Bengaluru: Kota Pusat Teknologi Asia yang Kehabisan Air

Bengaluru, Kota Pusat Teknologi Asia yang Kehabisan Air.-Deni Saputra-Sceenshot

koranrm.id - Benga luru adalah kota yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Ibukota negara bagian Kartanaka di India ini dikenal sebagai Lembah Silikon Asia yang menjadi rumah bagi jutaan orang. dan ribuan perusahaan teknologi kelas dunia. Dilansir dari chanel youtube "Kendati Demikin", sejak era liberalisasi ekonomi India tahun 1990-an, kota ini menarik para investor dan para ahli dari seluruh negeri dan bahkan dari dunia. Sehingga populasi yang pada tahun 1991 hanya sekitar 4 juta orang kini melonjak melebihi 13 juta jiwa. Namun sayang pertumbuhan pesat ini tidak diimbangi dengan tata kelola air yang memadai sehingga kota yang memancarkan kemajuan digital ini mengalami kehausan yang sangat hebat. 

Air elemen dasar bagi kehidupan telah menjadi komoditas mewah serta langka. Dengan demikian, Benga luru menjadi simbol sebuah ironi yang menyedihkan. menjadi pusat teknologi canggih tetapi gagal untuk menyediakan kebutuhan paling dasar bagi warganya. Dahulu, Benga Luru memiliki lebih dari 280 danau alami, tetapi kini hanya menyisakan kurang dari 80 dan sebagian besar di antaranya telah terkontaminasi. Alih-alih menjadi penyimpanan air hujan dan penyeimbang ekosistem, danau-danau ini telah dijadikan tempat pembuangan limbah dan lokasi pembangunan ilegal. 

Salah satu contohnya adalah Danau Belandur yang saking tercemarnya seringkiali mengeluarkan buih beracun dan bahkan terbakar akibat limbah kimia yang menumpuk. Benga luru tidak memiliki sungai besar yang melintas. Untuk mencukupi kebutuhan air, kota ini mengandalkan sungai Kauveri yang berjarak lebih dari 100 km. Setiap hari sekitar 1450 juta liter air dipompa dari sungai ini menuju kota. Kendati demikian, dengan populasi yang terus meningkat, kebutuhan air harian kota saat ini melebihi 2.100 juta liter per hari. 

Dan ini berarti terdapat defisit harian sekitar 650 juta liter. Sebuah angka yang cukup mengerikan untuk sekedar dibayangkan. Karena itu, tidak heran jika lebih dari 40% penduduk kota ini harus bergantung pada sumur bor atau tanker air swasta yang kadang dijual dengan harga yang tidak masuk akal. Ironisnya, pasokan air dari sungai Cvery sendiri menjadi sumber konflik. Demikian ini karena negara bagian tetangga yaitu Tamilnadu juga menggantungkan hidup pada sungai yang sama. Dan pada akhirnya sengketa air Cvery memicu protes besar, kerusuhan, serta ketegangan politik lintas batas negara bagian. Ketika air permukaan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan, masyarakat beralih ke air tanah.

 Namun sayang, dalam 20 tahun terakhir, level air tanah di Bengaluru turun secara drastis. Data menunjukkan bahwa di beberapa wilayah seperti Sarjapur, kedalaman air tanah kini mencapai lebih dari 1000 kaki dan lebih dari 90% rumah tangga kaya dan industri besar menggunakan pompa bor dalam tanpa adanya kontrol yang kuat dari pihak pemerintah. Masalahnya ekstraksi tanpa rehidrasi telah menjadikan tanah di bawah benga luru seperti spon kering dan ini tidak hanya memperburuk kekeringan, namun juga berisiko menyebabkan penurunan permukaan tanah serta kerusakan ekologis permanen. Jaringan pipa air Bengaluru adalah warisan kolonial Inggris yang kini telah usang. Lebih dari 40% air bersih yang dipasok hilang karena kebocoran, pencurian, atau distribusi yang tidak efisien. Selain itu, lebih dari 1500 koloni dan kawasan pemukiman belum terjangkau sistem air resmi. Dan ketika air bersih menjadi komoditas mewah serta langka, pasar gelap pun tumbuh dengan subur. Tanker-tangker air swasta yang seringkiali dikendalikan oleh mafia lokal tampil menjadi penyelamat, tetapi sekaligus menjadi penghisap darah ekonomi warga. Dari sinilah tragedi modern Bengaluru mengakar dengan kuat. 

Warga kelas bawah harus membeli air untuk bertahan hidup bahkan dengan penghasilan yang tidak seberapa. Banyak keluarga menghabiskan antara 30 hingga 40% pendapatan mereka hanya untuk membeli air. Mereka harus membayar antara 3 hingga 5 juta setiap bulan hanya untuk membeli air. Dan itu pun mereka harus antri selama berjam-jam. Tingginya permintaan menyebabkan keterlambatan dengan warga harus menunggu setidaknya satu atau du hari untuk pengiriman air. Beberapa bahkan terpaksa begadang hingga larut malam untuk memastikan kedatangan truk tangki. Kris air benga luru tidak hanya berdampak pada kenyamanan, tetapi juga memperlebar jurang sosial. Di satu sisi, apartemen dan komplek perumahan elit memiliki akses eksklusif terhadap air bersih dari tanker pribadi. Kemudian di sisi lain, jutaan warga kelas pekerja harus antri di keran umum, membawa ember dan jerigen bahkan saat dini hari. Ketika air menjadi barang langka, maka konflik antar komunitas pun mulai mengemuka. Sebuah laporan oleh Asia Pacific Foundation tahun 2024 mencatat bahwa lebih dari 60% dari kawasan pemukiman informal di Bengaluru tidak memiliki akses air bersih yang layak. 

Banyak dari mereka menggantungkan hidup pada air hujan yang dikumpulkan atau air dari kolam yang tercemar. Seperti telah dijelaskan dalam sejarahnya, Bengaluru adalah kota yang hidup dari danau. Pada masa kolonial Inggris, sistem danau diatur sedemikian rupa agar saling terhubung, membentuk jaringan yang berfungsi seperti reservoir alami. Namun, sejak tahun 1980-an, danau-danau ini mulai dihancurkan untuk pembangunan mall, apartemen, serta kawasan industri. Dan kini danau yang dulunya indah telah berubah menjadi kubangan limbah. Banyak di antaranya mengalami pencemaran yang sangat parah akibat pembuangan limbah rumah tangga dan industri secara langsung. Danau Fartur bahkan menjadi simbol dari kematian sistem air alami benga luru. Danau ini secara berkala menghasilkan buih putih beracun setinggi beberapa meter yang sering meluber ke jalan-jalan. Dengan demikian, meskipun Benga Luru adalah pusat teknologi India, nyatanya tidak ada teknologi yang dapat menggantikan ekosistem yang telah rusak. Beberapa perusahaan telah mulai menggunakan teknologi internet of thing untuk memantau penggunaan air di gedung-gedung perkantoran. Namun sayangnya solusi semacam ini hanya dapat diterapkan oleh segmen tertentu masyarakat. Selama dekade terakhir, tingkat perkapita air bersih di Bengaluru telah menurun dari 135 L per hari menjadi kurang dari 90 L per hari jauh di bawah standar WHO. Dan ini terjadi di kota yang menghasilkan miliaran dolar dari teknologi tingkat tinggi. Dan jika tren saat ini terus berlanjut, Bengaluru bisa menjadi kota besar pertama di dunia yang kehabisan air bersih. Pada tahun 2030 diperkirakan permintaan air kota akan meningkat 50% dibandingkan hari ini. 

Sementara pasokan hanya akan meningkat secara marginal jika tidak ada reformasi besar. Kemudian ketika air menjadi sumber ketegangan baik antar negara bagian atau antar kelas sosial, Bengaluru berisiko menjadi kota dengan ketimpangan struktural yang sangat ekstrem.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan