radarmukomuko.bacakoran.co - Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi besar untuk mengembangkan keberagaman budaya, ras, suku dan agama dalam masyarakatnya. Selain itu, bangsa Indonesia identik dengan berbagai macam suku, adat istiadat, tradisi, bahasa dan agama yang dapat dianggap sebagai perwujudan suatu kebudayaan.
Kabupaten Tana Toraja merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Sulawesi Selatan yang masih memegang teguh adat istiadat dan terkenal dengan keunikan budayanya. Masyarakat Toraja masih mempertahankan adat istiadat dan budaya yang diwarisi nenek moyang hingga zaman modern dan juga saat ini. Bagi masyarakat Toraja, sejarah panjang nenek moyang harus dijaga dengan cara menghormati orang yang sudah meninggal. Pemakaman menghormati peninggalan tetua keluarga atau tradisi. Tradisi unik Tana Toraja adalah Ma'Nene. Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang tinggal di pegunungan atau dataran tinggi. Namun masyarakat Toraja lebih suka dipanggil Maraya yang artinya keturunan bangsawan bernama Sawerigading. Tradisi Ma'Nene merupakan warisan nenek moyang yang masih eksis hingga kini meski sudah banyak yang menganut agama kahyangan. Kesetiaan masyarakat Toraja terhadap kepercayaan nenek moyang sudah tertanam kuat dalam setiap jiwa manusia. Dipercaya bahwa jika anggota suku melanggar adat istiadat, maka akan menimbulkan bencana bagi seluruh desa, seperti gagal panen atau wabah penyakit. Suku Toraja menganut doktrin bahwa manusia harus mati dari kehidupan, hingga keabadian. Untuk membawa kedamaian di Puya, setiap mayat harus menyucikan dirinya untuk menebus dosa-dosanya. Oleh karena itu, setiap jenazah yang dikuburkan dapat menerima banyak barang yang mampu dibeli oleh keluarga. Ketentuan yang disebutkan adalah jiwa hewan tertentu harus dikorbankan dalam upacara pemakaman. Di Aluk Todolo, tradisi Ma'Nene masih hadir dalam rangkaian ritual Rambu Solo', khususnya pengorbanan babi atau kerbau yang dilakukan di kuburan. Waktu pelaksanaan upacara Ma'Nene sebaiknya setelah musim panen berakhir karena menurut pesan nenek moyang, dewa tumbuh-tumbuhan akan datang dan memusnahkan semua pohon jika masyarakat Toraja tidak mengucap syukur atas keberhasilannya. dari upacara tersebut panen tahunan. Tetapi jika pemakamannya sederhana, yang terjadi di kuburan hanyalah menyembelih babi dan kuburan tidak bisa dibuka. Pada acara Ma'Nene juga diadakan acara permainan kaki atau sisemba. Namun ketika padi belum dipanen dan gabah sudah berserakan, maka berziarah ke makam adalah hal yang tabu kecuali ada yang meninggal dan dikuburkan. Namun di zaman modern, ritual ini sudah tidak lagi juga termasuk dalam seri ini. Rambu Solo', atau lebih tepatnya hanya sebuah ritual yang wajib dilakukan setiap kali setelah panen padi, tepatnya pada bulan Agustus. Upacara ini diawali dengan kunjungan ke tempat pemakaman leluhur masyarakat setempat. Tempat ini sering disebut Patane atau Liang. Patene dan Liang merupakan dua tempat pemakaman yang sangat berbeda. Tradisi sebagai tatanan masyarakat harus tetap dijaga karena setiap daerah mempunyai adat istiadatnya masing-masing. Dalam agama Kristen, upacara Ma'Nene berlangsung berbeda dengan upacara Ma'Nene yang berlangsung di Aluk Todolo namun pelaksanaannya tetap mengikuti tata cara yang diperbolehkan dalam agama Kristen. Seperti yang kita lihat saat ini, penyelenggara Ma'Nene semuanya adalah pengikut Aluk Todolo, namun yang hadir sebagian besar adalah umat Kristiani. Update Pelaksanaan Upacara Ma'Nene memakan waktu yang berbeda-beda di setiap wilayah negara Toraja. Beberapa daerah yang melakukan praktik Ma'Nene 'Nene pada waktu-waktu tertentu, misalnya di Kecamatan Awan pada bulan September tidak akan melakukan praktik Ma'Nene 'Nene. Kecamatan Panggala akhir bulan Agustus sekitar tanggal 25 Agustus sampai dengan 31 Agustus, untuk kecamatan Makale sendiri dilakukan sepan- jang bulan Agustus. Ma’Nene dalam setiap upacaranya dilakukan berhari-hari dalam dua hari atau tiga hari dalam satu rumpun keluarga dan Ma’Nene ini harus dilakukan setelah selesai musim panen dikarenakan menurut pesan nenek moyang adanya dewa tanaman yang datang merusak semua hasil tanaman jika tidak dilakukan syukuran atas ber- hasilnya panen setiap tahunnya. Ma’Nene versi Aluk Todolo Dalam proses Ma’Nene versi Aluk Todolo diawali dengan pertemuan keluarga dalam satu rumpun keluarga atau Tongkonan, hal ini bertujuan agar segala sesuatu yang berkaitan dengan rencana tradisi Ma’Nene dan untuk membicarakan waktu pelaksanaan, persediaan hewan-hewan yang akan dikurbankan dalam tradisi ini. Pertemuan keluarga ini berupaya untuk mengambil keputusan dan harus disetujui oleh semua pihak sehingga orang-orang Aluk Todolo dapat melakukan ritual kepada nenek moyang mereka sebelum waktu pelaksanaannya dimulai. Tradisi Ma’Nene dulunya harus dilakukan sekitar pekuburan tidak boleh dilakukan di Tongkonan atau rumah kerabat yang meninggal. Orang yang menganut Aluk Todolo biasanya menyebut Ma’ Nene dengan sebutan Manta’da yang berarti meminta berkah atau memohon berkah, sehingga dilakukan sebelum acaranya dimulai agar segala kegiatan yang akan dilaksanakan dengan lancar dan diberkahi oleh nenek moyang mereka yang telah kembali kepada Puang Deata. Orang Aluk Todolo tidak mempercayai Tuhan atau nabi selain nenek moyang mereka yang memang mempunyai garis keturunan dengan mereka. Langkah awal pada prosesi Ma’Nene versi Aluk Todolo yaitu mengganti dan memperbaharui semua pakaian tau-tau dan membersihkan pekuburan, peti- peti yang mulai lapuk diperbaharui dan dibungkus dengan kain-kain yang baru yang dibawa oleh sanak. Mereka sering disebut Ma'sonda bayu tau-tau. Banyak orang juga mengunjungi kerabat mereka yang telah meninggal. Kerabat yang masih hidup membawa kain atau baju baru, daun sirih dan pinang yang biasa disebut pannggan, air, tembakau, dan bunga. Sebelum tahun 1980-an, pengawetan tubuh masih bergantung sepenuhnya pada bahan-bahan. Bahannya adalah campuran daun pinus dan jeruk nipis (tanaman bambu kecil) yang digunakan untuk pengawetan dicampur dengan minyak tanah dan sabun tangan untuk menghindari bau. Namun pengawetan jenazah saat ini menggunakan formalin. Konon jika jenazah diawetkan dengan racun akan lebih awet dibandingkan jika menggunakan formalin seperti yang terjadi saat ini. Tahap kedua prosesi ini adalah persiapan pelaksanaan tradisi Ma'Nene, dimana sanak saudara membawa babi dan kerbau, jika pihak keluarga sepakat untuk membawa makanan dari rumah berupa nasi, maka bahan masakan yang diperlukan dalam tradisi ini untuk menyiapkan makanan yang disebut Pa'piong akan disantap bersama-sama. Pa'piong bai adalah daging babi yang dipotong-potong lalu dicampur dengan daun mayana atau nangka muda lalu dimasukkan ke dalam bambu dan dipanggang. Dalam ritual ini hanya babi dan kerbau yang dikorbankan dan dalam ritual ini leher kerbau tidak dipotong seperti di Rambu Solo' melainkan kerbau ditusuk tepat di bagian jantung, orang yang menusuk kerbau adalah orang yang gagah berani. pria. dan cakap tanpa memandang status sosial, orang tersebut disebut To Pa'doke tedong. Menurut kepercayaan Aluk Todolo, ayam, anjing, babi, dan kerbau harus disembelih terlebih dahulu. Namun saat itu hewan kurban yang dijadikan kurban hanyalah babi dan kerbau, karena jika dilihat dari persyaratannya dianggap cukup kurban, bahkan di setiap daerah yang dikurbankan wajib ayam atau anjing. Langkah ketiga , apabila semua barang sesaji telah tersedia di lokasi yang dituju, maka Tominaa (ahli ritual) yang mengikuti Aluk Todolo akan mengundang arwah para leluhur dengan cara membacakan doa-doa dalam bahasa Toraja kuno atau dalam tingkat bahasa yang lebih tinggi. Setelah roh leluhur dikatakan datang untuk memakan sesajen yang disiapkan di tubuh Tominaa, dengan kata lain Tominaa yang memakan sesaji tersebut, maka semua orang yang hadir di tempat itu bisa makan bersama-sama, dalam satu kelompok keluarga. Persembahkan makanan dan bagikan kepada kerabat terdekat agar keberkahan nenek moyang melimpah dan selamat dari musibah dan musibah yang mungkin menimpa keluarga.*
Kategori :