Hanya Bekam: Tradisi Penyembuhan yang Menyatukan Sehat dan Sunah Serta Ntural Spritual

Hanya Bekam: Tradisi Penyembuhan yang Menyatukan Sehat dan Sunah Serta Ntural Spritual --screenshot dari web.
Koranrm.id-Di sebuah ruangan kecil yang hening di bilangan Ciganjur, seorang pria paruh baya terbaring tenang. Di punggungnya, beberapa cangkir kaca menempel erat, menciptakan tekanan yang menyedot kulit dan darah ke permukaan.
Gerakan sang terapis tampak pasti dan terlatih. Tak ada kegaduhan, tak ada hiruk-pikuk teknologi kedokteran modern, namun yang hadir di sana bukan sekadar ritual kuno.
Inilah bekam, terapi pengobatan yang merentang dari zaman Nabi hingga klinik-klinik urban masa kini.
Dan di balik kesan tradisional itu, tersimpan cerita panjang tentang tubuh, ruh, dan ikhtiar manusia menjaga harmoni kesehatan.
Bekam, atau yang dalam istilah ilmiahnya dikenal sebagai “cupping therapy”, telah dipraktikkan selama lebih dari 3.000 tahun. Dari Mesir Kuno hingga peradaban Cina, dari tradisi Persia hingga praktik Nabi Muhammad SAW, bekam melintasi lintas sejarah dan keyakinan.
BACA JUGA:Bekam Lebih dari Sekadar Pengobatan Tradisional, Ini Rahasianya!
Namun bagi umat Islam, bekam bukan hanya metode terapi. Ia adalah bagian dari sunah Nabi, sebagaimana tercatat dalam banyak riwayat.
Terdapat hadits dari Ibnu Majah yang menyebutkan: “Sebaik-baik pengobatan yang kalian lakukan adalah dengan bekam.” Dalam riwayat lain, Rasulullah dikisahkan sering berbekam, terutama ketika sedang berpuasa atau saat mengalami kelelahan fisik.
Praktik ini bukan hanya dianggap sebagai bentuk ikhtiar menjaga kesehatan, tapi juga sebagai bentuk ketaatan spiritual yang menyatu dengan kebersihan tubuh.
Maka tidak mengherankan jika bekam, yang sempat terpinggirkan oleh arus besar pengobatan modern, kembali menemukan tempatnya di hati masyarakat Muslim kontemporer.
Di klinik-klinik bekam yang tersebar di kota besar maupun desa, antrean pasien tidak hanya mencari kesembuhan fisik, tapi juga ketenangan batin.
Di balik praktiknya yang terlihat sederhana penyedotan darah dengan cangkir atau alat vakum bekam menyimpan kompleksitas ilmiah yang patut dihargai.
Prosedur bekam biasanya dimulai dengan pemijatan ringan untuk melancarkan sirkulasi darah, kemudian diteruskan dengan pembentukan tekanan negatif menggunakan alat khusus di titik-titik tertentu tubuh.
Setelah itu dilakukan sayatan kecil agar darah “kotor” keluar dari pembuluh darah kapiler.
Istilah "darah kotor" sering menimbulkan perdebatan di kalangan medis, sebab dalam ilmu kedokteran modern, semua darah memiliki fungsi spesifik dan tidak dikenal klasifikasi "kotor" secara literal.
Namun jika dimaknai secara fungsional, bekam diyakini membantu proses detoksifikasi tubuh melalui pengeluaran darah statis yang mengandung racun, kolesterol tinggi, dan sisa metabolisme yang menumpuk.
Studi dari “Journal of Traditional and Complementary Medicine” (2016) menyebutkan bahwa bekam dapat meningkatkan sirkulasi darah, mengurangi peradangan, dan meningkatkan sistem imun.
Penelitian lain dari “Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine” (2019) menunjukkan bahwa terapi bekam efektif membantu pengobatan migrain, nyeri otot, tekanan darah tinggi, dan bahkan kecemasan.
Meski belum sepenuhnya diterima dalam arus utama kedokteran modern, semakin banyak riset yang mendukung manfaatnya jika dilakukan oleh praktisi berpengalaman dan sesuai prosedur.
Di Indonesia sendiri, bekam mengalami renaisans pada dua dekade terakhir. Hal ini bukan semata karena dorongan religius, tetapi juga sebagai bagian dari kebangkitan minat masyarakat terhadap pengobatan alternatif yang lebih natural dan spiritual.
Banyak klinik bekam kini dikelola secara profesional, lengkap dengan sertifikasi, pelatihan intensif, dan pengawasan higienis.
Salah satu sosok yang menjadi pionir dalam modernisasi terapi bekam adalah dr. Zaidul Akbar, seorang dokter umum sekaligus pendakwah kesehatan yang aktif mempopulerkan gaya hidup thibbun nabawi pengobatan ala Nabi.
Dalam berbagai ceramah dan bukunya, ia menjelaskan bahwa bekam adalah bagian penting dari ikhtiar menjaga vitalitas tubuh tanpa terlalu bergantung pada obat-obatan kimia.
Menurutnya, bekam bukan hanya proses medis, tapi juga sebuah perjalanan spiritual. “Saat darah keluar, kita bukan hanya membuang residu fisik, tapi juga emosi, beban pikiran, dan energi negatif,” tulisnya dalam buku “Jurus Sehat Rasulullah”.
Pandangan ini diamini oleh banyak pasien. Bagi sebagian besar mereka, efek bekam tak hanya terasa di tubuh, tapi juga dalam kejernihan pikiran dan rasa ringan di hati.
Tak jarang mereka menyebut bekam sebagai ‘ruqyah tubuh’ cara alami mengusir kepenatan hidup yang tak tampak namun membebani.
Tentu saja, seperti semua metode terapi, bekam tidak boleh dipraktikkan secara sembarangan. Prosedurnya yang melibatkan sayatan kecil tetap menyimpan risiko infeksi jika alat tidak steril atau dilakukan oleh orang yang tidak terlatih.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk selektif memilih tempat terapi yang telah memiliki izin dan reputasi baik.
Selain itu, bekam juga memiliki kontraindikasi. Mereka yang mengidap hemofilia, anemia berat, atau gangguan pembekuan darah tidak disarankan menjalani terapi ini.
Demikian pula wanita hamil, pasien dengan kondisi imunodefisiensi, atau mereka yang sedang dalam pengobatan intensif.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah merilis panduan praktik bekam dalam konteks pengobatan tradisional yang aman dan terukur.
Hal ini menandakan bahwa bekam bukan lagi dianggap praktik pinggiran, melainkan bagian dari lanskap kesehatan global yang diakui, selama memenuhi standar klinis dan etika.
Lebih jauh dari aspek medis, bekam juga mengandung nilai budaya dan spiritual yang mendalam. Dalam budaya Islam, menjaga kesehatan bukan hanya keperluan individu, tetapi juga bentuk ibadah.
Tubuh yang sehat adalah sarana untuk beribadah secara optimal, mencari nafkah, dan mengabdi kepada sesama.
Maka tidak heran bila praktik bekam di kalangan Muslim sering kali diiringi dengan doa, dzikir, dan suasana tenang yang menciptakan keselarasan antara tubuh dan ruh.
Pada titik ini, bekam menjelma lebih dari sekadar tindakan penyedotan darah. Ia menjadi simbol dari filosofi hidup: bahwa segala penyakit punya akar, dan penyembuhannya membutuhkan keseimbangan antara jasmani dan rohani.
Dalam dunia yang semakin bising dengan teknologi, kembali ke praktik seperti bekam adalah semacam jeda, napas panjang untuk mendengar sinyal tubuh yang sering terabaikan.
Di tengah hiruk-pikuk gaya hidup modern yang kerap menekan manusia untuk terus bergerak tanpa henti, kebutuhan akan ruang pemulihan menjadi semakin mendesak.
Bekam menjawab kebutuhan itu tidak hanya dengan menyentuh kulit, tapi juga menyentuh kesadaran. Di ruang bekam yang sederhana, orang-orang datang membawa keluhan tubuh, lalu pulang dengan senyum dan rasa damai yang tak dapat dibeli di apotek. (aka)