Kisah Pilu Guru Honorer di Konawe Selatan, Dipaksa Damai dengan Uang Rp 50 Juta?

Kisah Pilu Guru Honorer di Konawe Selatan, Dipaksa Damai dengan Uang Rp 50 Juta--screnshoot dari web

radarmukomukobacakoran.com-Supriyani, seorang guru honorer di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, tengah menghadapi situasi pelik. Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan terhadap anak seorang polisi, namun di balik itu terkuak cerita miris tentang tekanan dan intimidasi yang dialaminya.

Supriyani dituduh menganiaya siswa kelas Sekolah Dasar (SD) yang merupakan anak dari Aipda Wibowo Hasyim. Kisah ini bermula dari laporan Nurfitriana, ibu korban, yang melihat bekas luka di paha belakang anaknya pada Kamis (24/4).

Namun, sebelum kasus ini bergulir ke ranah hukum, Supriyani dihadapkan pada permintaan uang damai sebesar Rp 50 juta dari keluarga korban. Permintaan ini disampaikan melalui kepala desa yang menjadi mediator dalam upaya damai.

Ketua PGRI Sultra, Abdul Halim Momo, mengungkapkan bahwa Supriyani merasa tertekan dengan permintaan uang damai tersebut. Ia bahkan diminta untuk mengundurkan diri sebagai guru honorer sebagai bagian dari kesepakatan damai.

BACA JUGA: Dr. Soetomo, Semangat Perjuangan dan Dedikasi untuk Bangsa

BACA JUGA:Pemdes Teras Terunjam Tuntaskan Program Ketahanan Pangan

BACA JUGA:Inilah 16 Negara yang Akan Tampil di Piala Asia U-17 2025, 3 dari Asia Tenggara

"Hasil pertemuan dengan Ibu Supriyani, yang dimediasi Pak Desa, siap bersaksi, dia (Pak Desa) akan damaikan persoalan ini. Pertama dia (Supriyani) harus membayar uang Rp 50 juta, kedua dia harus mundur sebagai guru. Ini ada apa? Dia diminta bersurat ke kadis untuk mundur. Padahal dia tidak melakukan apa-apa," ungkap Halim kepada wartawan, Senin (21/10/2024).

Halim merasa miris dengan situasi ini. Ia menilai Supriyani menjadi korban intimidasi dan tekanan karena statusnya sebagai guru honorer dengan kondisi ekonomi yang kurang mampu.

"Yang kasihan, dia hanya honorer, suaminya jualan biasa, kalau dimintai Rp 50 juta saya tidak habis pikir. Saya tidak fitnah, ada kepala desa, ada yang bersangkutan, dia dimintai Rp 50 juta. Jadi ada unsur kriminalisasi," tegas Halim.

Supriyani sendiri mengaku tidak melakukan penganiayaan terhadap siswa tersebut. Ia bahkan menyatakan bahwa luka di paha belakang siswa tersebut terjadi akibat terjatuh bersama ayahnya di sawah.

"Saat itu dia (Nurfitriana) tanya tentang luka itu, tapi anaknya menjawab dia jatuh bersama ayahnya di sawah," ujar Kapolres Konawe Selatan AKBP Febry Syam dalam keterangannya, Senin (21/10).

Namun, karena proses mediasi gagal mencapai kesepakatan, Supriyani akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

"Karena sudah dilakukan mediasi tidak ada kesepakatan, maka status dinaikkan ke penyidikan (ditetapkan tersangka)," ujar Febry.

Kasus ini memicu pertanyaan serius tentang keadilan dan transparansi dalam proses hukum.  Apakah Supriyani benar-benar bersalah, atau ia menjadi korban tekanan dan intimidasi?

Permintaan uang damai sebesar Rp 50 juta, yang jauh melebihi kemampuan ekonomi Supriyani, menimbulkan kecurigaan tentang motif di balik tuntutan tersebut.  Apakah ada upaya untuk memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi?

BACA JUGA:Kajari Mukomuko Musnahkan Narkotika dan Egrek Sawit

BACA JUGA:Retak Mudik Genjot Perencanaan 2025

PGRI Sultra mendesak Propam Polda Sultra untuk turun tangan mengungkap kebenaran kasus ini.  Mereka menduga ada penyalahgunaan kewenangan dalam kasus ini.

"Pihak Propam juga harus turun meminta (keterangan). Saya menduga ada penyalahgunaan kewenangan. Tadi berulang kali Bu Supriyani menyuarakan dari pihak Pak Wibowo (permintaan uang Rp 50 juta) bukan dari Pak Desa," tegas Halim.

Kasus Supriyani menjadi sorotan dan mengundang keprihatinan publik.  Kisah ini mengingatkan kita tentang pentingnya keadilan dan transparansi dalam proses hukum, serta perlunya perlindungan bagi para guru honorer yang rentan terhadap tekanan dan intimidasi.

Peristiwa ini juga menjadi momentum untuk merefleksikan sistem hukum di Indonesia, khususnya dalam menangani kasus yang melibatkan anggota kepolisian.  Apakah proses hukum berjalan adil dan transparan, atau justru menjadi alat untuk menekan dan mengintimidasi pihak yang lemah?

Kasus Supriyani menjadi bukti bahwa keadilan dan transparansi masih menjadi tantangan dalam sistem hukum di Indonesia.  Semoga kasus ini dapat diungkap dengan tuntas dan keadilan dapat ditegakkan bagi semua pihak.

 

Tag
Share