Opini Oleh: Sahad Abdullah
MUKOMUKO masih dalam proses peralihan dari daerah tertinggal, menjadi daerah yang lebih maju. Dulu, Mukomuko bagian dari Kabupaten Bengkulu Utara, yang terdiri dari 5 kecamatan. Penduduknya sedikit, daerahnya sepi. Maklum jauh dari pusat pemerintahan. Kebiasaan masyarakat ketika itu, memelihara ternak, kerbau, sapi, maupun kambing dengan cara dibebasliarkan. Sekali-kali dilihat, untuk mengetahui perkembangannya. Tanpa susah merawat dan mencarikan makan, ternak berkembangbiak dengan sendirinya. Saat itu, hal yang demikian tidak menjadi masalah. Penduduk masih sedikit, lahan luas. BACA JUGA:Masyarakat Mukomuko Peduli Palestina, Ternyata Ini yang Mereka Lakukan Setelah menjadi kabupaten, Mukomuko mengalami kemajuan pesat. Terutama dari segi jumlah penduduk. Dari segi wilayah tidak mengalami perluasan. Sehingga jumlah penduduk semakin padat. Diusianya yang baru 20 tahun, kita belum mengalami pergantian generasi. Warga Mukomuko yang dulu memiliki kebiasaan mengumbar ternak, masih hidup dan mempertahankan kebiasaan tersebut hingga saat ini. Dengan kondisi zaman yang sudah berubah, status kerbau, sapi, dan kambing, juga mengalami perubahan. Awalnya ternak, kini mulai berubah menjadi hama. Setidaknya bagi sebagian warga. BACA JUGA:Warga Selagan Raya Alih Fungsi Sawah ke Sawit, Ternyata Ini Alasannya Tidak sedikit warga yang marah, karena merasa dirugikan akibat ulah sapi dan kambing. Tidak sedikit tanaman warga dirusak oleh sapi maupun kambing. Bukan hanya menyebabkan kerugian materi, tapi juga waktu, tenaga bahkan pikiran. Berbagai reaksi dikeluarkan sebagai ungkapan rasa marah, karena tanaman dirusak oleh sapi atau kambing. Ada yang ngomel nggak karuan, ada juga yang meluapkan kemarahan melalui media sosial, Facebook. Ada juga yang mengambil langkah ekstrim, pasang racun. Tidak sedikit, sapi yang ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa. Selain menjadi hama, tidak sedikit kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh kerbau, sapi, dan kambing. Bukan hanya mengakibatkan kerugian material, tapi juga menelan korban jiwa. BACA JUGA:Titik Nol Sidodadi Kebut Realisasi DD Tambahan Di komplek perkantoran Pemda, sapi yang diliarkan mendatang masalah sendiri. Barang kali tidak merusak tanaman, karena tanaman memang tidak ada. Baru-baru ini, saya datang ke kantor bupati, untuk bertemu Sekda. Di halaman kantor bupati, terlihat banyak tumpukan kotoran sapi. Bagi kita, warga Mukomuko, mungkin dianggap hal biasa. Bagaimana jika yang datang tamu daerah lain. Kesan pertama yang didapat adalah, halaman kantor bupati Mukomuko, banyak kotoran sapinya. Dan menimbulkan kesan, Mukomuko jorok. Sapi, kerbau, maupun kambing, merupakan hewan peliharaan sekaligus tabungan. Jika tidak dikelola dengan baik, bisa berubah menjadi hama dan menjadi sumber konflik sosial. Pemerintah daerah telah memprediksi bahwa hewan ternak berpotensii menimbulkan masalah. Buktinya telah lahir Perda nomor 26 tahun 2011, tentang penertiban hewan ternak. BACA JUGA:Warga Sibak Ditemukan Terapung di Muara Sungai Muar, Penyebabnya Masih Misteri Dalam perjalanannya Perda mengalami perubahan dengan lahirnya Perda nomor 9 tahun 2019, tentang perubahan atas Perda nomor 26 tahun 2011. Pertanyaannya, mampukah Satpol PP menegakkan Perda tersebut? Jawabannya tidak mampu. Banyak kendala yang dihadapi. Diantaranya kesadaran pemilik ternak masih rendah, minim personil dan juga peralatan. (Itulah kira-kira Jawabannya). Jangankan mengurus ternak se-kabupaten, ternak yang ada di Kota Mukomuko saja tidak teratasi. Solusinya adalah, menurunkan Perda dalam bentuk Perdes. Jika seluruh desa memiliki Perdes tentang penertiban hewan ternak, maka ada 148 Kades yang ikut menegakkan Perda.*
Kategori :