Harmoni antara Syariat dan Praktik: Hukum Meminjam Uang di Bank Menurut Fikih dan Pandangan Ulama

Harmoni antara Syariat dan Praktik: Hukum Meminjam Uang di Bank Menurut Fikih dan Pandangan Ulama--screenshot dari web.
KORANRM.ID - Tepat di sudut kota Pekalongan, Ahmad, seorang pedagang batik yang telah melintasi berbagai pasang surut dunia usaha, duduk termenung di beranda rumahnya.
Di hadapannya tergeletak selembar kertas perjanjian pinjaman dari sebuah bank konvensional. Angka-angka bunga, cicilan bulanan, dan tenor kredit tertera jelas.
Namun yang mengguncang benaknya bukan semata soal kemampuan membayar, melainkan satu hal yang lebih mendalam: apakah langkah ini sejalan dengan ajaran Islam yang ia anut dan cintai?
Di antara kebutuhan ekonomi dan prinsip religius, mereka berdiri di persimpangan yang tak mudah.
Fenomena meminjam uang dari bank, baik untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif, merupakan realitas modern yang tak terhindarkan.
Lembaga perbankan hadir bukan sekadar sebagai penyimpan dana masyarakat, tetapi juga sebagai mesin penggerak ekonomi melalui fungsi intermediasi-mengalirkan dana dari pihak yang memiliki surplus kepada yang membutuhkan modal.
Namun dalam konteks masyarakat Muslim, hubungan antara peminjam dan bank seringkali ditinjau dari lensa hukum Islam, terutama terkait eksistensi bunga (riba) yang menyertai pinjaman tersebut.
BACA JUGA:Perbedaan Filosofis Antara Bank Konvensional dan Bank Syariah
Dalam literatur fikih klasik, riba bukanlah istilah yang samar. Al-Qur’an menyebutkannya secara eksplisit dalam beberapa ayat, di antaranya yang paling terkenal terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 275 hingga 279.
Dalam ayat-ayat ini, riba dikutuk sebagai praktik yang tidak hanya bertentangan dengan keadilan, tetapi juga merusak tatanan sosial.
Nabi Muhammad SAW pun dalam banyak hadis mengutuk pelaku riba, pencatatnya, bahkan saksinya, dengan menyatakan bahwa semuanya sama dalam dosa.
Imam-imam mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, memiliki konsensus atas keharaman riba.
Para ulama kontemporer mengambil peran penting dalam menjembatani prinsip-prinsip syariat dengan realitas zaman.
Dalam pengembangan hukum Islam, para ulama menggunakan metode ijtihad untuk memahami masalah kontemporer yang tidak secara eksplisit dibahas dalam nas-nas tekstual.
Ijtihad ini melahirkan pandangan yang beragam terkait hukum meminjam uang dari bank.
Pandangan Ulama
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam berbagai fatwanya menyatakan bahwa bunga bank termasuk dalam kategori riba yang diharamkan.
Hal ini ditegaskan dalam Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa'idah), yang menyebutkan bahwa praktik bunga dalam sistem keuangan konvensional termasuk riba dan karenanya haram.
MUI menganjurkan agar umat Islam beralih ke sistem keuangan syariah yang berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), jual beli (murabahah), sewa (ijarah), dan lain sebagainya yang sesuai syariat.
Namun demikian, tidak semua ulama memandang bunga bank secara mutlak sebagai riba.
Salah satu tokoh yang menempuh jalan moderat adalah Sheikh Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, dua pembaharu Islam asal Mesir yang berpendapat bahwa bunga bank dalam kadar wajar dan dalam kondisi tertentu bisa ditoleransi, apalagi jika digunakan untuk tujuan produktif dan menghindarkan dari ketergantungan pada lintah darat.
Mereka mengedepankan maqashid al-syariah-tujuan syariat-yakni menjaga kemaslahatan dan mencegah kerusakan.
Di ranah akademik, pemikir seperti Prof. Muhammad Rawwas Qal’ahji dan Dr. Yusuf al-Qaradawi juga menyumbangkan pendapat yang memperkaya wacana.
Al-Qaradawi, misalnya, mengakui bahwa sistem bunga mengandung potensi riba, namun beliau juga membuka ruang dialog dalam kondisi darurat (darura) dan kebutuhan mendesak (hajah).
Dalam bukunya “Fiqh al-Zakah”, ia menekankan perlunya kehati-hatian dalam menerapkan hukum haram secara kaku dalam sistem ekonomi yang kompleks.
Dalam praktiknya, masyarakat Muslim di berbagai negara tetap menjalin interaksi dengan bank konvensional, baik karena keterbatasan akses terhadap bank syariah maupun karena pertimbangan efisiensi.
Di Indonesia sendiri, meskipun perbankan syariah mengalami pertumbuhan signifikan, porsi pasar masih didominasi oleh bank konvensional.
Studi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2023 menyebutkan bahwa perbankan syariah baru menguasai sekitar 6,9% dari total pangsa pasar perbankan nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih menggunakan layanan bank konvensional, termasuk dalam urusan kredit konsumtif dan produktif.
Dalam konteks ini, sejumlah ulama menekankan pentingnya pendekatan gradual. Sembari memperkuat sistem keuangan syariah, diperlukan edukasi masyarakat tentang alternatif yang sesuai syariat.
Bank syariah tidak hanya menjadi tempat simpan pinjam, tetapi juga wadah implementasi nilai-nilai Islam dalam keadilan ekonomi, transparansi, dan tolong-menolong.
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen dalam mendukung keuangan syariah.
Lahirnya Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) merupakan upaya strategis dalam mengintegrasikan ekonomi syariah ke dalam sistem nasional.
Dari sisi regulasi, OJK juga menyediakan payung hukum yang kokoh untuk perbankan syariah, termasuk skema akad-akad yang telah disesuaikan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI).
Namun, peralihan dari sistem konvensional ke syariah bukan hanya soal legalitas dan infrastruktur, tetapi juga soal literasi dan kesadaran masyarakat.
Proses ini memerlukan waktu, keteladanan, serta upaya kolektif dari lembaga keuangan, tokoh agama, dan lembaga pendidikan.
Kembali ke Ahmad, sang pedagang batik, keputusan untuk meminjam uang dari bank tak bisa hanya dilihat dari hitungan matematis.
Ia membutuhkan panduan moral dan spiritual. Di tengah keraguan, Ahmad berkonsultasi dengan seorang ulama lokal yang memahami fikih kontemporer.
Sang ulama tidak serta merta menyalahkan, tetapi mengajak Ahmad mempertimbangkan niat, tujuan, dan kondisi saat ini.
Menurut sang ulama, dalam kondisi darurat, jika pinjaman dari bank menjadi satu-satunya jalan untuk mempertahankan keberlangsungan usaha yang halal, maka hal tersebut bisa masuk dalam kategori rukhshah-keringanan dalam hukum.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa keputusan tersebut hendaknya disertai dengan niat untuk segera beralih ke sistem yang lebih sesuai syariah bila kondisi memungkinkan.
Nasihat itu membawa kelegaan di wajah Ahmad. Ia tak lagi merasa berdosa atas keterpaksaan yang ia alami selama ini. **