radarmukomukobacakoran.com-Di tengah ketegangan geopolitik yang kerap kali mengisi berita internasional, salah satu sosok yang menarik perhatian adalah Ahmed al-Jolani, pemimpin dari kelompok jihadis Hay'at Tahrir al-Sham (HTS) yang berbasis di Suriah. Jolani, yang terkenal karena keterlibatannya dalam perang saudara Suriah dan posisinya sebagai pemimpin salah satu kelompok bersenjata terbesar di negara tersebut, kini dihadapkan pada pilihan politik yang sangat penting. Salah satu pilihan yang mencuri perhatian adalah sikapnya yang enggan berperang dengan Israel, meskipun kelompoknya terlibat dalam konflik besar dengan berbagai pihak di Suriah. Jolani lebih memilih untuk fokus pada tujuan utamanya, yaitu menggulingkan rezim Bashar al-Assad.
BACA JUGA:Perang Rusia-Ukraina Api Konflik Makin Memanas, Ini Fakta Terbaru yang Perlu Anda Ketahui!
BACA JUGA:Tingkatan Kapasitas Perangkat Desa, Camat Penarik Gelar Pelatihan
Ahmed al-Jolani adalah pemimpin dari Hay'at Tahrir al-Sham (HTS), yang merupakan salah satu kelompok jihadis yang sangat berpengaruh dalam konflik Suriah. Sebelumnya, HTS dikenal dengan nama Jabhat al-Nusra, yang merupakan cabang al-Qaeda di Suriah. Namun, setelah beberapa tahun, kelompok ini menyatakan diri sebagai entitas independen, meskipun banyak analis yang masih melihatnya sebagai penerus ideologi al-Qaeda.
Jolani sendiri adalah seorang pria kelahiran Suriah yang memiliki latar belakang militer. Sebelum terlibat dalam jihad di Suriah, ia merupakan anggota dari kelompok-kelompok militan yang berafiliasi dengan al-Qaeda. Sejak konflik Suriah dimulai pada 2011, Jolani telah memainkan peran penting dalam berbagai pertempuran yang terjadi, termasuk pertempuran melawan rezim Assad, serta kelompok-kelompok lain seperti ISIS dan pasukan Kurdi. Keputusannya untuk menempatkan Hay'at Tahrir al-Sham sebagai kekuatan utama di wilayah barat laut Suriah, terutama di Idlib, memberikan pengaruh besar dalam jalannya perang.
Namun, meskipun kelompoknya dikenal keras terhadap pemerintahan Assad dan berbagai pihak lain yang dianggap musuh, Jolani menunjukkan sikap yang cukup kontroversial terkait dengan Israel. Ia memilih untuk tidak terlibat dalam konflik langsung dengan negara tersebut, meskipun situasi di kawasan Timur Tengah seringkali menempatkan Israel dalam posisi yang terlibat dalam berbagai pertempuran.
Keputusan Jolani untuk tidak terlibat dalam pertempuran dengan Israel berakar pada beberapa faktor yang sangat pragmatis. Pertama-tama, Jolani menyadari bahwa konflik dengan Israel akan sangat menguras sumber daya yang dimiliki oleh Hay'at Tahrir al-Sham, yang saat ini sudah terlibat dalam berbagai pertempuran besar di Suriah. Perang dengan Israel tidak hanya akan memperburuk posisi HTS di mata negara-negara besar, tetapi juga berpotensi mengalihkan fokus dari tujuan utama kelompok tersebut, yaitu menggulingkan rezim Bashar al-Assad.
Bagi Jolani dan kelompoknya, perjuangan utama adalah untuk menggulingkan rezim yang dipimpin oleh Bashar al-Assad, yang dianggap sebagai musuh utama mereka. Rezim Assad memiliki dukungan kuat dari Rusia dan Iran, dua negara besar yang terlibat dalam konflik Suriah dengan kepentingan strategis yang besar. Dalam konteks ini, HTS lebih memilih untuk fokus pada pertempuran melawan pasukan Assad dan kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan rezim tersebut. Alih-alih mengalihkan sumber daya dan perhatian ke arah Israel, Jolani memilih untuk mengonsentrasikan kekuatan mereka dalam memerangi pemerintah Suriah yang dianggap sebagai ancaman utama bagi kelangsungan kelompoknya.
Selain itu, ada juga faktor politik yang mempengaruhi keputusan Jolani. Beberapa analisis politik mengemukakan bahwa Jolani dan HTS mungkin mempertimbangkan pentingnya hubungan dengan negara-negara besar seperti Turki, yang memiliki peran kunci dalam mengendalikan wilayah Idlib. Turki sendiri, meskipun mendukung kelompok-kelompok oposisi Suriah, tidak ingin memperburuk hubungan dengan Israel. Ini berarti bahwa HTS, yang memiliki pengaruh di wilayah tersebut, harus menjaga hubungan yang relatif netral dengan Israel untuk menghindari keretakan dengan sekutu-sekutu regional yang lebih kuat.
BACA JUGA:Bukan PPN 12%! DPR Minta Pemerintah Perangi Impor Ilegal demi Optimalisasi Pajak
BACA JUGA:Pemdes Talang Sepakat Segera Buka Penjaringan Perangkat Baru
Keputusan Jolani untuk tidak terlibat dalam konflik dengan Israel dapat dilihat sebagai hasil dari dinamika geopolitik yang terus berkembang di Suriah dan kawasan Timur Tengah. Meskipun tidak ada pernyataan resmi mengenai kapan tepatnya keputusan ini dibuat, kita dapat melihat perubahan sikap ini setelah beberapa tahun konflik yang semakin kompleks. Selama beberapa tahun terakhir, terutama setelah 2017, HTS telah lebih fokus pada penyerangan terhadap pasukan Assad dan ISIS, serta mempertahankan wilayah kekuasaannya di Idlib, yang merupakan salah satu daerah terakhir yang masih berada di luar kendali pemerintah Suriah.
Pada saat yang sama, perubahan kebijakan ini juga dapat dipengaruhi oleh perkembangan internasional. Pada 2019, Israel melakukan serangkaian serangan udara di Suriah, yang sebagian besar ditujukan untuk menghancurkan fasilitas-fasilitas militer yang dianggap sebagai ancaman bagi Israel, terutama yang terkait dengan Iran. Namun, HTS tidak terlibat langsung dalam pertempuran tersebut, meskipun berada di wilayah yang dekat dengan perbatasan Israel. Keputusan untuk tidak terlibat secara langsung dengan Israel mungkin juga mencerminkan kebutuhan Jolani untuk menghindari konflik dengan negara yang memiliki kekuatan militer yang jauh lebih besar.
Keputusan Jolani untuk tidak berperang dengan Israel memegang makna besar dalam konteks geopolitik dan dinamika internal Suriah. Pada dasarnya, ini menunjukkan bahwa Jolani sangat pragmatis dalam pendekatannya terhadap konflik yang lebih luas. Fokusnya tetap pada pencapaian tujuan utama, yaitu menggulingkan rezim Assad, dan menghindari konflik dengan Israel yang dapat memperburuk situasi bagi kelompoknya.
Selain itu, keputusan ini juga mencerminkan realitas politik di Timur Tengah, di mana banyak kelompok militan memilih untuk menahan diri dalam menghadapi Israel, terutama mengingat kekuatan militer negara tersebut. Israel, dengan dukungan dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, memiliki kemampuan untuk menghancurkan kekuatan militer yang relatif lebih kecil dan kurang terorganisir seperti yang dimiliki oleh kelompok-kelompok jihadis.
Bagi Jolani dan HTS, keputusan ini juga dapat dianggap sebagai strategi untuk menjaga kestabilan dalam wilayah yang mereka kuasai. Mempertahankan dominasi di Idlib, misalnya, jauh lebih penting daripada terlibat dalam perang yang bisa mengganggu posisi mereka di Suriah utara.
Keputusan Jolani untuk menghindari pertempuran dengan Israel tentunya memiliki dampak besar dalam konteks konflik Suriah yang lebih luas. Di satu sisi, langkah ini memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok seperti HTS lebih memilih untuk memusatkan sumber daya mereka pada musuh utama, yakni rezim Assad. Ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menciptakan fokus yang lebih tajam dalam menghadapi musuh yang telah menguasai sebagian besar negara tersebut.
Di sisi lain, keputusan ini juga menunjukkan bahwa Jolani dan HTS sangat mempertimbangkan faktor-faktor eksternal dalam menghadapi konflik Suriah. Alih-alih terlibat dalam konflik dengan Israel, yang akan membawa mereka ke dalam pertempuran yang jauh lebih besar dan lebih merusak, Jolani memilih untuk menjaga netralitas, yang pada gilirannya dapat membantu HTS menjaga posisi strategis mereka di Suriah.
Keputusan Ahmed al-Jolani untuk tidak terlibat dalam perang dengan Israel adalah keputusan strategis yang mencerminkan pemikiran pragmatis seorang pemimpin militan. Dengan memfokuskan perhatian pada tujuan utama, yaitu menggulingkan rezim Assad, Jolani menunjukkan bahwa ia memiliki visi jangka panjang dan mengerti bagaimana menjaga stabilitas dalam kelompoknya di tengah perang yang penuh dengan ketegangan politik dan militer.
Keputusan ini bukan hanya soal hubungan dengan Israel, tetapi juga terkait dengan prioritas dalam menghadapi konflik yang semakin kompleks di Suriah. Dengan situasi yang terus berkembang, keputusan Jolani untuk menghindari konfrontasi langsung dengan Israel menjadi bagian dari kalkulasi yang lebih besar yang akan menentukan nasibnya dan nasib kelompoknya di masa depan.
Referensi
1. BBC News. (2023). "Syrian Civil War: Who is Ahmed al-Jolani?"
2. Al Jazeera. (2023). "Jolani’s Strategy: Focusing on Assad, Not Israel."
3. The New York Times. (2023). "The Jihadist Strategy in Idlib: Jolani's Pragmatic Approach."
4. Reuters. (2024). "Why Jolani is Avoiding Conflict with Israel."
5. Middle East Eye. (2023). "Ahmed al-Jolani’s Calculations in the Syrian Conflict."
Kategori :