Benny K Herman Kritik Aturan Baru Perpanjangan SIM: 'Membuat Warga Mati Pelan-Pelan”
Benny K Harman Kritik Aturan Baru Perpanjangan SIM 'Membuat Warga Mati Pelan-Pelan--screnshoot dari web
radarmukomukobacakoran.com-Aturan baru mengenai perpanjangan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia memicu kontroversi di kalangan masyarakat. Salah satu suara kritis datang dari Benny K Herman, tokoh masyarakat dan pengamat kebijakan publik. Ia menilai aturan ini tidak hanya memberatkan, tetapi juga mencerminkan ketidakpekaan pemerintah terhadap kondisi sosial-ekonomi warga. Dengan kata-kata tajam, Benny menyebut aturan baru ini sebagai kebijakan yang "membuat warga mati pelan-pelan." Lalu, apa sebenarnya yang diatur dalam kebijakan baru ini? Mengapa hal ini menuai kritik tajam, dan bagaimana respons masyarakat terhadap kebijakan ini?
BACA JUGA:Siapkan Aturan Baru! Mobil Ini Sebentar Lagi Tak Bisa Lagi Beli Pertalite, Apa Saja?
BACA JUGA:6 tips Aturan Minum Air Kelapa yang Patut Anda ketahui, Simak Penjelasannya di Sini!
Aturan baru ini merupakan revisi dari mekanisme sebelumnya yang relatif sederhana. Kini, proses perpanjangan SIM melibatkan sejumlah persyaratan tambahan, termasuk kewajiban menjalani pemeriksaan kesehatan dan psikologis secara komprehensif. Selain itu, warga harus melewati ujian teori dan praktik ulang, mirip seperti proses pembuatan SIM baru.
Aturan ini diberlakukan dengan dalih untuk meningkatkan keamanan berkendara di jalan raya. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menyatakan bahwa langkah ini bertujuan memastikan bahwa setiap pemegang SIM benar-benar memahami aturan lalu lintas dan memiliki kesehatan fisik serta mental yang memadai untuk mengemudi.
Namun, peraturan ini juga disertai dengan kenaikan biaya administrasi. Warga harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar pemeriksaan kesehatan dan psikologis, biaya ujian, dan perpanjangan SIM itu sendiri. Hal ini menjadi salah satu faktor utama yang memicu kritik dari berbagai pihak.
Kelompok masyarakat dengan penghasilan rendah adalah yang paling terdampak oleh aturan baru ini. Benny K Herman menyoroti bahwa aturan ini menjadi beban tambahan bagi warga yang sudah menghadapi berbagai tekanan ekonomi akibat dampak pandemi dan inflasi.
Para pengemudi ojek online (ojol), sopir angkutan umum, dan pekerja transportasi lainnya termasuk yang paling merasakan dampaknya. Bagi mereka, SIM bukan hanya sekadar dokumen, melainkan juga izin untuk mencari nafkah. Dengan aturan baru yang semakin rumit dan mahal, banyak yang khawatir akan kehilangan kemampuan untuk memperpanjang SIM mereka tepat waktu, yang pada akhirnya dapat mengganggu mata pencaharian mereka.
Benny juga menekankan bahwa aturan ini seolah tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa tidak semua warga memiliki akses mudah ke fasilitas pemeriksaan kesehatan atau tes psikologis, terutama di daerah-daerah terpencil.
Aturan baru perpanjangan SIM ini mulai diberlakukan pada awal tahun 2024. Pemerintah memberikan masa transisi selama tiga bulan untuk memungkinkan masyarakat menyesuaikan diri dengan persyaratan baru. Namun, masa transisi yang dianggap terlalu singkat ini justru menambah kebingungan di kalangan masyarakat.
Dalam masa transisi ini, Polri mencatat adanya lonjakan pengajuan perpanjangan SIM sebelum aturan baru berlaku penuh. Hal ini menunjukkan kekhawatiran masyarakat terhadap dampak aturan baru tersebut.
Aturan ini berlaku secara nasional, mencakup semua wilayah Indonesia. Namun, penerapan di lapangan menimbulkan tantangan tersendiri, terutama di daerah-daerah terpencil yang memiliki keterbatasan fasilitas. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, masyarakat masih memiliki akses relatif mudah ke fasilitas yang diperlukan. Sebaliknya, di wilayah pedesaan atau pelosok, warga harus melakukan perjalanan jauh untuk menjalani pemeriksaan kesehatan dan ujian yang diwajibkan.
BACA JUGA:Larangan Unik di Berbagai Negara, Tradisi dan Peraturan Aneh yang Membuat Tersenyum
BACA JUGA:KPU Provinsi Bengkulu Gelar Sosialisasi Peraturan KPU No 8 Tahun 2024, Visi Misi Mesti Sejalan RPJPD
Ketimpangan ini menjadi salah satu alasan mengapa aturan baru ini mendapat kritik. Benny K Herman menyebut bahwa kebijakan ini tidak inklusif dan cenderung mengabaikan kebutuhan warga di daerah terpencil.
Pernyataan Benny K Herman yang menyebut aturan baru ini "membuat warga mati pelan-pelan" mengacu pada beban ekonomi dan psikologis yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Menurut Benny, kebijakan ini tidak hanya memberatkan secara finansial, tetapi juga menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat, terutama mereka yang bergantung pada SIM untuk mencari nafkah.
Ia juga mengkritik bahwa pemerintah tampaknya lebih fokus pada aspek administratif daripada memahami kebutuhan masyarakat. Benny menilai bahwa aturan ini seharusnya tidak hanya menjadi alat untuk meningkatkan pendapatan negara melalui biaya administrasi, tetapi juga harus mempertimbangkan cara-cara yang lebih efektif dan inklusif untuk meningkatkan keselamatan berkendara.
Respons masyarakat terhadap aturan ini sangat beragam, tetapi mayoritas menunjukkan ketidakpuasan. Di media sosial, banyak warga yang mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap biaya yang meningkat dan prosedur yang lebih rumit. Beberapa kelompok masyarakat, seperti komunitas pengemudi ojol, bahkan berencana mengadakan aksi protes untuk menolak aturan tersebut.
Selain itu, beberapa organisasi masyarakat sipil dan pengamat kebijakan publik juga ikut menyuarakan keberatan mereka. Mereka menilai bahwa kebijakan ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial, terutama karena dampaknya yang lebih besar dirasakan oleh kelompok masyarakat rentan.
Pemerintah, melalui juru bicara Polri, menyatakan bahwa aturan ini dibuat untuk kepentingan jangka panjang. Mereka menekankan bahwa keselamatan di jalan raya harus menjadi prioritas utama, dan bahwa proses pemeriksaan kesehatan dan psikologis adalah bagian dari upaya untuk memastikan setiap pengemudi memiliki kemampuan yang memadai.
Namun, pemerintah juga mengakui adanya tantangan dalam penerapan aturan ini, terutama di wilayah terpencil. Mereka berjanji akan meningkatkan aksesibilitas fasilitas kesehatan dan ujian, serta memberikan subsidi bagi kelompok masyarakat tertentu untuk mengurangi beban biaya.
Sebagai seorang kritikus kebijakan yang konstruktif, Benny K Herman tidak hanya memberikan kritik, tetapi juga menyarankan beberapa solusi. Ia mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan membuat mekanisme yang lebih sederhana dan terjangkau. Misalnya, pemeriksaan kesehatan dan psikologis bisa dilakukan secara daring untuk mengurangi biaya dan waktu yang diperlukan.
Benny juga menyarankan agar pemerintah memberikan subsidi atau pengurangan biaya perpanjangan SIM bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, seperti pengemudi ojol dan sopir angkutan umum. Selain itu, ia menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih luas agar masyarakat benar-benar memahami tujuan dan manfaat dari aturan baru ini.
BACA JUGA:Ini Awal Evolusi Peraturan Kiper Dalam Sepak Bola Serta Beberapa Revisinya
Aturan baru perpanjangan SIM yang diberlakukan pemerintah telah memicu kontroversi luas di kalangan masyarakat. Kritik dari Benny K Herman menjadi cerminan dari keresahan yang dirasakan banyak warga, terutama mereka yang berada dalam kelompok rentan.
Meskipun tujuan pemerintah untuk meningkatkan keselamatan di jalan raya patut diapresiasi, pelaksanaan aturan ini harus lebih mempertimbangkan aspek keadilan dan inklusivitas. Dengan mendengarkan masukan dari berbagai pihak, termasuk tokoh masyarakat seperti Benny K Herman, diharapkan pemerintah dapat menyesuaikan kebijakan ini agar lebih bermanfaat bagi semua pihak tanpa menambah beban masyarakat.
Referensi
1. "Aturan Baru Perpanjangan SIM Menuai Kritik" - Kompas, 2024.
2. "Pemerintah Klarifikasi Aturan Baru Perpanjangan SIM" - Detik, 2024.
3. "Benny K Herman: Kebijakan Perpanjangan SIM Harus Lebih Pro Rakyat" - Tempo, 2024.
4. "Respons Masyarakat terhadap Aturan Baru SIM" - CNN Indonesia, 2024.
5. "Solusi Kebijakan Publik: Studi Kasus Perpanjangan SIM" - Jakarta Post, 2024.