Bahaya Terlambat Menangani DBD Mengapa Harus Segera ke Fasilitas Kesehatan

Bahaya Terlambat Menangani DBD Mengapa Harus Segera ke Fasilitas Kesehatan--screnshoot dari web
KORANRM.ID - Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang dapat memburuk dengan sangat cepat jika tidak segera ditangani secara medis. Penundaan dalam penanganan kasus DBD bisa berakibat fatal, karena penyakit ini tidak hanya ditandai dengan demam tinggi, tetapi juga melibatkan gangguan serius pada sistem pembuluh darah dan trombosit dalam tubuh. Banyak kasus yang terlambat mendapatkan perawatan medis berakhir pada kondisi syok dengue, perdarahan internal, bahkan kematian. Maka dari itu, segera membawa pasien ke fasilitas kesehatan setelah munculnya gejala awal seperti demam tinggi mendadak, nyeri otot dan sendi, mual, ruam kulit, dan tanda-tanda perdarahan menjadi langkah krusial. Kecepatan dan ketepatan diagnosa dari tenaga medis bisa menyelamatkan nyawa pasien serta mencegah komplikasi yang lebih parah. Terutama pada anak-anak dan lansia, penanganan medis segera sangat penting karena kelompok ini lebih rentan terhadap dampak fatal dari infeksi dengue.
BACA JUGA:Gigit Kuku Kebiasaan Kecil, Bahaya Besar bagi Kesehatan Anak
DBD memiliki tiga fase utama, yaitu fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan. Bahaya terbesar justru muncul ketika demam mulai turun, karena di fase inilah kebocoran plasma dan penurunan trombosit bisa terjadi secara drastis tanpa disadari. Sayangnya, banyak orang mengira bahwa menurunnya demam adalah pertanda membaik, padahal itu bisa menjadi sinyal bahwa fase kritis sudah dimulai. Di sinilah pentingnya pemantauan medis secara profesional, karena hanya tenaga medis yang dapat mengukur parameter penting seperti hematokrit, trombosit, dan tekanan darah secara berkala. Penanganan DBD di rumah tanpa pengawasan medis, apalagi hanya dengan pengobatan bebas tanpa diagnosa jelas, sangat berisiko menyebabkan kondisi penderita memburuk secara tiba-tiba. Bahkan dalam waktu 24 jam, pasien yang tampak stabil bisa mengalami penurunan drastis karena kehilangan cairan secara masif akibat kebocoran plasma, dan tanpa intervensi medis seperti pemberian cairan intravena dan monitoring intensif, nyawa pasien bisa terancam.
BACA JUGA:Mengapa Ikan Sapu-Sapu Tak Layak Jadi Santapan Ancaman Kesehatan yang Tersembunyi
Keterlambatan penanganan juga sering kali disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap gejala awal DBD dan minimnya edukasi kesehatan tentang pentingnya deteksi dini. Beberapa keluarga memilih menunggu sampai hari ketiga atau keempat demam baru membawa pasien ke dokter, padahal idealnya tindakan medis harus dilakukan pada hari pertama atau kedua sejak muncul gejala. Di sisi lain, gejala DBD memang sering disalahartikan sebagai flu biasa atau infeksi virus lain karena kemiripannya. Oleh sebab itu, kesadaran akan pentingnya periksa laboratorium sederhana, seperti pengecekan trombosit dan hematokrit, sangat membantu dalam membedakan DBD dari penyakit lain. Pemeriksaan dini di puskesmas atau rumah sakit terdekat dapat menjadi penentu utama keberhasilan pengobatan. Pemerintah sendiri telah berupaya menyediakan akses fasilitas kesehatan dan layanan deteksi dini dengan biaya terjangkau, terutama di musim-musim rawan DBD seperti saat musim hujan. Sayangnya, jika informasi ini tidak sampai kepada masyarakat secara luas, maka upaya tersebut tidak akan efektif mencegah angka kematian akibat keterlambatan penanganan.
Selain faktor medis, aspek psikologis juga memainkan peran penting dalam keterlambatan penanganan. Beberapa orang enggan ke rumah sakit karena takut dirawat inap, khawatir terhadap biaya, atau merasa malu jika ternyata hanya penyakit ringan. Padahal, dalam kasus DBD, keterlambatan bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati. Biaya dan ketakutan seharusnya tidak menjadi penghalang untuk mendapatkan pertolongan medis yang tepat. Pemerintah dan institusi layanan kesehatan harus terus melakukan pendekatan edukatif yang dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap pentingnya segera berobat saat gejala DBD muncul. Di sisi lain, keluarga juga perlu berperan aktif dalam memantau kondisi anggota rumah yang mengalami demam, terutama anak-anak. Jangan menunggu gejala semakin parah untuk mengambil tindakan. Kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi DBD harus ditingkatkan melalui program penyuluhan rutin dan integrasi layanan deteksi dini di tingkat RT/RW maupun sekolah.
BACA JUGA:Kesehatan Ginjal, 7 Manfaat Daun Gedi Untuk Kesehatan Ginjal
BACA JUGA:Lindungi Penglihatan Anda! 5 Buah Ini Terbukti Menjaga Kesehatan Mata
Dengan memahami bahaya dari keterlambatan penanganan DBD, masyarakat diharapkan lebih cepat mengambil tindakan untuk membawa pasien ke fasilitas kesehatan. Pemeriksaan medis dini, hidrasi yang baik, dan pemantauan trombosit merupakan kunci untuk mencegah komplikasi serius. Lebih dari itu, sikap waspada dan tidak menyepelekan demam yang tak kunjung reda akan sangat membantu menghindari tragedi akibat kelambatan. DBD bukan penyakit yang bisa diabaikan atau ditunda penanganannya. Setiap menit sangat berharga dalam menentukan arah penyembuhan atau memburuknya kondisi penderita. Oleh karena itu, deteksi dini dan penanganan cepat di fasilitas kesehatan harus menjadi prioritas utama bagi siapa pun yang mengalami gejala-gejala mencurigakan.
Referensi:
• Kementerian Kesehatan RI. (2023). Petunjuk Teknis Manajemen Kasus DBD di Pelayanan Kesehatan.
• WHO. (2022). Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
• Badan POM RI. (2022). Perhatian Khusus pada Obat Demam: Hindari Aspirin dan NSAID untuk DBD.
• Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2023). Manajemen Klinis DBD pada Anak: Panduan bagi Orang Tua.
• UNICEF Indonesia. (2021). Edukasi Masyarakat dan Peran Keluarga dalam Penanganan DBD.