BPJS dan Rumah Sakit Swasta Benarkah Layanan Tak Sama

BPJS dan Rumah Sakit Swasta Benarkah Layanan Tak Sama--screnshoot dari web
KORANRM.ID - Di tengah upaya pemerintah memperluas jangkauan layanan kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan, muncul perdebatan mengenai kualitas dan kesetaraan layanan yang diberikan rumah sakit swasta kepada peserta BPJS. Banyak keluhan beredar di masyarakat bahwa peserta BPJS sering mendapat perlakuan berbeda dibanding pasien umum atau pasien asuransi swasta, khususnya di rumah sakit swasta. Pertanyaannya: apakah benar layanan untuk peserta BPJS di rumah sakit swasta tidak sama? Ataukah persoalan ini lebih kompleks dari sekadar anggapan diskriminasi layanan?
Pertama-tama, penting dipahami bahwa secara regulasi, semua rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib memberikan pelayanan yang setara kepada peserta JKN. Artinya, rumah sakit swasta yang telah menandatangani kerja sama dengan BPJS berkewajiban memberikan layanan sesuai dengan standar pelayanan minimal, tanpa membedakan antara pasien BPJS dan pasien umum. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 dan berbagai regulasi turunan lainnya. Namun, dalam praktiknya, kondisi di lapangan sering kali tidak ideal.
BACA JUGA:Diperiksa Inspektorat Alasan Bupati Berhentikan Sekda
BACA JUGA:Panen Jagung, Sinergitas Perkuat Ketahanan Pangan
Salah satu alasan utama terjadinya perbedaan perlakuan adalah sistem pembayaran yang digunakan BPJS, yaitu INA-CBGs (Indonesia Case Base Groups). Sistem ini membayar rumah sakit berdasarkan jenis diagnosis dan paket tindakan medis, bukan per layanan atau obat yang digunakan secara individual. Bagi rumah sakit, terutama swasta, sistem ini dianggap kurang menguntungkan, terutama jika biaya tindakan atau perawatan yang dikeluarkan lebih besar dari nilai klaim yang dibayar BPJS. Akibatnya, beberapa rumah sakit swasta membatasi jumlah pasien BPJS yang bisa ditangani atau memilih membatasi layanan tertentu agar tidak merugi.
Masalah lain muncul dari faktor fasilitas dan ketersediaan ruang rawat inap. Banyak rumah sakit swasta memiliki kelas perawatan terbatas untuk pasien BPJS, biasanya hanya menyediakan kelas 3. Jika ruang kelas 3 penuh, pasien BPJS harus menunggu lama atau bersedia naik kelas dengan biaya tambahan mandiri. Sementara pasien umum bisa langsung mendapat tempat tidur di kelas atas karena membayar secara langsung.
BACA JUGA:Titik Nol, Desa Gading Jaya Mulai Kebut Bangunan Fisik
Waktu tunggu dan antrean juga menjadi faktor yang kerap dikritisi. Di banyak kasus, pasien BPJS harus antre lebih lama untuk konsultasi, pemeriksaan laboratorium, atau rawat inap dibanding pasien umum. Hal ini bukan selalu karena diskriminasi, melainkan karena proses administrasi yang lebih panjang untuk pasien JKN, mulai dari rujukan berjenjang, validasi klaim, hingga keterbatasan tenaga medis dan fasilitas yang dialokasikan untuk peserta BPJS.
Namun, tidak semua rumah sakit swasta memperlakukan pasien BPJS secara berbeda. Banyak rumah sakit swasta besar dan menengah yang telah menjalankan kerja sama dengan BPJS secara profesional, memberikan layanan dengan baik tanpa perbedaan mencolok. Beberapa bahkan secara aktif memperluas kuota pasien BPJS karena jumlah kunjungan yang tinggi dianggap menguntungkan secara jangka panjang, terutama jika dikelola efisien.
Penting juga untuk memahami bahwa persepsi masyarakat terhadap layanan BPJS turut dipengaruhi ekspektasi. Banyak pasien menganggap bahwa BPJS harus memberi layanan setara dengan asuransi swasta kelas atas, padahal mekanisme pembiayaan dan sistem yang digunakan berbeda. Pasien yang terbiasa membayar langsung akan mendapat fleksibilitas yang tidak selalu tersedia untuk pasien BPJS yang harus mengikuti alur dan aturan program JKN.
BACA JUGA:Luka di Kaki Tak Kunjung Sembuh, Jangan Jangan Diabetes! Simak Penjelasannya disini
Solusi atas permasalahan ini tidak hanya berada di tangan BPJS atau rumah sakit swasta semata. Pemerintah perlu melakukan reformasi tarif INA-CBGs, menyesuaikan dengan realitas biaya medis terkini. Di sisi lain, BPJS Kesehatan perlu meningkatkan efisiensi sistem klaim dan memperbaiki komunikasi dengan rumah sakit agar tidak terjadi kekeliruan administratif yang bisa merugikan pasien. Selain itu, pengawasan atas kualitas layanan dan perlakuan kepada pasien BPJS harus diperkuat agar tidak ada diskriminasi tersembunyi.
Masyarakat pun perlu semakin sadar akan hak-haknya sebagai peserta JKN. Jika terjadi penolakan layanan atau perlakuan yang tidak adil di rumah sakit swasta yang bekerja sama dengan BPJS, peserta berhak melapor ke Dinas Kesehatan, BPJS Kesehatan, atau Ombudsman. Semakin banyak laporan dan evaluasi, semakin besar tekanan publik agar rumah sakit memperbaiki layanannya.
Kesimpulannya, memang ada perbedaan pengalaman yang dirasakan peserta BPJS ketika berobat di rumah sakit swasta, namun perbedaan ini bukan selalu bentuk diskriminasi sengaja. Lebih sering, akar persoalannya adalah sistem, regulasi, dan keterbatasan fasilitas serta SDM. Dengan sinergi antara pemerintah, BPJS, rumah sakit, dan partisipasi masyarakat, pelayanan kesehatan berbasis jaminan sosial ini bisa terus ditingkatkan agar semakin adil dan merata.
Referensi:
• BPJS Kesehatan. (2024). Hak dan Kewajiban Peserta JKN-KIS.
• Kementerian Kesehatan RI. (2023). Pedoman Pelaksanaan INA-CBGs dalam Sistem JKN.
• Tirto.id. “Layanan BPJS di RS Swasta, Mengapa Masih Ada Ketimpangan?”
• Kompas.com. “Benarkah Pasien BPJS Dapat Perlakuan Beda di Rumah Sakit?”
• Ombudsman RI. (2024). Laporan Pengaduan Pelayanan Kesehatan BPJS.