Dana Ketahanan Pangan Untuk Era Baru Pengelolaan BUMDes

KORANRM.ID - Pembangunan ekonomi melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sepertinya menemukan era baru melalui Kepmendes Nomor 3 Tahun 2025. Sebab dalam Kepmendes tersebut memberikan spesifikasi pengelolaan BUMDes berbasis Ketahanan Pangan, salah satu sektor yang sangat populer di negara maritim seperti Indonesia. Tak mau nanggung, Kepmendes ini memberi mandat pengalokasian Dana Desa (DD) minimal sebesar 20 persen untuk Ketahanan Pangan yang akan dikelola melalui BUMDes. Semangat baru ini bukan tanpa alasan. BUMDes yang awalnya diharapkan sebagai lokomotif penggerak perekonomian di aras lokal belum sepenuhnya menemukan bentuk.
BACA JUGA:Berkah Ramdhan 7 Warga di Desa Mekar Sari Terima Bantuan Tunai
BACA JUGA:Jepang Negara yang Paling Punya Rasa Malu dan Disiplin
Per tanggal 22 Juni 2024 Kemendes, mencatat sebanyak 65.941 BUMDes yang sudah terbentuk di Indonesia. Dari jumlah itu pada tahun 2021 terdapat 12.040 BUMDes yang tidak aktif. Sebanyak 15.768 atau 35 persen di antara BUMDes yang aktif tersebut terdampak pandemi hingga tutup usaha dan merumahkan 123.176 pekerjanya. Selebihnya, masih banyak BUMDes yang jalan di tempat, dan tidak berdampak ke Desa. Mandat alokasi anggaran yang fantastis dalam Kepmendes ini menangkis fenomena pembentukkan BUMDes yang selama ini asal jadi, asal ada, asal buat. Dan masih banyak BUMDes yang penyertaan modal asal ada, supaya memenuhi persyaratan tertentu untuk mendapatkan bantuan.
Hal tersebut bisa dimakhlumi, sebab di tengah skema pertangungjawaban pengelolaan keuangan desa yang rigid, dan Pemerintah Desa perlu menghitung risiko pembentukkan BUMDes. Apalagi ditunjang dengan sejumlah fakta pembangunan BUMDes yang kandas dalam pengelolaannya. Tetapi sekarang, mandat Kepmendes ini mengharuskan setiap desa, siap tidak siap, untuk mengalokasikan minimal 20 persen Dana Desa dalam bentuk Penyertaan Modal ke BUMDes. Penyertaan modal BUMDes yang fantastis ini memberi signal bahwa misi Ekonomi Mandiri Berkelanjutan dalam kacamata Sustainable Economic Development Goal, pembangunan ekonomi berkelanjutan, tengah dijalan. Penyertaan modal secara terus menerus, tetapi harus berdiri sendiri menghidupi dirinya sendiri. Konsekuensi logisnya adalah, penyertaan modal BUMDes harus dalam skema perhitungan bisnis, bukan proyek bagi- bagi uang.
BACA JUGA:Dinas Perikanan Optimalkan BBI
Kesalahan pengolahan BUMDes sebelumnya, Momentum Kepmendes Nomor 3 Tahun 2025 harus dijadikan sebagai ruang evaluasi dalam melakukan pembenahan- pembenahan strategis di tubuh pengelolaan BUMDes. Sebab, BUMDes dikelola dalam skema pengelolaan keuangan negara yang menuntut transparansi, akuntabilitas, serta memiliki visi ekonomi yang jelas dan terukur. Sebagai bahan refleksi, ada sejumlah fenomena atau kesalahan pengelolaan BUMDes yang seringkali menjerat Pemerintah Desa. Pertama BUMDes tidak berbasis Musyawarah. Ada begitu banyak praktik pembentukkan BUMDes yang tidak transparan dan terkesan berjalan sendiri. Padahal, BUMDes harus dipertanggungjawabkan di dalam musyawarah Desa. Kepala Desa dalam pengelolaan BUMDes berperan sebagai penasihat pengelolaan BUMDes, dan sebagai pengawas internal BUMDes.
Kepala Desa tidak melakukan intervensi management, tetapi lebih kepada menjaga koridor bisnis tetap sejalan dengan kesepakatan musyawarah desa. Untuk itu, pertangungjawaban pengelolan oleh direksi maupun nasihat dan pengawasan Kepala Desa harus dipertanggungjawabkan dalam forum pengambilan keputusan tertinggi, yaitu musyawarah Desa. Prinsip ini mengedepankan posisi BUMDes sebagai kepemilikan publik, bukan milik desa saja. Kedua Unit Usaha BUMDes Tidak Memiliki Analisis Kelayakan Usaha. Analisis Kelayakan Usaha merupakan kegiatan pemetaan potensi dan perencanaan bisnis. Pemetaan potensi dilakukan dengan mengukur peluang usaha dan support sumber daya yang tersedia dalam pengelolaan suatu jenis usaha. Selain itu, indikator suatu bisnis dikatakan layak ketika perhitungan Rencana Pengeluaran dan Proyeksi Keuntungan dapat terukur dengan baik.
BACA JUGA:Berkah Ramadan, Polsek Lubuk Pinang Bagikan Takjil Gratis
Jika analisis tidak menguntungkan, maka unit usaha harus diganti dengan usaha lain yang lebih menguntungkan. Sederhana, tetapi masih banyak yang terjebak. Sebab, mendeteksi beban pengeluaran dan proyeksi pemasukkan harus dilakukan oleh orang- orang yang terbiasa dengan bisnis. Maka dari itu, alangkah baiknya jika BUMDes tidak dalam ruang menciptakan usaha yang benar- benar baru dan tidak populer, tetapi menjalankan bisnis yang sudah ada atau sedang dijalankan masyarakat agar meminimalisasi risiko kerugian terjadi. Untuk itu, menjadi penting BUMDes dikelola secara transparan dan melibatkan masyarakat luas.
Kemudian ketiga, Kesalahan Perhitungan Biaya Operasional. Pemerintah Desa tidak boleh menggaji pengelola BUMDes di luar penyertaan modal. Penyertaan modal tidak boleh sebagian besar digunakan untuk membiayai belanja pegawai. Penyertaan modal harus mayoritas dialokasikan untuk belanja produktif usaha. Dalam praktiknya, BUMDes menghabiskan penyertaan modal untuk belanja pegawai, sedangkan usahanya tidak pernah berbuah hasil. Hal ini membuat sejumlah BUMDes menjadi merugi dan mati. Padahal, dalam AD/ART BUMDes rata- rata mengatur belanja pegawai BUMDes berasal dari presentasi keuntungan usaha. Untuk itu, rancangan analisis usaha BUMDes harus mampu menjelaskan kapan break even point (BEP) atau (perhitungan untung/rugi). Kepmendes ini menyarankan Rancangan Anggaran Biaya (RAB) dihitung untuk 1 musim tanam. Artinya, biaya produksi termasuk tenaga managerial pengelola harus sudah terinclude dalam RAB ini, sehingga keuntungan bersih dapat diproyeksi dengan baik. Keseluruhan perhitungan ini dimasukkan ke dalam Analisis Kelayakan Usaha di awal, sehingga BUMDes tidak asal jalan, tetapi memiliki target profit yang jelas.
BACA JUGA:Daftar Haji Sekarang, Berangkatnya Tahun 2050
Selanjutnya yang keempat kesalahan dalam pengelolaan BUMDes adalah, Sumber Daya Pengelola BUMDes. Sebagai lembaga ekonomi, pengelolaan BUMDes harus diserahkan kepada pelaku bisnis profesional di desa. Idealnya, BUMDes dikelola oleh orang yang kompeten di bidang usaha yang akan dijalankan BUMDes, atau melalui skema kerjasama dengan usaha masyarakat yang secara nyata sudah berjalan. Dengan skema ini, usaha yang dijalankan BUMDes bukanlah usaha karbitan, tetapi pure sebagai usaha lokal yang dilembagakan dalam skema BUMDes.
Kepmendes Nomor 3 tahun 2025 ini tidak membatalkan status BUMDes yang sudah ada. BUMDes yang sudah terbentuk tinggal melakukan musyawarah perubahan Peraturan Desa Tentang Pembentukkan BUMDes dan memasukkan Unit- Unit Usaha yang berkaitan dengan ketahanan pangan ke dalam AD/ART BUMDes. Jika BUMDes belum terbentuk, maka Pemerintah Desa dapat melakukan skema kerjasama dengan Lembaga Ekonomi di Desa. Jika tidak terdapat lembaga ekonomi yang mumpuni, Pemerintah Desa melakukan pengelolaan dengan membentuk Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) Ketahanan Pangan, dengan tetap memperhatikan sumber daya pengelola yang mumpuni, memiliki kecakapan bisnis, serta mampu melakukan managerial bisnis.
Kerjasama Pengelolaan Ketahanan Pangan, skema pengelolaan Ketahanan Pangan berbasis BUMDes merupakan upaya spesifikasi unit usaha yang sudah lama melekat di sebagian besar masyarakat desa. Berbeda dengan model pengelolaan sebelumnya, penyertaan modal ke BUMDes kali ini hanya diperuntukkan untuk jenis usaha yang berkaitan langsung dengan ketahanan pangan, seperti bidang pertanian, perikanan, peternakan, maupun jasa pengelolaan pangan. Tidak ada perintah pembentukan unit usaha baru di luar sektor- sektor di atas. Dalam pengelolaan pertanian, BUMDes harus memastikan keseluruhan siklus pertanian tercover dalam perencanaan bisnisnya, mulai dari penyediaan lahan, pembibitan, kemudian penanaman, pemeliharaan, pemanenan, sampai pada aktivitas pasca-panen seperti penyimpanan dan pemasaran.
Untuk pengelolaan di sektor perikanan dan peternakan, fokus usaha harus mempertimbangkan aspek pemeliharaan, pemanenan, penyimpanan, dan pemasaran. Kita mungkin ragu, dan bertanya: apakah BUMDes mampu melaksanakan kegiatan ini sendirian Pada titik ini, harus disadari bahwa semua bahan ramuan untuk membentuk lembaga ekonomi bertema Ketahanan Pangan sudah ada dan hidup lama di desa. Masalahnya sederhana, masyarakat membutuhkan modal produksi, BUMDes membutuhkan unit usaha yang kuat, mengakar, dan masif. Untuk itu, BUMDes dituntut aktif untuk membangun skema kerja sama dengan kelompok ekonomi lokal yang sudah ada. Skema kerjasama para pihak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Pertama kerja sama dengan Kelompok Usaha lokal. Pembentukkan BUMDes pada prinsipnya tidak boleh mematikan usaha yang sudah ada. Bahkan, BUMDes dalam misi sosialnya dituntut untuk menjadi katalisator ekonomi yang ikut serta mendukung dan melindungi usaha masyarakat. Dalam konteks Ketahanan Pangan di Manggarai Timur misalnya, masyarakat Desa sudah menjadi pelaku ketahanan pangan. Hal ini tentunya menjadi kemudahan bagi BUMDes untuk melakukan skema kolaborasi. Tanah Masyarakat Desa bisa dijadikan modal awal project ketahanan pangan, tenaga kerja dapat dihitung sebagai modal kerja, apalagi mereka sudah berpengalaman dalam pertanian. Bahkan, di sisi pemasaran, masyarakat desa sudah mampu memasarkan produk mereka sendiri. Di titik ini, BUMDes harus dihadirkan untuk menyelesaikan permasalahan pertanian masyarakat, seperti memangkas praktik ijon melalui kerja sama penyediaan pupuk, misalnya. Sebab, ijon hadir ketika masyarakat tidak mampu membayar ongkos produksi sendiri seperti penyediaan bibit, pupuk, teknologi tepat guna, tenaga kerja, dan sebagainya. Saat panen, BUMDes mengambil peran sebagai pembeli.
Kolaborasi ini mengisi rantai hulu-hilir produksi pertanian sehingga ketahanan ekonomi lokal menjadi tidak mudah digoyahkan. Akan tetapi perlu dipahami bahwa BUMDes bergerak dalam skema bisnis sehingga support yang diberikan harus mampu memberikan hasil timbal balik untuk BUMDes. Skema BUMDes tidak boleh dilihat seperti bantuan pemerintah yang hanya diberikan tanpa berharap dikembalikan. Sebab nomenklatur pengelolaan keuangan BUMDes adalah penyertaan modal Desa/investasi, dan investasi harus memiliki proyeksi keuntungan. Kemudian yang kedua, Kerja sama BUMDes antar Desa melalui BUMDes Bersama. BUMDes bersama dibentuk dengan kesamaan ekosistem usaha, mempertimbangkan prinsip efisiensi, efektivitas, dan ekonomis. Misalnya, desa yang sama- sama memiliki potensi usaha peternakan, dapat melakukan sharing modal pembentukan usaha peternakan.
Tidak cuma uang, sharing juga bisa berbentuk penyediaan modal dalam bentuk lainnya seperti penyediaan lahan, ataupun penggunaan aset- aset. Yang terpenting adalah pola kerjasama maupun skema pembagian hasil kerja harus sesuai dan tertuang dalam AD/ART BUMDes bersama. Sekali lagi, harus dalam prinsip bisnis! Ketiga, koordinasi Pemerintahan Supra Desa. Dalam upaya untuk melakukan sinkronisasi program Ketahanan Pangan, Kementerian Desa membuka ruang koordinasi lintas pemerintah desa maupun terhadap pemerintah Kabupaten/Kota. Keberadaan BUMDes membuka ruang bantuan pemerintah daerah menjadi tersentral, fokus, dan lebih tematik. Pemerintah Daerah juga memiliki sumber daya profesional yang tersebar di wilayah desa. Momentum ini menjadi peluang bersama untuk membangun ruang kolaborasi dan koordinasi dalam penataan pengelolaan ketahanan pangan di desa.
Pengelolaan Unit Usaha Berbasis Tematik. Pembenahan BUMDes tidak boleh lagi hanya dilihat dari kacamata keterpenuhan administrasi kelembagaan, tetapi juga berlandaskan visi ketahanan pangan yang tengah digaungkan. Menata skema Ketahanan Pangan dalam sebuah konsep bisnis bukanlah pekerjaan mudah. Maka dari itu, pelaksanaan unit usaha BUMDes tidak harus serta merta mengeksekusi keseluruhan sektor yang ada, tetapi bisa juga ditempuh melalui strategi Ketahanan Pangan berbasis Tematik. Pengelolaan Ketahanan Pangan berbasis Tematik bisa dimulai dengan menggarap project tertentu sesuai dengan karakter pangan dan potensi di wilayah desa tersebut. Misalnya dengan menjalankan project menanam Jagung di tanah aset desa. Proposal dibuat dalam durasi satu musim tanam dengan menghitung keseluruhan biaya mulai dari pembukaan lahan, pembibitan, pemupukan, pemeliharaan, sampai pada penentuan pasar, dan margin profit.
Proposal digarap bersama dengan para petani jagung, sehingga setiap rincian anggaran dapat terdeteksi. Dengan metode ini, proyeksi pengelolaan unit usaha menjadi lebih dekat dan lebih nyata, dengan risiko yang lebih dapat diminimalisasi. Pengelolaan Unit Usaha berbasis tematik dimaksud untuk mencegah bias konsentrasi, baik dari pihak direksi BUMDes, maupun pengelola unit usaha. Pengelolaan secara tematik dengan durasi panen yang singkat akan memberikan waktu lebih banyak untuk dievaluasi dan menemukan solusi dengan segera. Sehingga pada akhirnya, pengelolaan BUMDes harus didasarkan pada semangat kebersamaan masyarakat desa. Sebagai sebuah kesatuan, sadar atau tidak, masyarakat desa sejak dulu telah membentuk entitas ekonomi bersama. Kelompok ini hanya perlu difasilitasi, diramu, diberdayakan.
BUMDes yang dilengkapi dengan spirit ketahanan pangan harus menjadi arena ekonomi bersama, menjadi tonggak kekuatan setiap masyarakat untuk menjaga semangat bahu membahu, gotong royong dalam wadah Badan Usaha Milik Desa. Agar BUMDes dapat maju dan mandiri, maka setiap Desa harus percaya pada kemampuan warganya untuk mengubah nasib. Nasib Desa tidak akan berubah, kecuali warga desa itu sendiri yang merubahnya. Desa bukan miskin potensi, tetapi minim keberanian dan inovasi. Banyak warga desa yang silau atas kemajuan daerah lain, padahal mereka sedang duduk di gunungan emas. Untuk itu BUMDes harus menjadi rumah besar semua usaha di desa. Harus mampu jadi lokomotif untuk menggerakkan semua potensi yang ada desa. Harus mampu jadi panggung untuk mendorong warga desa jadi pemain dan bukan penonton.
Artikel ini ditulis oleh Hilarian Arischi Hadur (Ahli Pertama Pertama Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Daerah Pada Inspektorat Daerah Kabupaten Manggarai Timur dan sudah terbit di Voxntt.co. Sesuai dengan Kemendes Nomor 3 tahun 2025 tentang penggunaan dana program ketahanan pangan, tentu tidak ada salahnya artikel ini bisa menjadi bahan studi banding bagi pemerintah desa untuk memulai membentuk BUMDes bagi yang belum ada BUMDes, dan mengembangkan usaha BUMDes berbasis ketahanan pangan bagi desa yang sudah memilki BUMDes.(**)