Nasabah Seperti ini, Mudah Diberi Kredit Oleh Bank

Nasabah Seperti ini, Mudah Diberi Kredit Oleh Bank--screenshot dari web.

Koranrm.id-Di balik senyum ramah petugas layanan dan kilatan logo institusi keuangan yang meyakinkan, terdapat sistem yang cermat dalam menakar siapa yang layak dipercaya untuk mendapatkan pinjaman. 

Bagi sebagian orang, memperoleh kredit mungkin terasa seperti ritual yang rumit dan berbelit. Namun bagi bank, memberikan kredit bukan sekadar urusan prosedur administratif ini adalah soal keyakinan, kalkulasi risiko, dan pertimbangan jangka panjang. 

Setiap lembar pengajuan kredit tidak hanya menyimpan permintaan, tetapi juga cerminan dari siapa sebenarnya pemohon itu dalam kacamata keuangan.

Bank, sebagai lembaga intermediasi, memegang peran penting dalam menjaga stabilitas ekonomi. Mereka menyalurkan dana dari pihak yang memiliki kelebihan likuiditas kepada mereka yang membutuhkan, dengan harapan dana tersebut kembali dengan nilai yang bertambah. 

Namun, di dunia di mana risiko adalah harga yang tak bisa dihindari, bank harus selektif. Di sinilah profil ideal seorang nasabah mulai dibentuk bukan berdasarkan pada sekadar data, tetapi juga pada jejak integritas, perilaku, dan potensi keuangan mereka.

BACA JUGA:Generasi Milenial dan Asuransi, Investasi untuk Masa Depan yang Tak Terduga

Salah satu fondasi utama yang membentuk pertimbangan bank adalah riwayat kredit. Bagi pemohon, catatan kredit mungkin hanyalah angka atau status di laporan, tetapi bagi bank, itu adalah narasi kepercayaan. 

Nasabah yang memiliki riwayat pembayaran yang baik, tidak pernah menunggak cicilan sebelumnya, serta menunjukkan konsistensi dalam memenuhi kewajiban finansialnya, akan lebih mudah memperoleh persetujuan kredit. 

Data ini biasanya dikumpulkan melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dikelola Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Dalam sistem ini, bank bisa melihat apakah pemohon termasuk dalam kategori kolektibilitas lancar atau tidak—suatu penilaian yang bersifat objektif namun berdampak besar.

Namun riwayat masa lalu bukan satu-satunya jendela bagi bank untuk melihat masa depan. Stabilitas penghasilan juga menjadi indikator utama. 

Nasabah yang memiliki pekerjaan tetap, terutama yang telah bekerja dalam jangka waktu cukup lama di perusahaan yang bonafide, dinilai lebih stabil dalam penghasilannya. 

Dalam banyak kasus, pegawai negeri, karyawan BUMN, atau profesional di bidang kesehatan dan hukum memperoleh penilaian kredit yang lebih positif karena dinilai memiliki risiko default yang rendah. 

Bagi pengusaha, bank akan menilai dari laporan keuangan usaha, arus kas, hingga potensi pertumbuhan bisnis. Kemampuan membayar menjadi kunci, dan bank tidak ingin mengambil risiko jika nasabah belum mampu membuktikan bahwa ia sanggup mengembalikan dana tepat waktu.

Lebih dalam dari aspek angka dan status pekerjaan, terdapat pula dimensi psikologis yang tak tertulis namun terasa dalam setiap interaksi: karakter. 

Di dunia perbankan, karakter adalah kualitas tak kasat mata yang sangat mempengaruhi keputusan. Sopan santun, kejujuran, keterbukaan dalam memberikan data, dan kejelasan dalam berkomunikasi menjadi nilai tambah yang tak bisa dibeli. 

Petugas bank, yang kerap berhadapan langsung dengan calon peminjam, akan menilai secara intuitif apakah orang ini bisa dipercaya. 

Sikap menghargai proses, tidak menyembunyikan informasi, serta kooperatif dalam menjawab pertanyaan menjadi sinyal positif bahwa seseorang serius dan bertanggung jawab.

Tak kalah penting, bank juga menilai tujuan penggunaan kredit. Kredit yang diajukan untuk keperluan produktif, seperti modal usaha, pengembangan properti, atau pembelian alat produksi, umumnya lebih disukai daripada kredit konsumtif seperti pembelian barang mewah yang tak menghasilkan pendapatan tambahan. 

Tujuan kredit yang jelas dan realistis menunjukkan bahwa nasabah memiliki perencanaan yang matang, bukan sekadar keinginan sesaat. 

Ini memberi keyakinan kepada bank bahwa pinjaman tersebut akan digunakan secara bijak dan mampu menghasilkan pengembalian, baik secara finansial maupun sosial.

Sebagaimana prinsip manajemen risiko yang dipegang erat oleh setiap bank, rasio utang terhadap penghasilan (debt-to-income ratio) juga menjadi indikator penting. 

Bank tidak ingin menjerumuskan nasabah ke dalam kondisi overleveraged, di mana beban cicilan melebihi kemampuan membayar. 

Secara umum, bank akan menilai apakah total kewajiban bulanan calon nasabah masih berada dalam batas aman, yakni tidak lebih dari 30–40 persen dari total penghasilan. 

Rasio ini menjadi pagar pelindung, bukan hanya bagi bank, tetapi juga bagi nasabah sendiri agar tidak terjerat dalam tekanan keuangan yang berkepanjangan.

Tak semua proses pengajuan kredit berakhir dengan persetujuan, dan tidak semua penolakan berarti buruk. 

Dalam banyak kasus, bank menolak kredit bukan karena nasabah tak layak, tetapi karena waktu atau kondisinya belum sesuai. Justru, dalam pengalaman perbankan, nasabah yang bersedia memperbaiki catatan kredit, meningkatkan penghasilan, atau menyusun rencana bisnis yang lebih solid sering kali kembali dengan posisi yang lebih kuat. 

Fleksibilitas dan kemauan untuk belajar menjadi ciri penting dari nasabah yang disukai, karena hal itu menunjukkan tanggung jawab dan kedewasaan dalam mengelola keuangan.

Proses menjadi nasabah yang disukai bank tidak harus rumit, tetapi membutuhkan kesadaran. Seseorang yang paham nilai penting menabung, rajin mencatat keuangan pribadi, dan memiliki literasi finansial yang baik akan lebih mudah memenuhi kriteria bank. 

Dengan menyimpan dana secara rutin, menjaga arus kas tetap positif, serta menghindari utang konsumtif yang tak perlu, citra finansial seseorang akan terlihat lebih sehat. 

Dalam konteks ini, bank bukan sekadar institusi pemberi pinjaman, tetapi juga mitra dalam membangun masa depan finansial yang berkelanjutan.

Menariknya, di era digital saat ini, profil nasabah tidak hanya dilihat dari angka di formulir atau status pekerjaan. Fintech dan perbankan modern mulai menggunakan pendekatan berbasis teknologi untuk menilai nasabah. 

Algoritma pemrosesan data dan kecerdasan buatan digunakan untuk menganalisis pola transaksi, gaya hidup, hingga interaksi di media sosial. Meskipun metode ini belum menggantikan penilaian konvensional secara menyeluruh, namun menjadi pelengkap penting dalam melihat profil risiko dan kebiasaan finansial seseorang secara lebih holistik.

Bank pun semakin menekankan pentingnya inklusi keuangan, di mana akses terhadap layanan keuangan diperluas ke kelompok masyarakat yang sebelumnya kurang terlayani. 

Hal ini berarti bahwa nasabah mikro, pekerja informal, dan pelaku UMKM pun memiliki peluang yang sama, selama mereka menunjukkan disiplin dan konsistensi dalam pengelolaan keuangan.** 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan