Pesona Lebong Tandai, Wisata Yang Tersembunyi Sejarahnya Bikin Geleng Kepala 

Pesona Lebong Tandai, Wisata Yang Tersembunyi Sejarahnya Bikin Geleng Kepala --screenshot dari web.

Koranrm.id - Di balik hijau perbukitan dan aliran sungai yang menyusuri lembah di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, terhampar sebuah kawasan yang belum sepenuhnya tersentuh geliat pariwisata arus utama. 

Lelebong Tandai, sebuah wilayah eksotis yang menyimpan jejak masa silam dan keindahan alam yang masih perawan, kini mulai mencuri perhatian para pencinta perjalanan. 

Tidak sekadar destinasi untuk melepas penat, tempat ini menawarkan pengalaman menyeluruh-percampuran antara napas sejarah tambang kolonial dan lanskap tropis yang menyejukkan jiwa.

Perjalanan menuju Lelebong Tandai memerlukan tekad dan rasa ingin tahu yang kuat. Dari pusat kota Muara Aman, ibu kota Kabupaten Lebong, pengunjung harus melintasi jalanan menanjak dan berkelok, menyusuri pedesaan yang masih lekat dengan nuansa tradisional. 

Jalan sempit yang membelah hamparan sawah dan ladang kopi menjadi pembuka kisah yang akan lebih dari sekadar rekreasi biasa. Sekitar dua jam perjalanan bermotor akan mengantar wisatawan memasuki kampung tua yang tenang namun sarat cerita.

Nama Lelebong Tandai bukan sekadar penanda geografis. Ia mengandung narasi panjang tentang keberadaan tambang emas yang pernah menjadi incaran kolonial Belanda sejak abad ke-19. 

Di bawah permukaan tanah yang kini menjadi ladang dan pekarangan penduduk, terhampar lorong-lorong tua yang dahulu digali untuk menambang emas. 

BACA JUGA:Wisata Alam Bebas di Indonesia Pilihan Destinasi untuk Healing Asli

Lorong-lorong tersebut masih bisa dijumpai hingga kini, sebagian dijaga oleh warga sebagai warisan budaya yang berharga. Ketika menjejakkan kaki di salah satu pintu tambang, terasa seolah waktu mengendurkan lajunya, memberi ruang bagi pengunjung untuk membayangkan denyut kehidupan pada masa lampau.

Yang membuat pengalaman ini begitu istimewa adalah keterlibatan langsung masyarakat dalam menjaga dan mengenalkan kekayaan lokal mereka. Warga desa dengan ramah membuka rumah dan cerita, menjadi pemandu yang bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan merajut kembali ingatan kolektif yang nyaris tergerus. 

Salah satu warga setempat, Pak Ramli, masih menyimpan peta tambang tua dan dengan penuh semangat menjelaskan jalur emas yang dahulu dikeruk menggunakan alat-alat sederhana. 

Ia menyebutkan bahwa tambang Lebong Tandai adalah salah satu yang pertama kali dikelola secara sistematis oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, lengkap dengan catatan administrasi, kantor pengawas, bahkan sistem pos internal yang masih menyisakan bangunan aslinya.

Namun Lelebong Tandai bukan hanya sejarah yang membisu dalam catatan kolonial. Alam di sekitarnya memberikan keindahan yang membuat siapa pun betah berlama-lama. Hutan tropis yang masih lebat menghampar di sisi barat desa, menjadi tempat bagi berbagai spesies burung dan mamalia kecil. 

Udara segar yang menerobos pepohonan di pagi hari membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang menenangkan. Sungai-sungai kecil mengalir tenang, menjadi sumber kehidupan bagi warga dan tempat bermain anak-anak yang tak kenal gadget.

Di lereng-lereng perbukitan yang mengelilingi desa, wisatawan bisa menemukan kebun kopi rakyat yang ditanam secara turun-temurun. Pemandu lokal kerap mengajak wisatawan menyusuri kebun ini sambil memetik buah kopi merah ranum, lalu mengolahnya secara tradisional. 

Aktivitas ini memberi pengalaman yang jauh lebih otentik dibandingkan sekadar minum kopi di kafe kota. Di tengah pengolahan kopi, akan terselip cerita tentang bagaimana warga bertahan hidup dengan berkebun, bagaimana mereka menjaga hutan agar tetap lestari, dan bagaimana nilai gotong royong tetap hidup dalam keseharian.

Tak jauh dari desa, terdapat air terjun mini yang diberi nama Air Terjun Tembulun. Meski tak setinggi Curug pada umumnya, namun keindahan dan ketenangannya justru menjadi daya tarik. 

Pengunjung bisa duduk di batu-batu besar sambil merendam kaki dalam aliran air jernih yang dingin, sembari menikmati bekal sederhana yang disiapkan warga. Suasana seperti ini menghadirkan kemewahan yang tak bisa dibeli: kebersamaan dalam kesederhanaan.

Lelebong Tandai memang belum dikelola secara besar-besaran oleh pemerintah daerah. Fasilitas wisata masih sederhana, sebagian besar dibangun secara swadaya oleh masyarakat. 

Namun justru dalam keterbatasan inilah nilai autentik destinasi ini terjaga. Tidak ada bangunan beton mencolok, tidak ada polusi suara dari kendaraan bermotor, dan tidak ada antrean panjang untuk berswafoto. Yang ada hanyalah bentang alam yang murni dan keramahan yang tak dibuat-buat.

Potensi wisata Lelebong Tandai sejatinya menyimpan nilai edukatif dan ekologis yang tinggi. Pemerintah Kabupaten Lebong telah mencanangkan kawasan ini sebagai bagian dari pengembangan wisata berbasis masyarakat (community-based tourism). 

Dengan mengutamakan pelibatan warga lokal, pengembangan ini diharapkan tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan. Beberapa program pelatihan pemandu wisata, pengelolaan homestay, dan konservasi tambang tua telah dijalankan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat.

Bagi para pengunjung, perjalanan ke Lelebong Tandai bukan hanya tentang destinasi, tetapi juga tentang proses-tentang bagaimana cara tiba di sana, bagaimana menjalin interaksi dengan warga, dan bagaimana meresapi pelajaran yang tidak tertulis di brosur wisata.

 Setiap langkah di desa ini seperti membuka halaman demi halaman dari sebuah buku sejarah yang tersembunyi membikin kita geleng kepala. 

Dan setiap percakapan dengan warga adalah bagian dari narasi besar yang menjelaskan makna dari sebuah tempat yang pernah menjadi pusat perhatian kolonial namun kini bersinar karena ketulusan masyarakatnya.

Musim terbaik untuk mengunjungi Lelebong Tandai adalah antara April hingga Oktober, ketika curah hujan relatif rendah dan jalanan desa tidak terlalu becek. 

Pengunjung dianjurkan membawa pakaian yang nyaman untuk berjalan jauh, serta tetap menjaga sikap sopan selama berada di tengah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi adat dan kearifan lokal. 

Menginap di rumah warga adalah pengalaman yang sangat dianjurkan karena memberikan kesempatan untuk menyelami kehidupan desa secara langsung—dari memasak di dapur kayu hingga memanen hasil kebun saat pagi menjelang.

Melalui Lelebong Tandai, wisatawan akan menyadari bahwa destinasi yang bermakna bukanlah tempat yang ramai dikunjungi, tetapi tempat yang membuat hati terasa pulang. Di antara batuan tua tambang, aroma kopi hangat, dan tawa anak-anak di sungai, terselip pelajaran tentang ketahanan budaya dan harmoni dengan alam. Bagi siapa pun yang mencari perjalanan dengan jiwa, Lelebong Tandai adalah jawabannya.

Sumbr berita dikutip dari:

• Badan Pelestarian Cagar Budaya Jambi. (2020). *Dokumentasi Situs Tambang Emas Lelebong Era Kolonial*.

• Sibarani, R. (2018). *Kearifan Lokal dalam Pelestarian Warisan Budaya Takbenda*. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 20(3), 405–420.

 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan