Perbedaan Filosofis Antara Bank Konvensional dan Bank Syariah

KORANRM.ID - --screenshot dari web.

KORANRM.ID - Di tengah riuhnya kehidupan finansial modern, lembaga perbankan menjadi simpul vital dalam dinamika ekonomi masyarakat. 

Di balik gedung-gedung menjulang dan sistem daring yang canggih, tersembunyi dua wajah berbeda dari dunia perbankan: bank konvensional dan bank syariah. 

Keduanya menawarkan layanan serupa, seperti simpanan, pembiayaan, dan transaksi keuangan lainnya. 

Namun, di kedalaman prinsip dan nilai yang mendasari, keduanya berdiri pada fondasi yang berbeda. 

Perbedaan ini tidak sekadar perkara nama atau logo, melainkan mencerminkan pandangan hidup yang mengakar jauh ke dalam filsafat ekonomi dan etika.

Di tengah geliat masyarakat yang semakin sadar terhadap nilai dan prinsip, pemahaman atas perbedaan antara dua sistem ini menjadi lebih dari sekadar kebutuhan informasi. 

Ia menjadi bagian dari kesadaran untuk memilih jalan keuangan yang selaras dengan keyakinan dan pandangan hidup. 

Maka memahami perbedaan bank konvensional dan bank syariah bukan hanya soal mengetahui siapa yang mengenakan bunga dan siapa yang tidak, tetapi juga menyelami makna di balik mekanisme transaksi, etika bisnis, dan tanggung jawab sosial dalam praktik keuangan.

BACA JUGA:PT Bank Syariah Indonesia Tbk Salurkan 9.390 Hewan Qurban, Kanca Mukomuko Kebagian 1 Ekor Sapi

Bank konvensional telah menjadi bagian dari sistem ekonomi global sejak ratusan tahun silam. 

Ia tumbuh dari akar kapitalisme Eropa, menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama dan suku bunga sebagai alat penggerak utama sistemnya. 

Ketika seseorang menyimpan uang di bank konvensional, mereka mendapat bunga. Sebaliknya, jika meminjam, mereka wajib membayar bunga sesuai kesepakatan. 

Dalam kerangka ini, uang diperlakukan sebagai komoditas, yang bisa diperdagangkan dan menimbulkan keuntungan meski tanpa aktivitas ekonomi riil.

Bank syariah hadir sebagai alternatif yang memandang uang bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai alat tukar yang harus digunakan untuk mendorong aktivitas ekonomi yang nyata. 

Dalam sistem ini, keuntungan tidak diperoleh dari bunga, yang dalam hukum Islam disebut riba dan diharamkan, melainkan dari prinsip bagi hasil, sewa, atau jual beli riil. 

Bank syariah menjalankan kegiatan keuangan berdasarkan prinsip syariah Islam yang menekankan keadilan, transparansi, dan tanggung jawab sosial.

Yang menarik adalah bagaimana kedua sistem ini diterjemahkan dalam praktik sehari-hari. 

Dalam pembiayaan rumah, misalnya, bank konvensional akan memberikan kredit dengan skema bunga tetap atau mengambang. 

Debitur mengembalikan pinjaman dalam jumlah yang lebih besar dari pokoknya karena adanya bunga tersebut. 

Sementara di bank syariah, pembiayaan dilakukan melalui akad murabahah (jual beli) di mana bank membeli rumah dan menjualnya kepada nasabah dengan margin keuntungan yang telah disepakati di awal. 

Tidak ada bunga, melainkan harga jual tetap yang menjadi komitmen bersama.

Dalam tataran operasional, bank konvensional mengandalkan instrumen seperti deposito berjangka, kredit konsumtif, dan obligasi berbunga. 

Tujuan utama adalah mencetak laba sebesar-besarnya bagi pemegang saham. Bank syariah, sebaliknya, menggunakan instrumen seperti mudharabah (kerja sama usaha), musyarakah (kemitraan), ijarah (sewa), dan murabahah. 

Fokusnya tidak hanya pada keuntungan, tetapi juga pada keberkahan usaha dan dampak sosialnya. 

Dalam akad mudharabah, misalnya, nasabah menyetorkan dana dan bank mengelola dana tersebut dalam usaha produktif, lalu hasilnya dibagi sesuai rasio yang disepakati. Jika rugi, kerugian ditanggung pemilik modal kecuali akibat kelalaian pihak bank.

Filosofi ini tercermin pula dalam cara pengelolaan risiko dan relasi antara bank dan nasabah. 

Dalam sistem konvensional, hubungan bank dan nasabah sering kali bersifat transaksional. 

Nasabah dianggap sebagai pihak yang berutang dan wajib melunasi utangnya berikut bunganya, tanpa terlalu mempertimbangkan bagaimana uang tersebut digunakan. 

Di bank syariah, pendekatannya lebih partisipatif. Nasabah dan bank berada dalam posisi mitra yang saling menanggung risiko dan keuntungan. 

Bank syariah pun tidak bisa sembarangan membiayai proyek yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti bisnis alkohol, perjudian, atau pornografi.

Realitas perbedaan ini menjadi semakin penting di tengah krisis kepercayaan terhadap lembaga keuangan global. 

Krisis finansial 2008 menjadi pelajaran besar ketika sistem yang digerakkan oleh spekulasi dan derivatif tanpa dasar aktivitas ekonomi riil terbukti rentan. 

Dalam konteks ini, sistem keuangan syariah mendapat sorotan karena ketahanan modelnya yang berbasis aset dan penghindaran terhadap spekulasi berlebihan (gharar).

Namun demikian, jalan menuju idealisme keuangan syariah tidak selalu mulus. 

Praktik perbankan syariah sering kali harus beradaptasi dengan sistem ekonomi nasional dan regulasi global yang mayoritas masih berbasis konvensional. 

Di Indonesia, misalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) memberi ruang bagi perkembangan bank syariah, tetapi tantangan tetap ada dalam hal edukasi masyarakat, ketersediaan sumber daya manusia yang memahami fiqh muamalah, serta inovasi produk yang kompetitif namun tetap syar'i.

Dalam hal pelayanan dan teknologi, bank syariah terus mengejar ketertinggalan. Banyak lembaga syariah kini mengembangkan layanan digital, mobile banking, dan sistem pembayaran berbasis syariah yang inklusif. 

Di samping itu, beberapa bank syariah besar telah meluncurkan produk yang menjawab kebutuhan generasi muda Muslim, seperti pembiayaan startup berbasis akad musyarakah atau investasi halal untuk pendidikan.

Yang patut digarisbawahi adalah bahwa keberadaan bank syariah tidak ditujukan untuk menggantikan bank konvensional, melainkan memberikan pilihan. Masyarakat diberi ruang untuk memilih sistem yang sesuai dengan nilai dan preferensi mereka. Bagi sebagian orang, efisiensi dan fleksibilitas bank konvensional tetap menjadi daya tarik. 

Bagi yang lain, integritas nilai dan dampak sosial dari bank syariah menjadi alasan kuat dalam menentukan keputusan finansial.

Pertumbuhan bank syariah di Indonesia mengalami lonjakan signifikan dalam satu dekade terakhir. 

Data OJK tahun 2024 mencatat bahwa total aset perbankan syariah nasional telah mencapai lebih dari Rp800 triliun, dengan pertumbuhan tahunan rata-rata di atas 12 persen. 

Hal ini menunjukkan minat masyarakat terhadap sistem keuangan yang tidak hanya rasional secara ekonomi, tetapi juga etis secara moral. 

Banyak kalangan profesional muda, pelaku UMKM, hingga kalangan pesantren mulai merapat ke sistem syariah sebagai bentuk aktualisasi nilai spiritual dalam dunia ekonomi.

Di luar negeri, negara-negara seperti Malaysia, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, bahkan Inggris dan Jerman, telah lama mengintegrasikan sistem perbankan syariah dalam ekosistem keuangan nasional. 

London, misalnya, menjadi salah satu pusat keuangan Islam terbesar di luar dunia Muslim. Ini menandakan bahwa prinsip-prinsip syariah dalam keuangan tidak eksklusif milik komunitas Muslim, tetapi dapat diterima secara universal karena menekankan transparansi, keadilan, dan keberlanjutan.

Masuknya lembaga keuangan syariah dalam indeks global, seperti Dow Jones Islamic Index dan FTSE Shariah Index, menunjukkan bahwa prinsip-prinsip ini juga relevan bagi investor global yang mencari keuangan beretika. 

Bahkan beberapa perusahaan multinasional telah menerbitkan sukuk—obligasi syariah—untuk mendiversifikasi portofolio dan menjangkau pasar Timur Tengah dan Asia Tenggara yang tumbuh pesat.

Akhirnya, perbedaan antara bank konvensional dan bank syariah bukan sekadar soal mekanisme bunga atau akad. Ia menyentuh kedalaman visi tentang bagaimana uang seharusnya bekerja dalam masyarakat. 

Apakah ia menjadi alat penghisapan atau pemberdayaan? Apakah ia mendorong spekulasi atau memacu produktivitas riil? Apakah ia memperkaya segelintir atau membuka kesempatan bagi banyak?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu adalah urusan setiap individu sebagai aktor ekonomi. 

Pilihan terhadap sistem keuangan menjadi bagian dari narasi hidup yang lebih besar-tentang apa yang diyakini, bagaimana ingin berkontribusi, dan warisan seperti apa yang ingin ditinggalkan. Dalam pilihan itu, keuangan bukan sekadar angka, tetapi refleksi nilai.**

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan