Tes Kompetensi Akademik: Geliat Perubahan dalam Ekosistem Pendidikan

Tes Kompetensi Akademik,Geliat Perubahan dalam Ekosistem Pendidikan.-Deni Saputra-Radar Mukomuko

Oleh: Renci (Praktisi Pendidikan di SD Aisyiyah Metro)

KETIKA mengamati dinamika kebijakan pendidikan hari ini, ungkapan ‘Ganti Menteri Ganti Kurikulum’ selalu menjadi pembicaraan yang masih relevan. Fenomena ini sudah menjadi semacam isu berkelanjutan, di mana setiap pergantian menteri acapkali diikuti dengan perubahan fundamental dunia pendidikan.

Dicatat oleh Widodo dan Suyanto (2023), terdapat tujuh perubahan besar dalam kurikulum dan sistem penilaian nasional sejak era Reformasi, yang kebetulan momentum itu bertepatan dengan pergantian menteri. Pola ini tentu kerap menjadi dorongan bagi praktisi pendidikan untuk melayangkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Apakah setiap kebijakan memang disandarkan pada evaluasi mendalam terhadap kebijakan sebelumnya, atau justru hanya digunakan sebagai upaya meninggalkan jejak.

Tes Kemampuan Akademik dan Evaluasi Pendidikan secara Nasional

Sama halnya ketika Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dalam Peraturan Menteri Nomor 9 tahun 2025 tentang Tes Kemampuan Akademik (TKA) resmi diterbitkan. Tentu kebijakan ini mengundang banyak respons, terutama di kalangan pendidik yang nantinya akan menjadi ring 1 pelaksana kebijakan.

BACA JUGA:Perkembangan Fintech dan Tantangannya terhadap Industri Perbankan

Meski kebijakan ini secara otomatis menghapus Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 31 tahun 2023 tentang uji kesetaraan yang meniadakan penilaian terstandar nasional dan menjadi landasan dihapusnya sistem Ujian Nasional (UN), namun tentu banyak anggapan bahwa TKA adalah semacam reinkarnasi dari Ujian Nasional.

Adalah suatu hal yang sangat wajar apabila kehadiran TKA dalam wacana pendidikan Dasar dan Menengah menghadirkan kekhawatiran tersendiri di masyarakat. Anggapan bahwa TKA adalah UN dengan gaya berbeda namun tujuannya tetap menjadi hakim tunggal kelulusan, beban murid yang merasa akan bertambah dengan kehadiran TKA, lembaga sekolah yang harus mempelajari kebijakan dan memikirkan bagaimana proses implementasinya serta beragam asumsi khawatir yang muncul.

Sebagai praktisi pendidikan, tentu penulis turut mengamati detil dari kebijakan ini. Dari proses

penulis menganalisa, ada satu perbedaan krusial dari TKA dengan UN, bahwa TKA bukan hadir sebagai hakim tunggal kelulusan untuk peserta didik. Kebijakan TKA ternyata dirancang justru untuk dijadikan alat seleksi jalur prestasi dan penyetaraan pendidikan, yang mana TKA tidak menentukan kelulusan melainkan hasilnya (melalui sertifikat TKA) dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan dijenjang berikutnya. Bagi penulis, ini termasuk langkah yang lebih moderat dibanding dengan UN yang membawa vibes sakral.

BACA JUGA:Italian Brainrot – Meme AI Absur dan Surreal yang Bikin Sosmed Meledak

Menyelami Dampak TKA bagi Dunia Pendidikan

Kebijakan TKA menunjukkan bahwa dunia pendidikan sedang melakukan geliat perubahan penting. Hadir sebagai bentuk evaluasi tambahan yang bersifat opsional, TKA akan dapat membantu mengklasifikasikan atau memberi gambaran tambahan mengenai kemampuan akademik peserta didik. Sepakat dengan pernyataan Toni Toharudin selaku Guru Besar Universitas Padjajaran, TKA bukan sekedar alat ukur atau evaluasi nilai, tetapi bagian dari upaya untuk membangun kepercayaan terhadap sistem evaluasi capaian belajar yang selama ini terasa timpang di sekolah.

TKA juga memberikan angin segar bagi peserta didik yang tidak tumbuh di lembaga pendidikan formal. TKA akan hadir sebagai instrumen pengakuan resmi bagi peserta didik disemua jalur pendidikan yang ditempuh, bisa non-formal maupun in-formal. Hal ini menunjukkan bahwa TKA hadir untuk memberikan kesetaraan bagi semua kalangan.

Sekaligus hadirnya kebijakan ini menjawab pertanyaan sebelumnya. Bahwa Kemendikdasmen tidak hanya menerbitkan kebijakan sebagai upaya ‘meninggalkan jejak’, melainkan sudah disandarkan pada evaluasi, karena pada dasarnya kebijakan TKA ini akan membuka ruang aksesbilitas dan keterpihakan.

BACA JUGA:AI Voice Commerce & Zero‑Click Business: Belanja Tanpa Sentuhan?

Jika sebelumnya, untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi mengandalkan nilai rapot, yang mana pemegang keputusan tentang nilai rapot bisa diatur oleh pemangku kebijakan di lembaga pendidikan terkait. Hadirnya TKA akan dapat membuka peluang kompetisi yang lebih adil dan substansi, hasil dari keiikutsertaan TKA berupa sertifikat dengan pengembangan instrumen tes secara nasional dapat dijadikan bahan pertimbangan, hal ini menunjukkan bahwa TKA bukan hanya sekedar nilai semata, melainkan sebuah proses kesetaraan dan transparansi nilai yang diatur secara terukur.

Kebijakan ini juga tidak menanggalkan peran sekolah, terutama guru. Keduanya tetap memiliki peran utama dalam melakukan evaluasi pembelajaran melalui Ujian Sekolah (US). Justru, TKA

akan menjadi penguat hasil Ujian Sekolah yang akan lebih objektif karena tidak hanya digunakan sebagai pembanding individu satu dengan lainnya, tetapi juga antara sekolah satu dengan lainnya. Keselarasan nilai TKA dengan Ujian Sekolah akan menunjukkan kredibilitas dan integritas suatu sekolah, yang kemudian dalam jangka panjang ini mampu dijadikan sebagai bahan perbaikan dikemudian hari bagi sekolah sesuai dengan hasil TKA tersebut.

BACA JUGA:Metaverse 2.0 & Realitas VR di Media Sosial: Era Interaksi Imersif

Dalam teknis pelaksanaannya, Pemerintah Pusat tetap mengedepankan kolaborasi dengan Pemerintah Daerah. Dengan begitu, keberhasilan kebijakan ini tetap membutuhkan dukungan dari semua pihak. Sebagai seorang pendidik, penulis berharap kebijakan ini tidak dijadikan beban bagi pihak sekolah, tetapi ini adalah momentum untuk kembali meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional, dan dijadikan sebagai peningkatan kapasitas bagi pendidik secara individual.

Perlu dipahami bersama, bahwa penyetaraan melalui instrumen TKA bukan bertujuan untuk menyeragamkan standar penilaian setiap daerah, tetapi untuk memastikan semua kalangan masyarakat dari berbagai latar belakang pendidikan dapat mendapat akses yang adil untuk menempuh pendidikan dijenjang selanjutnya. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk turut mengawal secara objektif kebijakan tersebut.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan