Perempuan di Balik Perkebunan Sawit: Kisah, Peran, dan Tantangan Mereka

Perempuan di Balik Perkebunan Sawit: Kisah, Peran, dan Tantangan Mereka--screenshot dari web.
KORANRM.ID - Mengungkap kontribusi dan perjuangan kaum perempuan sebagai tenaga kerja maupun pengelola kebun. Di tengah hamparan luas perkebunan sawit yang membentang dari Sumatera hingga Kalimantan, berdiri sosok-sosok tangguh yang kerap luput dari sorotan. Mereka adalah perempuan—bukan sekadar istri petani atau tenaga pendukung, melainkan penggerak utama yang turut menjaga nadi industri kelapa sawit tetap berdetak. Dari fajar menyingsing hingga senja merunduk, mereka bekerja tanpa banyak suara, tetapi dengan dedikasi yang tak tergantikan. Di balik seragam lusuh dan tangan yang tergores ranting, tersimpan cerita tentang daya juang, peran ganda, dan ketangguhan perempuan di jantung industri agrikultur terbesar negeri ini.
Selama ini, narasi besar tentang perkebunan sawit terlalu sering berputar pada aspek ekonomi makro, produksi, dan isu keberlanjutan. Namun, ada lapisan yang lebih dalam dan manusiawi: bagaimana perempuan menghadapi kerasnya kehidupan di kebun, sambil tetap menjalankan peran domestik sebagai ibu, istri, bahkan kepala keluarga. Banyak dari mereka adalah buruh harian lepas, pemanen buah, atau perawat bibit yang bekerja di bawah terik matahari tanpa jaminan sosial yang layak. Namun ada juga yang menjadi pengelola kebun plasma, pemimpin koperasi, dan pelatih petani wanita—membangun sistem ekonomi keluarga yang lebih mandiri dan berdaya.
Di Sumatera Selatan, misalnya, perempuan seperti Ibu Nurlaela dikenal sebagai motor penggerak kelompok tani perempuan. Berawal dari buruh pembersih pelepah, ia kini memimpin lebih dari 30 ibu rumah tangga untuk mengelola kebun sawit plasma secara kolektif. Bagi mereka, sawit bukan sekadar sumber penghidupan, tapi juga medan pembelajaran, solidaritas, dan pemberdayaan. Melalui pelatihan dan pendampingan dari LSM dan perusahaan mitra, mereka belajar tentang manajemen keuangan, teknik pertanian berkelanjutan, hingga cara mengakses pasar hasil panen secara langsung. Di tangan mereka, sawit menjadi medium transformasi sosial.
BACA JUGA:Ekspor Sawit Lewat Jalur Digital: E-Commerce sebagai Pasar Baru Petani Milenial
Namun jalan mereka tidak pernah mudah. Perempuan di perkebunan sawit menghadapi tantangan berlapis—mulai dari beban kerja ganda, keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, hingga stereotip sosial yang membatasi ruang gerak mereka. Dalam banyak kasus, pekerjaan mereka sebagai penyemprot herbisida atau pengumpul brondolan dilakukan tanpa alat pelindung yang memadai, membuka risiko kesehatan yang serius. Ketika mereka hamil atau melahirkan, tidak ada sistem perlindungan kerja yang benar-benar berpihak. Hak cuti sering diabaikan, dan akses ke layanan kesehatan dasar masih menjadi kemewahan yang langka, terutama di kebun-kebun yang jauh dari pusat kota.
Meski begitu, semangat perempuan di sektor ini tidak pernah padam. Mereka mulai membangun jaringan solidaritas, mendirikan koperasi perempuan, dan memperjuangkan suara mereka di ruang-ruang pengambilan keputusan. Di Kalimantan Barat, koperasi yang dikelola sepenuhnya oleh ibu-ibu petani berhasil menciptakan unit usaha sendiri—mulai dari pengolahan minyak goreng lokal, produksi pupuk organik, hingga penyediaan bahan pangan komunitas. Pendapatan mereka meningkat, dan yang lebih penting, mereka merasa dihargai sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar pelengkap ekonomi rumah tangga.
Inisiatif pemerintah dan swasta mulai merespons realitas ini, meski belum merata. Beberapa perusahaan perkebunan besar mulai menjalankan program gender equality dengan membentuk Komite Perempuan yang bertugas mengawasi kondisi kerja dan kesejahteraan tenaga kerja perempuan. Program-program ini meliputi pelatihan keahlian tambahan, ruang laktasi, fasilitas penitipan anak, hingga kebijakan anti-kekerasan berbasis gender. Meski baru sebatas langkah awal, upaya ini penting untuk menciptakan ekosistem kerja yang inklusif dan berkeadilan.
Di sisi lain, dukungan kebijakan publik terhadap pemberdayaan perempuan di sektor sawit masih perlu diperkuat. Skema-skema sertifikasi seperti ISPO dan RSPO kini mulai memasukkan indikator kesetaraan gender dalam penilaian keberlanjutan. Namun, implementasi di lapangan belum merata. Banyak perempuan petani dan buruh yang belum tersentuh pelatihan atau pendampingan khusus. Padahal, studi menunjukkan bahwa ketika perempuan dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan lahan dan keuangan, efisiensi dan keberlanjutan kebun justru meningkat. Ini bukan sekadar isu kesetaraan, melainkan strategi cerdas untuk masa depan industri sawit Indonesia yang tangguh dan beretika.
Kisah perempuan di balik perkebunan sawit juga merekam perubahan generasi. Anak-anak perempuan petani kini banyak yang melanjutkan pendidikan tinggi di bidang pertanian, lingkungan, dan manajemen. Mereka kembali ke kampung halaman sebagai agripreneur, fasilitator komunitas, atau tenaga ahli perkebunan yang lebih sensitif terhadap isu sosial dan keberlanjutan. Di tangan generasi muda perempuan ini, narasi tentang sawit tidak lagi hitam putih. Ia menjadi cerita tentang inovasi, kepedulian, dan tekad untuk membawa industri ini ke arah yang lebih adil dan manusiawi.
Melihat besarnya kontribusi mereka, penting bagi kita semua—pemerintah, pelaku industri, masyarakat sipil, dan konsumen—untuk mulai menghargai dan memperjuangkan hak-hak perempuan di sektor sawit. Mereka bukan sekadar korban sistem atau pelengkap tenaga kerja, melainkan bagian integral dari mesin ekonomi nasional. Di balik hasil panen yang mengisi pasar ekspor dan menopang devisa negara, ada tangan-tangan perempuan yang bekerja dalam diam. Memberi makan keluarga, menyekolahkan anak-anak, dan memelihara harapan bahwa suatu hari nanti, dunia akan benar-benar melihat dan mengakui kerja keras mereka.
Membangun masa depan sawit yang berkelanjutan tak bisa dilepaskan dari keadilan gender. Festival, kebijakan, dan program yang menyuarakan perempuan harus menjadi arus utama, bukan agenda tambahan. Hanya dengan mengakui seluruh peran—termasuk yang selama ini tersembunyi—kita bisa menyusun ulang wajah industri sawit Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan berdaya saing tinggi. Perempuan di balik perkebunan bukan lagi bayangan samar, melainkan cahaya yang menyinari jalan transformasi sektor sawit menuju masa depan yang lebih baik.