Semakau, Bagaimana Singapura Membangun Pulau Sampah di Luar Nalar
Semakau, Bagaimana Singapura Membangun Pulau Sampah di Luar Nalar.-Deni Saputra-Sceenshot
koranrm.id - Singapura adalah negara seluas 728 km². Itu artinya negara ini kira-kira seukuran Jakarta Selatan, namun harus menampung lebih dari 5,9 juta penduduk dan menerima jutaan turis setiap tahun. Maka di sebuah negara yang sangat padat seperti ini, ruang adalah kemewahan. Dilansir dari channel youtube "Kendati Demikian", setiap meter tanah memiliki nilai strategis dan ekonomi yang sangat tinggi. Tanah tidak bisa lagi dipakai sembarangan sehingga ketika sampah muncul, Singapura menghadapi dilema besar. Setiap hari jutaan orang makan, minum, bekerja, dan berbelanja.
Setiap kegiatan menghasilkan limbah mulai dari plastik, kertas, logam, sisa makan, serta bahan kimia. ini masih ditambah dengan sampah industri dan pariwisata membuat volume limbah nasional membengkak hingga lebih dari 8.000 ton per hari. Dan tentu saja negara kecil seperti Singapura tidak bisa menampungnya begitu saja di daratan. Kendati demikian, keterbatasan ruang itulah yang membuat pemerintah berpikir untuk menciptakan tempat pembuangan air di laut. Lalu dari ide itu lahirlah Pulau Semakau yang kemudian menjadi simbol dari kepintaran, ketekunan, serta keberanian berpikir yang luar biasa. Kisah Pulau Semakau dimulai pada tahun 1995 ketika Singapura menghadapi krisis kapasitas pembuangan. Tempat penimbunan lama seperti lorong halus dan punggol hampir penuh sementara pembangunan dan konsumsi terus meningkat. Pada saat yang sama, pemerintah Singapura telah berhasil membangun empat pabrik fasilitas pembakar sampah yang mengubah limbah menjadi abu padat.
Namun abu hasil pembakaran itu juga perlu tempat pembuangan aman agar tidak mencemari tanah serta laut. Maka mereka pun mengambil keputusan yang berani yaitu membangun tempat pembuangan di tengah laut sekitar 8 km di barat daya Singapura. Proyek ini melibatkan dua pulau kecil alami, yaitu Pulau Semakau dan Pulau Sakeng yang dibangun menjadi satu melalui proyek reklamasi laut besar-besaran. Biaya proyek ini mencapai sekitar 610 juta Do Singapura dengan waktu pengerjaan 4 tahun. Dan hasilnya pada 1 April 1999, Pulau Semakau resmi dibuka sebagai tempat pembuangan akhir nasional. Namun istilah tempat pembuangan akhir seolah tidak pantas untuk disematkan ke pulau ini. Sebab yang berdiri di tempat ini bukanlah bangunan biasa, melainkan sebuah pulau yang dirancang dengan presisi ilmiah. Pulau Semakau memiliki luas sekitar 350 hektar dengan dinding laut sepanjang 7 km mengelilingi area penimbunan. Di dalamnya terdapat 14 sel raksasa yang digunakan secara bergantian untuk menimbun abu sisa pembakaran. Setiap sel dilapisi geomembran kedap air serta lapisan tanah liat khusus agar air laut tidak masuk dan abu tidak mencemari laut. Selama penimbunan, air laut di dalam sel dikuras dan diganti dengan campuran abu yang diencerkan. lalu perlahan dikeringkan hingga mengeras menjadi daratan baru. Setiap pagi tongkang-tongkang besar berangkat dari pelabuhan Tuas Merin membawa muatan kelabu ke arah barat Daya. Muatan itu bukan batu juga bukan pasir, melainkan abu sisa pembakaran sampah dari daratan utama. Setiap hari sekitar 2.000 ton abu dibawa ke semakau. Begitu sampai abu itu dituang ke dalam sel penimbunan, dicampur air laut, dan dibiarkan mengendap. Proses ini dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan debu atau pencemaran pada udara. Ketika sel telah penuh, permukaannya ditutup rapat dan ditanami vegetasi, termasuk rumput laut, pohon bakau, hingga tanaman pantai yang tahan garam. Dalam beberapa tahun, sel-sel itu berubah menjadi daratan hijau, tempat burung hinggap, dan serangga mencari makan. Fenomena ini begitu menarik hingga para ilmuwan menyebut semakau sebagai contoh terbaik rekayasa ekologis di dunia. sebuah pulau buatan yang berhasil menampung sampah, tetapi juga menumbuhkan kehidupan. Kini di tengah lautan yang biru, semakau tampak seperti pulau tropis biasa. Padahal di bawah tanahnya tersimpan lebih dari 16 juta ton abu jejak harian dari kehidupan Singapura yang super efisien. Salah satu hal paling menakjubkan dari Pulau Semakau adalah kenyataan bahwa ia tetap hidup. Meskipun sebagian besar lahannya adalah hasil reklamasi, ekosistem laut dan pesisir di sekitarnya tumbuh dengan subur. Itu karena sebelum proyek dimulai, pemerintah melakukan kajian lingkungan yang menyeluruh dan hasilnya mereka menetapkan prinsip bahwa pembangunan tidak boleh menghancurkan kehidupan yang sudah ada. Maka seluruh hutan mangruf dan biota laut di sekitar lokasi dipindahkan sementara ke tempat aman. Lalu dikembalikan begitu reklamasi selesai dan hasilnya sangatlah luar biasa. Kini semakau menjadi rumah bagi lebih dari 700 spesies flora dan fauna. Burung-burung laut seperti kuntul, bangau, dan camar mencari makan di perairan dangkalnya. Hutan bakau di tepi pulau menjadi tempat berkembang biak kepiting, ikan, serta udang.
Sementara di bawah laut, terumbu karang alami tetap tumbuh dengan sehat. Bahkan menjadi habitat bagi ikan tropis berwarna-warni. Pada waktu tertentu wisatawan bisa melihat dugong berenang di sekitar perairan semakau. Pertanda bahwa laut di sana masih bersih dan kaya akan nutrisi. Ini adalah halangka di dunia, sebuah tempat pembuangan yang juga menjadi surga ekologis. Ironi Pulau Semakau tidak berhenti pada ekosistemnya. Di banyak negara tempat pembuangan air adalah tempat yang ingin dihindari. Tetapi di Singapura, Pulau Semakau justru menjadi destinasi wisata edukasi. Sejak awal 2000-an, pemerintah membuka sebagian area pulau untuk kunjungan publik terbatas. Setiap akhir pekan, kelompok pelajar, peneliti, dan wisatawan bisa mengikuti Eko Tour Semakau, tur lingkungan yang memperlihatkan bagaimana Singapura mengelola sampah dengan canggih serta bertanggung jawab. Peserta tur diajak melihat sel penimbunan, mempelajari sistem pengelolaan abu, serta mengunjungi area hutan bakau yang di restorasi. Mereka juga bisa berjalan di atas jembatan pengamatan sambil melihat laut biru yang tenang. sebuah pemandangan yang jauh dari kesan tempat sampah. Selain tur edukatif, semakau juga memiliki sisi lain yang memikat, yaitu langit malamnya. Karena lokasinya jauh dari lampu kota, Pulau Semakau memiliki langit paling gelap di Singapura. Klub astronomi lokal sering datang ke tempat ini membawa teleskop besar untuk mengamati bintang, planet, dan galaksi. Dan di sinilah ironinya bahwa tempat yang menyimpan abu bumi justru menjadi tempat terbaik untuk melihat langit. Pulau Semakau hanyalah salah satu bukti bagaimana Singapura menolak menyerah pada keterbatasan. Di banyak negara masalah sampah dianggap wajar dan tidak terhindarkan. Tetapi di Singapura, kebersihan adalah bagian dari identitas nasional. Sejak masa Liiku, pendiri modern Singapura, negara ini menanamkan satu nilai utama bahwa kebersihan adalah cara hidup. Baginya, kebersihan bukan sekedar soal estetika, tetapi juga mentalitas, cerminan peradaban.
Hasilnya, Singapura kini dikenal sebagai negara terbersih di Asia. Bahkan sering disebut sebagai kota tanpa sampah. Jalan-jalannya bersih, salurannya tidak tersumbat, dan taman-tamannya selalu tampak rapi. Singapura tahu mereka tidak punya gunung emas atau ladang minyak, tetapi mereka memiliki sesuatu yang lebih berharga, yaitu akal sehat dan ketertiban. Ketika ruang sangat terbatas, mereka menciptakan pulau baru. Ketika limbah menumpuk, mereka menciptakan solusi teknologi. Dan ketika dunia berbicara tentang daur ulang, Singapura sudah melangkah lebih jauh menuju ekonomi sirkular. Dalam sistem ini, limbah satu sektor bisa menjadi sumber daya sektor lain. Misalnya, abu hasil pembakaran sedang dikembangkan menjadi bahan bangunan ramah lingkungan. Air limbah diolah menjadi air minum ultra murni. Bahkan minyak bekas dapur diubah menjadi biodiesel. Semua kebijakan itu berpangkal pada satu kesadaran bahwa tidak ada yang abadi di Singapura kecuali inovasi.