Unik Tradisi Hombo Batu Nias Selatan Pemainnya Melompati Batu Setinggi 2 Meter

Unik Tradisi Hombo Batu Nias Selatan Pemainnya Melompati Batu Setinggi 2 Meter.--ISTIMEWA

radarmukomuko.bacakoran.co - Salah satu tradisi yang ada adalah tradisi Hombo Batu yang terdapat di Nias Selatan, sebuah kepulauan di sebelah barat pulau Sumatera di Indonesia. Secara administratif, Nias Selatan termasuk dalam provinsi Sumatera Utara. 

Tradisi Hombo Batu merupakan ungkapan yang berasal dari bahasa Niase Selatan yang berarti tradisi lompat tebing dalam bahasa Indonesia. Menurut tradisi tersebut, batu loncatan adalah batu setinggi dua meter (2 m) dan tebal empat puluh sentimeter (40 cm). Tradisi Hombo Batu awalnya lahir sebagai olah raga para pemuda Nias Selatan. Latihan fisik ini sangat penting bagi para pemuda karena kondisi masyarakat Nias Selatan saat itu sering dikaitkan dengan perselisihan antar daerah dan konflik yang berujung pada perkelahian. 

Seiring berjalannya waktu, tradisi Hombo Batu masih dapat bertahan dan ditemukan di kalangan masyarakat Nias Selatan, namun fungsi dari tradisi Hombo Batu telah berubah. Tradisi Hombo Batu bukan lagi sekedar latihan fisik bagi para pemuda Nias Selatan untuk menambah ketangkasan dan kemampuan bertarung, namun saat ini tradisi Hombo Batu menjadi ikon pariwisata masyarakat Nias Selatan. Terkait ikon wisata, keberadaan tradisi Hombo Batu menjadikan Nias Selatan sebagai destinasi wisata yang unik. Bahkan, kehadiran Hombo Batu saat ini memunculkan peran berbeda dari sekedar pelatihan militer hingga menjadi ikon wisata masyarakat Nias Selatan. 

Dahulu latihan fisik sangat penting bagi pemuda Nias Selatan karena masyarakat Nias Selatan sering terjadi perkelahian antar daerah. Kekuatan fisik dan keuletan dalam berperang sangat dibutuhkan untuk memenangkan pertarungan ini. 

Salah satu cara untuk mengembangkan kekuatan fisik dan kemampuan bertarung masyarakat Nias Selatan adalah dengan membangun tradisi Hombo Batu. Pertempuran merupakan salah satu cara masyarakat Nias Selatan untuk mempertahankan wilayahnya dan menguasai wilayah lain. 

Pertempuran Daerah lebih dikenal daripada Pertempuran Kuda pada saat itu. Para budak yang berperang adalah Ori Maenamolo yang dipimpin oleh Amada Samofo dan Ori Laraga yang dipimpin oleh Etebaekhu. Kedua pemimpin Ori ini dianggap sebagai orang tangguh saat itu. Pertempuran tersebut merupakan upaya untuk mempertahankan wilayah Ori Maenamalo dan upaya untuk menaklukkan dan memperluas wilayah Ori Laraga. 

Setiap Ori mendapat pagar setinggi 2 meter di perbatasan masing-masing Ori sebagai benteng. Hal ini memicu terbentuknya struktur batu setinggi 2 meter untuk melatih pemuda Nias Selatan melewati benteng musuh saat berperang. Awalnya tradisi Hombo Batu menggunakan tanah liat yang tingginya 3 meter, namun tidak ada yang bisa melewatinya sehingga diturunkan menjadi 2 meter. Selain itu, melihat dan mempertimbangkan kondisi tanah liat yang tidak lestari, batu-batu setinggi 2 meter pun menumpuk. Hal ini sesuai dengan keterangan yang ditemukan oleh Siregal dan Syamsudin yang mengatakan bahwa batu lompat yang tingginya sekitar 2 meter dan lebar bagian dasarnya sekitar 120 sentimeter, merupakan batu alam yang diambil langsung dari alam lalu dikerok dan dibentuk. Sesuai dengan kebutuhan bangunan berbentuk limas tersebut, guna memacu dan memacu semangat para pemuda untuk melompat tiga kali berturut-turut di atas batu setinggi 2 meter tersebut, pihak manajemen Ori memperbolehkan para pemuda untuk bertarung. tentara kepada mereka yang bisa. Saat itu, menjadi tentara merupakan suatu kebanggaan dan kedudukan tinggi bagi pemuda Nias Selatan. 

Selain itu, jika kelompok Ori berhasil memenangkan pertempuran, setiap prajurit akan menerima hadiah. Hadiahnya bisa berupa piala, uang, dan emas. Aspirasi kepemimpinan budak dapat dilihat sebagai teori motivasi berprestasi, artinya seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu karena  prestasi yang diterimanya.

Dalam hal ini, pemuda asal Nias Selatan ini terpacu untuk melakukan Hambo Batu dengan prestasi yang telah diraih. Seiring berjalannya waktu, pertempuran antar wilayah semakin jarang terjadi, bahkan sudah tidak ditemukan lagi. Tentu saja, tidak ada upaya lebih lanjut yang dilakukan untuk menemukan tentara tersebut. Oleh karena itu, Hombo Batu dijadikan olah raga para pemuda Nias Selatan, sebagai tanda penghormatan dan penghargaan terhadap leluhur masa lalu serta upaya melestarikan tradisi. Tradisi Hombo Batu sebagai olah raga remaja di Nias Selatan sering kali terjadi pada pesta-pesta tokoh masyarakat atau pada saat kesulitan keluarga. Selain itu, tradisi Hombo Batu juga kerap dibicarakan untuk mendorong generasi muda mengamalkan Hombo Batu. 

Masuknya agama Kristen Protestan di negara Nias Selatan menyebabkan hilangnya pertempuran antardaerah. Kekristenan Protestan lahir di Nias Selatan pada tahun 1883 oleh misionaris Jerman. Berkembangnya agama Kristen Protestan tentu saja mengubah sikap, adat istiadat dan adat istiadat masyarakat Nias Selatan, serta penolakan perang yang dilakukan oleh agama Kristen Protestan. Ketika tidak ada lagi tawuran, tradisi Hombo Batu tidak berubah fungsinya sebagai olah raga remaja di Nias Selatan. Pada tahun 1974, kehadiran Sultan Hamengkubuwono IX yang berkunjung ke Nias Selatan menggairahkan industri pariwisata di Nias Selatan dengan tradisi unik Hombo Batu. 

Jadi dapat diketahui bahwa perubahan tradisi Hombo Batu disebabkan oleh kehadiran para pendatang. Kehadiran para pendatang tersebut tentunya akan menambah jumlah penduduk. Hal ini tentu sesuai dengan salah satu alasan perubahan tradisi yang disampaikan Soerjono. Dikatakannya bahwa penyebab perubahan tradisi adalah pertambahan atau penurunan jumlah penduduk, penemuan-penemuan baru, konflik masyarakat (konflik ketika Sultan Hamengkubuwono IX mengunjungi Nian Selatan dan melihat Manusia). Batu memiliki keunikan tersendiri dan dinilai mempunyai potensi besar untuk menarik minat orang lain untuk menontonnya. Oleh karena itu, Sultan HB IX terdorong untuk mempromosikan Nia Selatan sebagai destinasi wisata. Promosi pariwisata di Nias Selatan yang dilakukan Sultan HB IX turut andil dalam kelangsungan tradisi Hombo Batu, namun mengubah fungsi tradisi Hombo Batu sebagai ikon pariwisata masyarakat Nias Selatan. Menjadikan tradisi Hombo Batu sebagai ikon wisata mengubah tradisi Hombo Batu menjadi kegiatan komersil. 

Saat ini layanan lompat Hombo Batu adalah Rp 50.000 sekali lompat. Dengan demikian, kehadiran Hombo Batu sebagai ikon wisata akan mempengaruhi pertumbuhan pendapatan masyarakat Nias Selatan. Masyarakat yang mendapatkan efek pendapatan dari Hombo Batu.*

Tag
Share