Anak Sering Demam Jangan Abaikan, Bisa Jadi Gejala DBD!

Anak Sering Demam Jangan Abaikan, Bisa Jadi Gejala DBD!--screnshoot dari web
KORANRM.ID - Demam pada anak memang sering kali dianggap sebagai kondisi yang wajar, apalagi jika disertai dengan gejala ringan seperti pilek atau batuk. Namun, ketika demam datang berulang atau berlangsung lebih dari dua hari tanpa sebab yang jelas, orang tua perlu waspada karena bisa jadi itu merupakan tanda awal dari Demam Berdarah Dengue (DBD), terutama jika terjadi di musim penghujan atau di lingkungan dengan kasus DBD yang tinggi. Virus dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, yang aktif menggigit pada pagi dan sore hari. Pada anak-anak, gejala DBD bisa tampak samar dan kadang menyerupai flu biasa, sehingga sering terlambat terdeteksi. Padahal, keterlambatan diagnosis dan penanganan DBD bisa berakibat fatal karena penyakit ini berpotensi menyebabkan penurunan trombosit secara drastis, perdarahan internal, bahkan kematian jika tidak ditangani dengan tepat.
BACA JUGA:Drama Absen Online Dewan Guru Sinyal Gangguan dan Aplikasi Eror
BACA JUGA:KMD Pasar Bantal Berpotensi Memicu Pertumpahan Darah
Gejala awal DBD pada anak bisa berupa demam tinggi mendadak yang mencapai 39-40 derajat Celsius tanpa disertai batuk atau pilek berat. Selain itu, anak mungkin mengeluh nyeri di belakang mata, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, lemas, serta munculnya bintik merah pada kulit yang tidak hilang saat ditekan. Dalam beberapa kasus, gejala bisa disertai mual, muntah, dan penurunan nafsu makan yang drastis. Orang tua juga harus waspada apabila demam anak turun secara tiba-tiba dalam 3–5 hari, karena ini bisa jadi pertanda memasuki fase kritis di mana risiko syok akibat kebocoran plasma darah sangat tinggi. Fase ini merupakan masa paling berbahaya karena gejalanya bisa mengecoh—anak tampak lebih tenang, tetapi kondisi tubuh sebenarnya sedang menurun. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mencatat suhu tubuh anak secara berkala, memperhatikan asupan cairan, serta segera membawa ke fasilitas kesehatan terdekat jika demam tidak membaik dalam waktu 48 jam atau disertai tanda-tanda lain yang mencurigakan.
Faktor risiko DBD pada anak semakin tinggi apabila lingkungan tempat tinggal tidak bersih dan banyak tempat yang memungkinkan nyamuk berkembang biak. Anak-anak yang bermain di luar rumah tanpa perlindungan seperti lotion antinyamuk atau pakaian tertutup juga lebih rentan terkena gigitan nyamuk. Terlebih, sistem kekebalan tubuh anak belum sekuat orang dewasa, sehingga respons tubuh terhadap virus dengue bisa lebih parah. Maka dari itu, pencegahan harus menjadi prioritas utama bagi setiap keluarga. Selain menjaga kebersihan lingkungan dengan gerakan 3M Plus (menguras, menutup, dan mendaur ulang), orang tua juga bisa melibatkan anak dalam kegiatan edukatif tentang bahaya nyamuk dan pentingnya menjaga kebersihan diri serta lingkungan. Dengan begitu, anak tidak hanya menjadi penerima perlindungan, tetapi juga pelaku aktif dalam upaya pencegahan.
BACA JUGA:Jejak Rokok di Bumi Dampaknya Tidak Hanya ke Paru-Paru, Tapi Juga ke Alam
Peran sekolah dan komunitas dalam mendukung kesehatan anak juga sangat krusial. Sekolah sebagai tempat berkumpulnya anak-anak dalam waktu yang lama perlu memastikan tidak ada genangan air di area lingkungan sekolah. Penyuluhan kesehatan yang rutin dan kolaborasi dengan puskesmas setempat bisa menjadi bentuk kepedulian nyata terhadap pencegahan DBD pada anak. Program "Satu Rumah Satu Jumantik" yang digagas oleh Kementerian Kesehatan juga bisa diperkuat kembali dengan melibatkan siswa sekolah dasar sebagai "duta kecil kesehatan" di rumah masing-masing. Melalui pendekatan partisipatif ini, kesadaran tentang bahaya DBD dan cara pencegahannya bisa tertanam sejak dini dan membawa dampak positif jangka panjang.
Penting untuk dipahami bahwa semakin cepat DBD terdeteksi dan ditangani, maka peluang kesembuhan akan lebih besar dan risiko komplikasi dapat diminimalkan. Pemeriksaan laboratorium seperti cek jumlah trombosit dan hematokrit menjadi penting dalam proses diagnosis. Orang tua diharapkan tidak ragu untuk meminta pemeriksaan darah apabila curiga anaknya terkena DBD. Jangan menunggu sampai gejala memburuk, karena waktu sangat menentukan dalam penanganan penyakit ini. Mengingat bahwa DBD merupakan penyakit yang memiliki tren musiman, maka kewaspadaan perlu ditingkatkan terutama pada masa peralihan musim hujan atau ketika sudah ada laporan peningkatan kasus di sekitar lingkungan.
BACA JUGA:Merokok di Tempat Umum Hak Pribadi vs Hak Orang Lain
Mendeteksi lebih awal dan bertindak cepat bisa menyelamatkan nyawa anak. Setiap demam bukan hanya harus dicermati, tetapi juga dikaitkan dengan konteks lingkungan dan musim yang sedang berlangsung. Menjadikan deteksi dini sebagai kebiasaan serta meningkatkan edukasi keluarga dan masyarakat tentang bahaya DBD adalah langkah strategis untuk menurunkan angka kematian akibat penyakit ini, terutama pada kelompok usia anak-anak yang paling rentan. Kunci utamanya adalah perhatian, kepedulian, dan kesadaran yang dimulai dari rumah.
Referensi:
• Kementerian Kesehatan RI. (2023). Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD).
• World Health Organization (WHO). (2021). Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
• Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2022). Tata Laksana Klinis Demam Berdarah pada Anak.
• UNICEF Indonesia. (2021). Peran Keluarga dalam Mendeteksi Dini Gejala Penyakit Anak.
• Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes RI. (2022). Laporan Situasi DBD Nasional.