Kini Bibit Sawit Sriwijaya Menjadi Pilihan Utama Petani: Sudah Berkembang Senyap di Perkebunan Rakyat

Kini Bibit Sawit Sriwijaya Menjadi Pilihan Utama Petani Sudah Berkembang Senyap di Perkebunan Rakyat--screenshot dari web.

KORANRM.ID - Hamparan kelapa sawit di ladang-ladang subur Sumatra, tengah berlangsung perubahan besar yang tidak selalu tampak kasat mata. 

Di sejumlah wilayah, terutama sentra-sentra perkebunan rakyat di Sumatra Selatan, Bengkulu, hingga Jambi, satu nama mulai mendominasi percakapan para petani: “Bibit Sawit Sriwijaya”. 

Bibit ini tidak lahir dari sembarangan proses. Ia adalah hasil seleksi genetika panjang, riset agronomi yang cermat, dan kerja keras para peneliti di lembaga pertanian nasional. 

Kini, ia menjelma sebagai harapan baru bagi petani kecil yang selama ini menghadapi dilema klasik antara hasil rendah dan biaya tinggi.

Keputusan masyarakat untuk beralih ke bibit unggul bukan terjadi dalam satu malam. Dibutuhkan waktu, pengalaman lapangan, serta kegagalan-kegagalan yang melahirkan kesadaran kolektif: benih adalah akar dari seluruh keberhasilan. 

Bibit Sriwijaya hadir di saat yang tepat, ketika petani mulai merasa lelah menghadapi rendahnya produktivitas dari bibit asal-asalan, banyak di antaranya bahkan tak diketahui asal-usulnya. 

Maka tidak mengherankan jika di banyak desa, percakapan tentang bibit ini terasa hidup dan bernuansa penuh harapan.

Salah satu kisah datang dari Kabupaten Musi Banyuasin, tempat di mana ribuan hektare kebun sawit rakyat tersebar di bawah langit yang membentang tanpa ujung. 

Di sana, petani bernama Ruslan, 46 tahun, mengisahkan bagaimana ia dulunya menggunakan bibit dari tengkulak, tanpa sertifikasi, hanya karena harganya murah. 

BACA JUGA:Mengapa Sawit Tak Bersahabat dengan Cuaca Dingin Meski Membutuhkan Banyak Air

Hasilnya? Lima tahun menunggu, tapi pohon hanya berbuah sedikit, dengan tandan yang kering dan ringan. 

Setelah berdiskusi dengan penyuluh pertanian dan mendengar pengalaman tetangganya yang sukses, ia memutuskan mencoba bibit Sriwijaya.

“Waktu itu saya masih ragu,” ujar Ruslan sambil menunjuk deretan batang sawit muda yang tumbuh kokoh. “Tapi setelah panen pertama, saya yakin. Tandan besar, isinya padat. Sekarang saya sudah replanting total pakai Sriwijaya.”

Cerita Ruslan bukan satu-satunya. Di berbagai daerah, bibit Sriwijaya dikenal karena sejumlah keunggulan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Yang pertama adalah “daya hasilnya”. Berdasarkan uji lapangan oleh Balai Penelitian Tanaman Palma (Balit Palma), varietas ini mampu menghasilkan 30–35 ton tandan buah segar (TBS) per hektare per tahun di bawah pemeliharaan yang baik. 

Ini jauh di atas rata-rata nasional, yang untuk kebun rakyat hanya berkisar 20 ton TBS/ha/tahun. 

Tingginya produktivitas ini menjadi magnet kuat bagi petani yang ingin meningkatkan hasil tanpa harus memperluas lahan.

Namun, hasil tinggi saja tidak cukup. Di lapangan, ketahanan terhadap penyakit adalah faktor penting lain yang sering menentukan umur produktif sebuah kebun. 

Bibit Sriwijaya memiliki ketahanan relatif terhadap penyakit busuk pangkal batang (Ganoderma), salah satu momok menakutkan bagi pekebun sawit. 

Tidak kebal, memang, tapi secara statistik, tingkat serangan penyakit ini jauh lebih rendah dibanding bibit dari sumber tak jelas. 

Hal ini tidak hanya memperpanjang umur produktif tanaman, tetapi juga mengurangi kebutuhan akan bahan kimia dan biaya pengendalian penyakit.

Keunggulan lain terletak pada sifat morfologis tanaman. Bibit ini cenderung memiliki batang yang lebih pendek dalam fase awal pertumbuhan. 

Hal ini memudahkan proses panen, karena pemanen tidak perlu menggunakan alat bantu yang panjang. Buah juga mudah dijangkau, sehingga mempercepat waktu kerja dan menurunkan risiko cidera bagi pekerja kebun. 

Dalam konteks ekonomi mikro di pedesaan, efisiensi ini memberi dampak langsung pada biaya produksi.

Di balik keberhasilan ini, terdapat kerja panjang yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Palma, serta dukungan dari Kementerian Pertanian dan Dinas Perkebunan di tingkat provinsi. 

Bibit Sriwijaya bukanlah produk instan. Ia melewati tahapan pemuliaan, uji adaptasi di berbagai lokasi, dan disertifikasi secara ketat. 

Proses ini menjamin bahwa setiap benih yang sampai ke tangan petani telah memiliki rekam jejak yang jelas-sesuatu yang kerap diabaikan ketika petani tergiur oleh harga murah dari benih palsu.

Distribusi bibit unggul juga diperkuat oleh program peremajaan sawit rakyat (PSR), yang digulirkan pemerintah sejak 2017. 

Melalui program ini, petani yang tergabung dalam koperasi atau kelompok tani berkesempatan memperoleh dana hibah untuk mengganti tanaman tua atau rusak dengan bibit unggul bersertifikat. 

Bibit Sriwijaya, karena performanya yang baik dan ketersediaan pasokan yang terjamin, menjadi salah satu pilihan utama dalam program tersebut. 

Banyak kelompok tani mengakui bahwa proses administrasi PSR memang menantang, tapi hasilnya sepadan ketika bibit unggul mulai menunjukkan tajinya di lapangan.

Faktor lain yang membuat bibit Sriwijaya begitu diminati adalah “kemampuan adaptasi lingkungan”. 

Tidak semua daerah memiliki tanah subur atau iklim ideal untuk kelapa sawit. Namun Sriwijaya menunjukkan fleksibilitas adaptasi yang relatif tinggi. 

Dari lahan gambut dangkal hingga tanah mineral berbatu, bibit ini tetap mampu tumbuh dan berbuah dengan baik, selama pemeliharaan dilakukan sesuai standar. 

Di Bengkulu bagian utara, yang notabene memiliki curah hujan tinggi dan tanah masam, bibit ini tetap bisa berproduksi dengan stabil. 

Ini memberi petani rasa aman terhadap investasi jangka panjang mereka.

Salah satu tantangan klasik dalam dunia perkebunan adalah ketergantungan petani terhadap informasi yang terbatas. 

Banyak dari mereka yang tidak memiliki akses terhadap data agronomi atau hasil riset terbaru. Di sinilah peran penyuluh, koperasi, dan lembaga swadaya masyarakat menjadi penting. Lewat berbagai pelatihan dan demplot (demonstration plot), pemahaman petani terhadap kualitas bibit mulai terbentuk. Dan ketika hasil nyata bisa dilihat langsung di lapangan, kepercayaan tumbuh secara alami.

Efek domino dari penggunaan bibit unggul juga terasa di sektor hilir. Dengan produksi yang meningkat, suplai TBS ke pabrik pengolahan sawit menjadi lebih stabil. 

Ini berdampak pada kapasitas kerja pabrik, penyerapan tenaga kerja, dan tentu saja, kesejahteraan petani secara keseluruhan. 

Bahkan di beberapa tempat, petani mulai berani mengatur strategi panen dan menjual TBS saat harga sedang bagus, bukan sekadar panen karena butuh uang cepat.

Namun, meskipun tren penggunaan bibit Sriwijaya terus meningkat, masih ada tantangan yang perlu diperhatikan. 

Salah satunya adalah pemalsuan bibit oleh oknum tidak bertanggung jawab. Mereka memanfaatkan ketenaran nama Sriwijaya untuk menjual bibit abal-abal yang tidak memiliki sertifikat. 

Petani yang kurang teliti bisa terjebak dan kembali mengalami kerugian. Untuk itu, pemerintah terus mengedukasi masyarakat agar membeli dari sumber resmi dan meminta bukti legalitas benih.

 

Langkah ke depan harus memperkuat kolaborasi antara pemerintah, institusi riset, swasta, dan petani. 

Sertifikasi bibit harus diawasi secara ketat, sementara distribusi informasi tentang manfaat bibit unggul perlu diperluas hingga ke pelosok. 

Jika hal ini dapat dilakukan secara konsisten, maka transformasi senyap yang sedang berlangsung hari ini bisa menjadi tonggak perubahan besar dalam wajah perkebunan rakyat di Indonesia.

Melihat dampak positif yang telah terjadi, sudah saatnya pendekatan berbasis bibit unggul seperti Sriwijaya menjadi strategi utama dalam membangun pertanian berkelanjutan. 

Bukan sekadar demi keuntungan jangka pendek, tetapi juga sebagai investasi sosial dan ekologis jangka panjang. 

Di tangan petani yang bijak dan didukung oleh sistem yang solid, bibit kecil itu bisa tumbuh menjadi harapan besar.**

 

 

 

 

 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan