Mengapa Sawit Tak Bersahabat dengan Cuaca Dingin Meski Membutuhkan Banyak Air

Mengapa Sawit Tak Bersahabat dengan Cuaca Dingin Meski Membutuhkan Banyak Air--screenshot dari web.

KORANRM.ID - Di balik gelombang hijau perkebunan yang mendominasi lanskap Sumatera dan Kalimantan, pohon-pohon sawit berdiri tegak seperti tentara yang setia. 

Mereka menghasilkan emas cair yang telah mengubah perekonomian desa, memperluas cakrawala ekspor, dan menjadi topik hangat dalam diskusi global tentang energi dan keberlanjutan. 

Namun di balik kejayaan itu, tersembunyi fakta yang jarang dibicarakan: sawit bukan tanaman yang serba tahan. 

Meski membutuhkan pasokan air melimpah untuk pertumbuhannya, tanaman ini nyatanya enggan tumbuh di wilayah dengan suhu rendah. 

Hubungan kompleks antara kebutuhan air dan intoleransi terhadap cuaca dingin menjadikan kelapa sawit tanaman tropis sejati-yang keanggunannya hanya bisa mekar di iklim tertentu.

Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan spesies yang berasal dari Afrika Barat dan berkembang pesat di Asia Tenggara. 

Di Indonesia, tanaman ini menjadi raja tak terbantahkan dalam perekonomian agrikultur. 

BACA JUGA:Hasil Panen Sawit Melimpah Produktivitas Meningkat Begini Cara Pemberian Pupuknya

Namun, habitat aslinya telah membentuk karakter tumbuhnya: hangat, lembap, dan mendapat paparan sinar matahari hampir sepanjang tahun. 

Iklim tropis adalah rumah bagi sawit. Maka ketika ia dipindahkan ke daerah pegunungan atau wilayah beriklim dingin, pertumbuhannya menjadi lambat, produktivitasnya menurun, dan daya tahannya terhadap penyakit melemah drastis.

Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri, khususnya bagi para petani dan investor yang mulai melirik lahan-lahan di dataran tinggi sebagai alternatif akibat keterbatasan lahan datar. 

Mereka berharap dengan cukupnya air dari hujan dan kelembapan alami di daerah dingin, tanaman sawit akan tetap tumbuh subur. Namun kenyataannya jauh dari ekspektasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Palma (Balitpalma) menunjukkan bahwa pertumbuhan kelapa sawit sangat tergantung pada suhu optimal antara 24°C hingga 32°C. 

Di bawah suhu 20°C, proses fisiologis tanaman terganggu. Salah satunya adalah fotosintesis yang melambat drastis, menyebabkan pembentukan buah terganggu dan mengurangi potensi hasil tandan buah segar. 

Bahkan dalam kasus tertentu, pohon sawit bisa mengalami “dormansi” tidak resmi, di mana daunnya tetap hijau tetapi tak ada pertumbuhan signifikan selama berbulan-bulan.

Salah satu contoh konkret terjadi di daerah pegunungan rendah di Sumatera Barat dan Sulawesi Tengah. 

Beberapa petani mencoba peruntungan dengan menanam sawit di atas ketinggian 800 meter dari permukaan laut, yang secara teknis masih bisa disebut wilayah tropis. 

Meskipun curah hujan cukup tinggi dan ketersediaan air bukanlah masalah, suhu malam yang terlalu rendah telah menyebabkan keterlambatan fase generatif. 

Bahkan pohon yang sudah berusia lima tahun belum menunjukkan produksi maksimal seperti yang biasanya terjadi di dataran rendah dalam waktu yang sama.

Para ahli agronomi menjelaskan bahwa kebutuhan air sawit tidak dapat disamakan dengan toleransi terhadap cuaca. 

Tanaman ini memang haus air, membutuhkan sekitar 1.800 hingga 2.500 mm curah hujan per tahun, namun ia menyerap air secara efektif hanya bila suhu lingkungan mendukung proses metabolisme internalnya. 

Tanpa suhu yang ideal, akar tanaman tidak bekerja optimal, dan aliran air dalam jaringan pembuluh tidak berjalan lancar. Dengan kata lain, banyaknya air tidak berarti banyak manfaat jika suhu tidak mendukung.

Keengganan sawit terhadap suhu dingin juga terkait dengan kebutuhannya akan radiasi matahari. 

Dalam satu studi yang dipublikasikan di Journal of Oil Palm Research (2020), terungkap bahwa tanaman sawit memerlukan sekitar 5 hingga 6 jam sinar matahari langsung setiap hari untuk menjaga aktivitas fotosintetiknya dalam kapasitas optimal. 

Di daerah yang sering tertutup kabut pagi atau awan tebal karena temperatur rendah, kebutuhan ini sulit terpenuhi. 

Akibatnya, bukan hanya pertumbuhan yang melambat, namun kandungan minyak dalam buah pun berkurang secara signifikan.

Dampak ekonominya pun cukup besar. Dalam sebuah simulasi ekonomi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit Indonesia (PPKS), sawit yang ditanam di wilayah dengan suhu rata-rata di bawah 22°C mengalami penurunan produktivitas hingga 35% dibandingkan dengan yang ditanam di iklim ideal. 

Ini berarti hilangnya potensi pendapatan jutaan rupiah per hektar per tahun bagi petani.

Tantangan semacam ini menuntut pendekatan yang lebih cermat dari berbagai pemangku kepentingan. 

Petani perlu memahami bahwa air saja tidak cukup untuk menjamin kesuksesan dalam budidaya sawit. 

Kondisi mikroklimat seperti suhu minimum harian, jumlah jam penyinaran, serta kestabilan suhu siang dan malam menjadi variabel yang tak bisa diabaikan. 

Di sisi lain, pemerintah dan lembaga penelitian diharapkan tidak sekadar menggalakkan perluasan lahan, tetapi juga membekali petani dengan pemahaman agroklimat yang memadai agar keputusan investasi tak berubah menjadi kerugian.

Beberapa lembaga pemuliaan tanaman seperti Balitpalma dan Malaysian Palm Oil Board (MPOB) kini berfokus menciptakan bibit sawit yang lebih tahan terhadap suhu rendah, tanpa mengorbankan hasil minyak. 

Melalui rekayasa genetik dan seleksi benih dari populasi yang tumbuh di batas toleransi ketinggian, mereka berupaya membentuk varietas baru yang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan marginal.

Namun proses tersebut bukan perkara sekejap. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan bibit baru yang teruji lapangan. 

Di saat yang sama, adaptasi teknologi seperti pemanfaatan sistem agroforestri, pelindung tanaman, dan pengaturan tata ruang kebun dapat menjadi solusi jangka menengah. 

Di beberapa lokasi eksperimental, penggunaan tanaman pelindung seperti sengon atau gamal untuk menaungi bibit sawit muda terbukti dapat mengurangi stres termal akibat fluktuasi suhu, sekaligus memperbaiki kualitas tanah.

Adaptasi juga tak semata teknis. Ia memerlukan perubahan paradigma dalam cara kita melihat alam dan bercocok tanam. 

Ketika sawit menjadi komoditas unggulan nasional, godaan untuk memperluas areal tanam tanpa pertimbangan ekologis sangat besar. 

Padahal, memaksa tanaman tropis tumbuh di luar zona nyamannya bukan hanya berisiko gagal panen, tetapi juga dapat menciptakan konflik baru dengan ekosistem lokal.

Ke depan, pertanyaan besar yang perlu dijawab bukan sekadar “di mana lagi sawit bisa ditanam”, tetapi lebih dalam: bagaimana sawit bisa ditanam secara bijak, lestari, dan sesuai dengan daya dukung alam? 

Dalam konteks perubahan iklim yang semakin nyata, suhu bumi yang tak menentu bisa jadi akan membuat zona nyaman bagi sawit semakin menyempit. 

Maka pendekatan cerdas, kolaboratif, dan berbasis sains menjadi syarat mutlak agar pohon ini tak hanya tumbuh, tapi juga berkelanjutan.

Jika kita melihat jejak pertumbuhan sawit di masa lalu, ada pelajaran berharga yang bisa diambil. 

Keberhasilan industri ini bukan semata karena potensi alam, tetapi karena adanya sinergi antara teknologi, pengetahuan lokal, dan dukungan kebijakan. 

Maka untuk mengatasi tantangan iklim dingin yang menghambat sawit, strategi yang serupa perlu diterapkan. 

Diperlukan sinergi antara pemerintah daerah, akademisi, penyuluh, dan petani untuk menyusun peta kesesuaian lahan yang lebih akurat serta menetapkan zona agroklimat yang kompatibel.

Indonesia, sebagai produsen kelapa sawit terbesar dunia, punya tanggung jawab lebih dari sekadar menjaga produktivitas. 

BACA JUGA:Simak, Informasi Umum Tentang Kelapa Sawit yang Jarang diketahui

Negara ini juga bertugas menunjukkan bahwa agribisnis bisa berpadu dengan kehati-hatian ekologis dan kecermatan ilmiah. 

Dalam hal ini, memahami karakter tanaman hingga ke akar biologisnya adalah langkah pertama yang menentukan. 

Bahwa sawit perlu air memang benar, tetapi itu tak berarti ia akan tumbuh di tempat yang basah sekalipun jika suhu tak bersahabat.***

Sumber tulisan 

* Sutaryo, S., et al. (2021). *Pengaruh Suhu dan Ketinggian Tempat Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kelapa Sawit*. Jurnal Agronomi Indonesia, Vol. 49(3), pp. 157–164.

* Balai Penelitian Tanaman Palma (Balitpalma), Laporan Penelitian Tahunan, 2022.

* Pusat Penelitian Kelapa Sawit Indonesia (PPKS), *Simulasi Ekonomi dan Studi Kelayakan Tanaman Sawit di Daerah Marginal*, 2021.

 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan