Harga Cabe di Mukomuko Tembus Rp80 Ribu, Pedasnya Bukan Hanya Di Lida Tapi Tembus Kedompet

Hargai Cabai Merangkak Naik, Rawit Setan Tembus Rp 80 Ribu Per Kg.-Deni Saputra-Radar Mukomuko

koranrm.id - Di pasar-pasar tradisional Mukomuko, keluhan soal harga cabe yang kian mencekik semakin sering terdengar. 

Mereka sama-sama merasakan getirnya lonjakan harga salah satu bumbu dapur paling vital itu. Cabe yang dulu bisa dibeli dengan mudah, kini terasa bagai barang mewah, harganya menanjak hingga Rp80.000 per kilogram.

Halima, seorang pedagang sayur keliling, tak kuasa menyembunyikan rasa herannya. Dengan kerudung sederhana sambil berdiri di sebelah  motor bersama keranjang yang penuh sayur, ia bercerita sambil menimbang dagangan untuk pembeli. “Cabe makin pedas, alias makin mahal. Kami beli saja sudah Rp70.000, terpaksa kami ecer Rp8.000 per ons.

Itupun cabenya buruk, banyak yang kualitasnya jelek,” ungkapnya. Keluhan Halima bukan sekadar cerita personal, tetapi potret dari keresahan banyak pedagang kecil yang kini serba salah menghadapi harga yang melonjak di luar perkiraan.

Di warung gulai sederhana di pusat kota, Endang, penjual gulai yang setia melayani pelanggan harian, ikut mengeluhkan situasi yang sama. Ia merasa aneh dengan lonjakan harga yang tiba-tiba, padahal stok pangan lain relatif stabil. “Kami pun heran, harga cabe mahal. 

Ada yang bilang ini ada kaitannya dengan program makan bergizi gratis, jadi permintaan cabe meningkat. Kalau benar, dampaknya kami yang di lapangan ikut menanggung beban,” katanya sambil meracik bumbu untuk kuah gulai yang sudah mengepul di dapur.

Fenomena harga cabe yang melambung justru terjadi di tengah kondisi cuaca normal. Biasanya, para petani dan pedagang memaklumi bila musim hujan panjang atau cuaca ekstrem menghambat panen sehingga harga melambung. 

Namun kali ini, langit cerah dan tanah tak sedang bermasalah. Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Mukomuko, produksi cabe di tingkat lokal memang tidak tergolong melimpah, tetapi juga tidak mengalami penurunan signifikan. Faktor cuaca, yang biasanya jadi kambing hitam, kini tidak bisa dijadikan alasan utama.

Laporan Dinas Perdagangan Mukomuko menegaskan, harga cabe yang naik drastis lebih disebabkan oleh distribusi dan tingginya permintaan dibanding ketersediaan pasokan. Jalur distribusi antar daerah, terutama dari sentra produksi di Sumatera Barat dan Bengkulu Selatan, mengalami hambatan biaya transportasi. 

Sementara itu, kebutuhan masyarakat melonjak seiring meningkatnya konsumsi rumah tangga, terutama pasca berbagai program bantuan pangan. “Permintaan cabe meningkat, sementara pasokan tidak sebanding, sehingga harga di pasaran menanjak,” ujar salah satu pejabat bidang perdagangan daerah itu.

Tren ini mengindikasikan adanya pola nasional, di mana rantai distribusi dan pola konsumsi lebih berpengaruh dibanding kondisi iklim semata. Media nasional juga mencatat bahwa peningkatan harga pupuk serta biaya produksi di tingkat petani ikut mendorong naiknya harga jual.

Dampak dari kenaikan harga ini begitu terasa di level paling bawah. Warung makan kecil, penjual gorengan, hingga ibu rumah tangga di dapur sederhana harus memutar otak. Sebagian memilih mengurangi penggunaan cabe dalam masakan, sebagian lain tetap membeli dengan berat hati karena rasa pedas dianggap tak tergantikan. “Kalau gulai tanpa cabe, rasanya hambar. Mau tak mau tetap beli meski mahal,” tambah Endang dengan wajah pasrah.

Kondisi ini menunjukkan betapa rentannya stabilitas harga pangan terhadap faktor distribusi dan permintaan. Program pangan bergizi yang seharusnya membawa manfaat, secara tak langsung bisa mendorong konsumsi bumbu tertentu, termasuk cabe. 

Namun, tanpa pengendalian yang baik, manfaat itu bisa diiringi efek samping berupa lonjakan harga yang membebani pedagang kecil dan konsumen.

Bagaimana jalan keluarnya? Dinas Pertanian Mukomuko menilai solusi jangka panjang adalah mendorong petani lokal untuk lebih banyak menanam cabe sebagai komoditas unggulan. 

Dengan lahan yang cukup subur dan iklim yang mendukung, produksi cabe lokal sebenarnya bisa ditingkatkan. Namun, dibutuhkan dukungan berupa bibit unggul, akses pupuk dengan harga terjangkau, serta pembinaan pasar agar harga bisa terkendali.

Sementara itu, dari sisi perdagangan, upaya memperlancar distribusi antar wilayah menjadi kunci. Penguatan jalur logistik, pengawasan distribusi,dan langkanya bbm  dan pengendalian harga oleh pemerintah daerah perlu berjalan paralel. Tanpa itu, cabe akan terus menjadi komoditas yang rawan melonjak sewaktu-waktu, meski cuaca sedang bersahabat.

Di tengah ketidakpastian harga, cerita Halima dan Endang hanyalah dua dari sekian banyak suara rakyat kecil yang merasakan pedasnya bukan hanya di lidah, melainkan juga di dompet. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan