AI Influencers & Virtual Creators: Wajah Baru Pemasaran Digital

AI Influencers & Virtual Creators: Wajah Baru Pemasaran Digital--screenshot dari web.

KORANRM.ID - Di sudut maya yang dulunya dipenuhi wajah-wajah manusia, kini muncul figur-figur baru—hibrida antara teknologi dan kreativitas. Mereka membintangi layar, memasarkan produk, bahkan menggalang komunitas dengan kecepatan luar biasa. Para influencer ini bukan manusia—mereka adalah AI, dibentuk oleh kode, dilatih dengan data, dan dirancang untuk selalu tampil sempurna. Fenomena AI influencers dan virtual creators menjadi wajah baru pemasaran digital, menandai revolusi di mana feodalisme influencer lama digantikan oleh presisi teknologi.

Sejak beberapa tahun terakhir, kemajuan dalam bidang kecerdasan buatan, CGI, dan pembelajaran mesin telah membuka jalan bagi lahirnya sosok-sosok seperti Lil Miquela, Imma, dan Lu do Magalu. Sosok digital ini memiliki kehidupan media sosialnyA sendiri—unggahan rutin, interaksi dengan audiens, dan kolaborasi dengan merek besar. Di pencapaian baru tahun 2025, avatar tersebut menjadi pusat kampanye fashion, kecantikan, dan lifestyle, menembus pasar global tanpa kendala fisik

blog.kakak.ai

blog.kakak.ai+5smartli.ai+5designrush.com+5.

BACA JUGA:TikTok Shop & Live Social Shopping: E-commerce dalam Feed di 2025

AI influencer sukses karena tiga hal: skalabilitas, konsistensi, dan kontrol penuh. Tidak perlu istirahat, tidak ada negosiasi kontrak, tidak ada krisis citra. Konten bisa dihasilkan 24/7, ditujukan ke audiens global, serta disesuaikan berdasarkan data preferensi real-time. Market value untuk AI influencers diperkirakan mencapai hampir US$7 miliar pada 2024, dengan tingkat pertumbuhan tahunan di atas 26%.

Bos startup AvatarOS, Isaac Bratzel, menegaskan bahwa avatar generasi baru bertujuan untuk tampil “lebih manusiawi”—bergerak lebih natural, berinteraksi lebih hidup, serta menggantikan fungsi influencer nyata secara efisien di banyak platform

reddit.com

. TikTok turut ambil peran lewat Symphony—fitur AI ads yang memungkinkan iklan dengan avatar virtual layaknya influencer sungguhan, dari unboxing hingga ‘try-on’ produk—tanpa melibatkan manusia.

Contoh konkret hadir dari Radhika Subramaniam, influencer virtual dari India yang berperan sebagai Gen Z traveler bilinggual Tamil-Inggris. Dibangun untuk menghasilkan storytelling lokal kaya emosi, dia merepresentasikan fase baru konten digital—menggaet generasi muda dengan narasi budaya yang autentik

timesofindia.indiatimes.com.

Namun di balik idealisme, muncul tanda tanya besar soal autentisitas. Sebagian konsumen—62% menurut laporan—masih memilih kreator manusia karena koneksi personal yang terasa nyata

blog.kakak.ai

. Menurut survei Edelman, 58% audiens menempatkan keaslian sebagai kunci utama dalam memilih influencer. Ini membuka peluang bagi pendekatan hybrid, di mana avatar AI dipakai untuk branding serta jangkauan, sementara pesohor nyata memberikan nuansa kepercayaan dan empati.

Dalam pemasaran digital, AI influencers telah membuktikan efektivitasnya. Statistik dari CreatorLabz menampilkan engagement rate avatar ini mencapai 2,84%—melebihi manusia yang rata-rata 1,72%

forbes.com+2creatorssynergy.com+2creatorlabz.com+2

. Namun, biaya kampanye bisa turun hingga 30% karena efisiensi produksi dan bebas logistik

forbes.com

. Contoh sukses di lapangan: Lu do Magalu dari Brasil menghasilkan miliaran impresi dan interaksi saat menjadi wajah Magalu Pay; kampanye influencer human pun melihat biaya per klik relatif rendah

smartli.ai+3designrush.com+3forbes.com+3.

Teknologi yang mendasari avatar ini juga terus berkembang. Natural Language Processing memungkinkan avatar berbicara dalam berbagai bahasa; Machine Learning meningkatkan kapasitas personalisasi; dan Deepfake/CGI menyempurnakan aspek visual dan gerakan tubuh mereka dalam video. Aitana López, misalnya, menghasilkan pendapatan kombinasi post bersponsor dan konten langganan—sebanyak €10.000 per bulan—menunjukkan potensi monetisasi avatar secara beragam

en.wikipedia.org+3designrush.com+3en.wikipedia.org+3.

Selain keuntungan teknologi, ada sorotan etis yang tak boleh diabaikan. Para pengguna ingin transparansi: konten AI harus jujur menyebut dirinya digital. Regulasi mulai muncul di Eropa, mendorong labelisasi konten sintetis agar tidak menyesatkan. Privasi juga menjadi sorotan—AI dibangun dari data besar, sehingga muncul risiko pelanggaran dan tracing audiens secara rahasia.

Dari perspektif brand, kolaborasi hybrid adalah model optimal di 2025. Misalnya Prada atau Calvin Klein berkolaborasi dengan Lil Miquela—avatar ini tampil dalam kampanye branded content, sementara influencer manusia seperti Bella Hadid menambahkan elemen emosional. Model ini memberikan keseimbangan sempurna antara jangkauan luas dan kepercayaan audiens

creatorssynergy.com+11en.wikipedia.org+11designrush.com+11.

Angka juga berbicara; 63% profesional pemasaran telah mengintegrasikan AI dalam kampanye kampanye influencernya, sementara 82% menyambut influencer marketing sebagai strategi paling efektif dibanding iklan tradisional

forbes.com+2artsmart.ai+2creatorssynergy.com+2

. Studi Reuters juga menegaskan bahwa Gen Z dan milenial menyambut virtual creators dengan antusias—terutama bila nama avatar terasa konsisten dan bergaya visual kuat

forbes.com+1tomoson.com+1.

Ke depan, landscape akan semakin kompleks. Kita akan melihat influencer yang merupakan gabungan teknologi AI dan manusia—di mana persona virtual tetap berkelindan dengan narasi kehidupan nyata. AvatarOS sudah menghadirkan API yang memungkinkan brand memanggil avatar sebagai bagian dari strategi digital mereka

reddit.com

. AR dan blockchain juga akan memperkaya interaksi, memungkinkan virtual influencers muncul di dunia nyata lewat AR, atau memegang kepemilikan NFT atas karya kolaboratif mereka.

Namun, tantangan tetap ada. Kepercayaan tidak bisa dibeli dari AI. Konsumen tetap mencari karakter yang terasa nyata, yang punya cerita dan ketidaksempurnaan. Regulasi harus segera menentukan batas transparansi. Dan integritas data—dari input AI hingga pengukuran engagement—harus dijaga demi reputasi jangka panjang brand.

Pada akhirnya, AI influencers dan virtual creators bukan akhir dari era manusia influencer. Sebaliknya, mereka adalah awalan babak baru. Di mana teknologi memungkinkan kreator manusia fokus pada storytelling dan koneksi emosional; sementara avatar berperan sebagai penguat kampanye, penyebar jangkauan, dan wajah digital yang selalu siap tampil.

Dalam lanskap pemasaran digital di 2025, brand paling sukses tidak hanya yang paling canggih tech-nya, tetapi yang paling mampu memadukan manusia dan mesin dalam harmoni—menghadirkan konten yang menarik, akurat, dan otentik. AI influencers adalah revolusi. Namun, manusia tetap warisan hati dalam dunia digital.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan