Glamping di Atas Sungai: Inovasi Wisata Ramah Alam yang Lagi Hits di Kalangan Milenial

Glamping di Atas Sungai: Inovasi Wisata Ramah Alam yang Lagi Hits di Kalangan Milenial--screenshot dari web.

KORANRM.ID - Suara gemericik air yang mengalun lembut, berpadu dengan desir angin yang menyusup di antara daun-daun rimbun, menjadi latar alami dari sebuah pengalaman wisata yang kian digemari generasi milenial: glamping di atas sungai. Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan bentuk baru dari pencarian keseimbangan antara kenyamanan modern dan kedekatan dengan alam yang otentik. Di sinilah manusia, teknologi, dan lingkungan menemukan harmoni dalam sebuah kemah mewah yang berdiri anggun di atas permukaan air yang tenang.

Kemunculan tren ini tak lepas dari perubahan cara pandang generasi muda terhadap liburan. Jika dahulu kenyamanan diasosiasikan dengan hotel berbintang atau resor mewah, kini nilai-nilai pengalaman, keberlanjutan, dan keintiman dengan alam menjadi parameter baru dalam memilih destinasi. Glamping—atau glamorous camping—yang dulunya identik dengan padang terbuka, kini bergerak lebih jauh ke arah perairan: membangun tenda-tenda eksklusif di atas sungai, lengkap dengan jembatan gantung, lampu tenaga surya, dan balkon privat menghadap hutan.

Lokasi-lokasi seperti sungai Ayung di Bali, Sungai Serayu di Jawa Tengah, hingga anak-anak sungai di Kalimantan kini menjadi titik-titik favorit berdirinya spot glamping terapung. Operator wisata lokal dan start-up ekowisata mulai menawarkan paket-paket menginap di tenda dengan fasilitas hotel butik, namun tetap menjaga prinsip keberlanjutan. Material bangunan ramah lingkungan seperti bambu, kayu daur ulang, dan kain kanvas tahan cuaca digunakan untuk menciptakan atmosfer hangat namun tetap kokoh menghadapi cuaca tropis.

Keunggulan utama glamping di atas sungai bukan hanya pemandangannya yang menenangkan, tetapi juga pengalaman multisensori yang ditawarkannya. Di pagi hari, tamu bisa terbangun oleh cahaya matahari yang menerobos kanopi dan suara air mengalir. Di malam hari, alunan serangga hutan menggantikan dering notifikasi gawai yang biasa mereka dengar. Aktivitas seperti yoga di dek kayu terapung, sarapan organik dari dapur terbuka, atau duduk santai di hammock sambil membaca buku membuat waktu terasa melambat—sesuatu yang langka dalam kehidupan urban yang padat.

BACA JUGA:Pesona Lebong Tandai, Wisata Yang Tersembunyi Sejarahnya Bikin Geleng Kepala

Namun, keindahan ini tidak hadir tanpa kesadaran lingkungan. Operator glamping umumnya menerapkan prinsip zero waste, menggunakan toilet kompos, sistem penyaringan air alami, dan pengelolaan energi berbasis tenaga surya atau mikrohidro. Tamu diimbau untuk tidak menggunakan plastik sekali pakai dan diajak memahami pentingnya konservasi ekosistem air. Bahkan beberapa lokasi bekerja sama dengan LSM lokal untuk memantau kesehatan sungai dan melibatkan pengunjung dalam program penanaman pohon atau edukasi lingkungan.

Keterlibatan masyarakat sekitar menjadi aspek penting dalam kesuksesan wisata jenis ini. Warga lokal dilibatkan sebagai staf hospitality, pemandu wisata, hingga penyedia bahan pangan dan kerajinan. Dengan demikian, glamping di atas sungai tidak hanya menciptakan pengalaman bagi wisatawan, tetapi juga menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan bagi komunitas desa. Ini menciptakan siklus ekonomi mikro yang inklusif dan meminimalkan dampak eksploitatif dari pariwisata massal.

Dari sisi teknologi, inovasi turut berperan penting dalam mendukung kelestarian konsep ini. Sensor suhu, alat pendeteksi kualitas air, hingga aplikasi untuk memantau kapasitas pengunjung digunakan untuk menjaga keseimbangan antara kenyamanan dan daya dukung lingkungan. Platform booking online kini juga memasukkan indikator keberlanjutan sebagai fitur penting—sebuah sinyal bahwa pasar pariwisata modern mulai menaruh perhatian lebih terhadap jejak ekologis setiap perjalanan.

Tren ini mendapat sambutan hangat di media sosial. Foto-foto aesthetic dari dek kayu yang mengapung di atas sungai, tenda berhiaskan lampu-lampu temaram, dan momen sarapan sehat sambil menatap aliran air menjadi konten favorit generasi muda. Platform seperti TikTok dan Instagram menjadikan glamping terapung sebagai simbol gaya hidup mindful, modern, namun tetap menyatu dengan alam. Popularitas ini secara tidak langsung mendorong lebih banyak pelaku wisata untuk menerapkan konsep serupa dengan standar yang lebih tinggi.

Beberapa lokasi bahkan mulai mengembangkan tema tematik untuk glamping mereka—mulai dari pengalaman budaya lokal, perjalanan menyusuri sungai dengan perahu tradisional, hingga paket meditasi dan detoks digital. Para pengunjung tidak hanya datang untuk menginap, tetapi juga untuk belajar, merenung, dan menyegarkan kembali koneksi dengan alam. Bagi sebagian besar milenial, liburan semacam ini bukan sekadar pelarian dari rutinitas, melainkan bentuk pemulihan jiwa dan reorientasi nilai-nilai hidup.

Pemerintah daerah mulai menangkap potensi besar ini. Sejumlah regulasi pariwisata hijau dan dukungan infrastruktur mulai digulirkan, khususnya di wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak masuk radar wisatawan. Konsep desa wisata berbasis sungai dengan model glamping ramah lingkungan dianggap mampu menjadi model pembangunan ekonomi baru yang tidak merusak lingkungan sekaligus memberdayakan masyarakat. Kolaborasi antara dinas pariwisata, pelaku usaha, dan komunitas lokal pun semakin erat.

Di sisi akademik, tren ini mulai menarik perhatian peneliti dan pengamat pariwisata berkelanjutan. Studi-studi tentang persepsi wisatawan terhadap kenyamanan dan keberlanjutan, dampak ekonomi lokal, hingga model pengelolaan kolaboratif antara publik dan swasta menjadi tema hangat. Hal ini menunjukkan bahwa glamping terapung bukan hanya fenomena populer, tetapi juga menjadi laboratorium sosial untuk memahami hubungan baru antara manusia, alam, dan teknologi.

Jika sebelumnya petualangan identik dengan medan berat dan perlengkapan survival, kini ia menjelma menjadi pengalaman yang halus, indah, dan penuh makna. Glamping di atas sungai adalah bentuk kontemporer dari hasrat manusia akan alam: tidak untuk ditaklukkan, tetapi untuk didengarkan, dihormati, dan dijadikan sahabat. Di sinilah generasi milenial menemukan keseimbangan antara kenyamanan dan kesadaran ekologis, antara selfie dan refleksi, antara petualangan dan pelestarian.

Tren ini bukan akhir dari pencarian, tetapi awal dari bentuk pariwisata masa depan yang lebih bijak. Di atas aliran sungai yang tak pernah berhenti, berdiri tenda-tenda kecil yang memberi harapan besar: bahwa kita masih bisa berwisata tanpa merusak, menikmati tanpa menguasai, dan pulang dengan hati yang lebih tenang, bukan hanya galeri foto yang penuh.

Referensi:

    Setiawan, D., & Pramudito, A. (2022). Ecotourism Development Through Glamping in River-Based Destinations. Journal of Sustainable Tourism Innovation, 14(1), 56–71.

    Rahmawati, E., & Yusuf, M. (2023). Green Hospitality in Indonesia: The Rise of Glamping and Sustainable Travel among Millennials. Indonesian Journal of Tourism Studies, 8(2), 102–117.

    Ministry of Tourism and Creative Economy. (2023). Panduan Pengembangan Ekowisata Ramah Lingkungan. Jakarta: Kemenparekraf.

    Harrison, J. & Mei, L. (2021). Experiential Travel and Eco-Consciousness: Millennial Travelers' Preferences in Nature-Based Tourism. Global Journal of Travel Innovation, 6(4), 88–105.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan