam rantai pasok, penggunaan pewarna alami, serta edukasi kepada konsumen soal pentingnya menjaga lingkungan lewat pakaian yang dikenakan.
BACA JUGA:Gaya Hidup Minimalis 2025 Dari Rumah Modular ke Digital Decluttering
Gaya berbusana ramah lingkungan juga mempromosikan konsep “less is more”. Ini berarti mendorong masyarakat untuk membeli pakaian dengan lebih bijak—lebih sedikit namun berkualitas, tahan lama, dan multifungsi. Konsumen diajak untuk berpikir dua kali sebelum membeli barang baru, dan mulai mempertimbangkan alternatif seperti menyewa pakaian, membeli dari thrift store, atau melakukan pertukaran pakaian (clothes swapping). Dengan demikian, siklus konsumsi yang cepat dapat diperlambat, dan limbah tekstil pun bisa dikurangi.
Perkembangan teknologi turut mendukung transformasi ini. Inovasi dalam tekstil seperti eco-printing, biodegradable fabric, dan teknologi produksi rendah emisi mendorong para desainer untuk berkreasi dengan cara yang lebih hijau. Bahkan kini telah hadir sistem pelacakan digital pada pakaian yang memungkinkan konsumen mengetahui asal usul dan proses produksi pakaian secara transparan, sehingga kepercayaan terhadap brand yang benar-benar berkomitmen terhadap keberlanjutan pun semakin meningkat.
BACA JUGA:Selain Jadi Minyak, Ini Tujuh Manfaat Kelapa Sawit
Namun tentu, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah harga yang relatif lebih tinggi dibandingkan pakaian fast fashion. Proses produksi berkelanjutan membutuhkan bahan dan tenaga kerja yang lebih berkualitas serta waktu produksi yang lebih panjang. Meski demikian, nilai jangka panjangnya jauh lebih besar karena produk yang dihasilkan cenderung lebih tahan lama dan tidak cepat usang oleh tren. Edukasi konsumen menjadi kunci agar mereka memahami bahwa membeli satu pakaian berkualitas jauh lebih baik daripada membeli lima yang cepat rusak.
Generasi muda, terutama Gen Z dan milenial, menjadi pendorong utama perubahan ini. Mereka lebih kritis dalam memilih merek, peduli pada isu lingkungan, dan cenderung menjadikan etika sebagai bagian dari gaya hidup. Hal ini tercermin dari meningkatnya kampanye sosial di media, gerakan #WhoMadeMyClothes, hingga komunitas pecinta fashion berkelanjutan yang aktif membagikan konten edukatif dan inspiratif.
BACA JUGA:Gaya Hidup Hibrida Ketika Dunia Nyata dan Virtual Berpadu Sempurna
Pemerintah dan pemangku kebijakan juga mulai mendorong ekosistem industri yang berkelanjutan. Di beberapa negara, regulasi mengenai pelabelan bahan ramah lingkungan, pajak atas limbah produksi, hingga insentif untuk bisnis daur ulang mulai diberlakukan. Langkah ini tentu memberi angin segar bagi perkembangan fashion hijau di masa depan, termasuk di Indonesia.
Fashion bukan sekadar soal penampilan, tapi juga pernyataan nilai. Gaya berbusana ramah lingkungan tidak hanya membuat kita terlihat baik, tetapi juga berbuat baik bagi bumi. Setiap pilihan pakaian adalah keputusan kecil yang membawa dampak besar—baik dalam mendukung industri yang lebih adil maupun menyelamatkan lingkungan dari krisis yang lebih parah. Dengan semakin populernya tren ini, masa depan fashion bisa menjadi lebih cerah, berwarna, dan tentunya lebih hijau.
BACA JUGA:Gaya Hidup Hibrida Ketika Dunia Nyata dan Virtual Berpadu Sempurna
Referensi:
• Fletcher, K. (2019). Sustainable Fashion and Textiles: Design Journeys. Earthscan.
• Ellen MacArthur Foundation (2023). The Circular Economy in Fashion.
• Fashion Revolution (2022). Transparency Index.
• Greenpeace International (2021). The Environmental Cost of Fast Fashion.