Gas Melon Semakin Langka, Harga di Ipuh hingga Tunggang Tembus Rp 40.000

Kadis Perindag: Warga Mampu Jangan Gunakan Gas Elpiji 3 Kg--screnshoot dari web

koranrm.id - Di pesisir selatan Mukomuko, tepatnya dari wilayah Ipuh hingga Tunggang, suara keluhan masyarakat sudah dua hari  terdengar nyaring . 

Mereka resah karena harga gas elpiji 3 kilogram melonjak tinggi, bahkan menembus Rp40.000 per tabung.

 Ironisnya, meski rela merogoh kocek lebih dalam, banyak warga tetap kesulitan mendapatkannya. Gas melon, yang selama ini menjadi penopang dapur rakyat kecil, kini berubah menjadi barang langka yang diperebutkan.

Kondisi tersebut diceritakan Fendi, ekpedisi  yang sehari-hari armadanya  mengandalkan gas melon untuk pengganti BBM kendaraanya. 

Ia menuturkan bahwa sejak dua hari ini, harga di daerah Ipuh hingga Tunggang kerap melambung tanpa kendali. “Gas 3 kilogram di sini tembus Rp40.000, itu pun sulit mencarinya. Beda dengan Mukomuko, di sana gasnya banyak dipasok dari Sumbar,” maka harganya masih stabil ungkapnya dengan nada getir. 

Ucapannya menjadi gambaran nyata tentang perbedaan pasokan antara satu wilayah dengan wilayah lain di Kabupaten Mukomuko.

Warga di kota mukomuko tidak terlalu sulit menemukan tabung hijau dengan harga yang lebih mendekati angka normal. Namun di kawasan selatan, kondisi geografis yang jauh dari jalur distribusi utama membuat suplai tersendat. Akibatnya, masyarakat kecil yang paling merasakan beban.

Fenomena ini tak sekadar soal harga yang melambung. Ia berhubungan erat dengan keseharian keluarga, pedagang kecil, hingga warung makan sederhana. 

Gas melon adalah nyawa yang menghidupkan api di dapur mereka. Ketika barang ini sulit didapat, roda ekonomi rumah tangga ikut terhambat. Banyak ibu rumah tangga terpaksa kembali ke kayu bakar, sementara sebagian pedagang mengurangi porsi masakan demi menghemat penggunaan gas.

Jika ditelusuri lebih dalam, akar persoalan terletak pada distribusi yang belum merata. Mukomuko sebagai kabupaten berada di jalur lintas yang dekat dengan pintu masuk dari Sumatera Barat. 

Armada pengangkut gas masyrakat tingkat  penegecer bisa langsung beli di pangkalan  resmi dan di jual ketengah masyrakat dengan harga rp 32.000  satu tabung gas melon.

Sebaliknya, Ipuh hingga Tunggang berada di wilayah perbatasan selatan yang jaraknya jauh  dari sumbar dan jauh dari bengkulu.

Waktu tempuh distribusi lebih lama, biaya transportasi meningkat, dan pasokan sering kali tidak seimbang dengan kebutuhan warga. Situasi inilah yang membuka ruang bagi permainan harga di tingkat pengecer.

Pemerintah daerah sebenarnya sudah menyadari persoalan ini. Upaya pengawasan kerap digencarkan, namun tantangan di lapangan tak mudah diatasi. Jalan lintas yang rusak, biaya logistik yang tinggi, hingga keterbatasan armada angkut menjadi faktor penghambat. 

Di sisi lain, permintaan masyarakat terus meningkat, terutama menjelang musim hajatan atau hari-hari besar keagamaan. Lonjakan kebutuhan yang tidak diimbangi ketersediaan suplai membuat harga semakin sulit terkendali.

Masyarakat di wilayah selatan hanya bisa berharap ada penambahan  distribusi  ssuai kondisi dan kebutuhan warga .

Selama belum ada perubahan signifikan, harga gas melon akan tetap rentan melambung, bahkan bisa lebih tinggi dari angka saat ini. 

Ketika subsidi dari pemerintah pusat sebenarnya ditujukan untuk meringankan beban rakyat kecil, kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik. Subsidi kerap tak sampai secara utuh ke tangan masyarakat karena tergerus biaya dan rantai distribusi yang panjang.

Meski begitu, warga tidak menyerah begitu saja. Sebagian berinisiatif mencari alternatif energi lain, seperti menggunakan kompor minyak tanah atau briket. Namun langkah ini belum sepenuhnya efektif karena keterbatasan pasokan minyak tanah di pasaran. 

Situasi ini memperlihatkan betapa rentannya masyarakat menengah ke bawah ketika bergantung pada satu jenis energi bersubsidi tanpa ada pilihan cadangan yang memadai.

Fendi, seperti banyak warga lain di selatan Mukomuko, hanya bisa berharap harga gas kembali stabil. Ia menginginkan adanya pemerataan pasokan, agar kehidupan sehari-hari tak lagi dihantui kecemasan mencari bahan bakar untuk memasak. “Kalau gas langka terus, masyarakat pasti kesulitan. Kami cuma ingin kebutuhan pokok ini ada dan harganya terjangkau,” ujarnya.

Suara seperti itu seharusnya menjadi alarm bagi para pemangku kebijakan. Energi, terutama yang menyangkut kebutuhan rumah tangga, bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan juga menyangkut kesejahteraan sosial. 

Ketika dapur masyarakat kecil tidak lagi bisa mengepul karena harga bahan bakar terlalu tinggi, berarti ada yang harus segera dibenahi dalam sistem distribusi maupun kebijakan energi.

Krisis gas melon di Ipuh hingga Tunggang menjadi potret ketimpangan yang kerap terjadi di daerah-daerah terpencil. Ia bukan hanya persoalan lokal, melainkan bagian dari wajah kebijakan nasional yang masih menyisakan celah.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan