Kebun Sawit di Tengah Konflik Satwa Liar: Bisakah Konservasi dan Produksi Berjalan Bersamaan?

Kebun Sawit di Tengah Konflik Satwa Liar: Bisakah Konservasi dan Produksi Berjalan Bersamaan?--screenshot dari web.

KORANRM.ID - Mengangkat dinamika antara ekspansi perkebunan dengan habitat gajah, orangutan, dan harimau. Embun fajar di hutan Leuser, Sumatra, menyela kesunyian dengan rapatnya tirai kabut dan desah hidup satwa yang bersahut-sahutan. Di sela-sela hutan primer ini, deretan pohon sawit yang rapi berdiri, menggerakkan lilitan cerita yang rumit antara kebutuhan ekonomi dan keberlangsungan alam. Setiap rasa tergenggam dalam kelelahan pagi para petani kecil dan hembusan nafas lembut harimau, gajah, dan orangutan yang terdengar dari kejauhan. Perjuangan sekaligus harapan itu terangkai dalam sebuah narasi penting: apakah menyeimbangkan kepentingan konservasi dan kebutuhan produksi sawit dapat terwujud tanpa harus memilih jalan ekstrem?

Di hutan tropis Sumatra dan Kalimantan, perkebunan sawit mulai berkembang sejak 1980an, bermula dari kebutuhan peningkatan pendapatan petani dan pengangguran di daerah terpencil. Namun, seiring waktu, pertumbuhan kebun sawit semakin merambah habitat kritis satwa besar. Orangutan kehilangan jalur perkembangbiakan, gajah terdesak ke areal kebun lalu konflik makan tanaman muncul, dan jalur migrasi harimau sumatra terpecah oleh lanskap yang terus termonokultur sawit. Penyebabnya jelas: peralihan lahan hutan primer ke perkebunan skala besar membuat spesies-spesies ini kehilangan wilayah penting untuk hidup, berkembang, dan berpindah. Bukti dari ICCT (2016) memaparkan bahwa deforestasi di Sumatra menyebabkan konflik manusia-gajah meningkat dan populasi orangutan tertekan theicct.org.

Namun potensi konservasi bersanding dengan sawit tidak otomatis mustahil. Riset dari ZSL pada 2007 mengamati harimau sumatra di kebun sawit yang masih terhubung dengan hutan sekunder—mengindikasikan bahwa meski area ini bukan habitat ideal, margin habitat dan koridor hijau mampu dijaga baik dalam kebun berkelanjutan conservewildcats.org. Konsep ini menjadi titik awal: membayangkan sawit dan satwa liar bisa hidup berdampingan, asal kebun dikelola dengan prinsip konservasi.

Strategi konservasi-tertanam sawit berkembang melalui beberapa pendekatan. Pertama, menjaga dan memetakan koridor hijau—jalur alami antara fragmen hutan yang diikuti oleh lembaga seperti Global Conservation dan WWF. Proyek di Leuser mencatat temuan berhasil menutup perkebunan ilegal dan mengembalikan area ilegal seluas puluhan ribu hektar melalui restorasi vegetasi globalconservation.org. Kedua, penggunaan praktik budidaya berkelanjutan, termasuk sertifikasi RSPO dan ISPO yang memuat persyaratan konservasi, batas buffer area, dan standar manajemen air.

BACA JUGA:Strategi Pemasaran Produk Turunan Sawit, Menuju Pasar Global yang Berkelanjutan

Ketiga, mitigasi langsung konflik satwa-manusia. Di kebun milik Sime Darby di Kalimantan, WWF dan Universitas Nottingham merancang protokol untuk meminimalkan konflik manusia-gajah—melalui pagar elektrik, sistem alarm satwa, dan patroli yang didasarkan pada penelitian ilmiah researchgate.net. Kombinasi ini memberi petani perlindungan dan satwa ruang aman.

Tak hanya gajah, orangutan pun menjadi fokus perhatian. Kebun perbatasan taman nasional sering mengalami konflik akibat masuknya orangutan ke kebun untuk mencari makanan. Praktisi konservasi merekomendasikan pelestarian pohon buah liar di pinggir kebun untuk menarik mereka menjauh dari area produktif dan mengurangi potensi konflik—strategi ini terbukti menurunkan kontak langsung dengan tanaman sawit.

Namun, sebagian praktik mengarus ke arah ekstrim: relokasi paksa satwa. Sumber Guardian (2025) menunjukkan bahwa orangutan yang dipindahkan dari zona sukarela acap kali mencoba kembali ke wilayah asalnya dan kehilangan status sosial dalam kelompok baru theguardian.com. Strategi ini dibandingkan dengan pengusiran budaya dan bisa memperparah tekanan pada satwa. Maka alternative seperti konservasi di-situ yang melibatkan masyarakat lokal menjadi pendekatan yang lebih manusiawi dan efektif.

Di lapangan, komunitas lokal adalah jembatan utama harmonisasi antara sawit dan konservasi. Di Dataran Tinggi Bukit Barisan, tim patroli wanita—Nuraga Bhumi—berperan aktif mencatat jejak harimau, merintis jalur konservasi, dan mendampingi petani agar tidak melakukan ekspansi ilegal theguardian.com. Integrasi pengetahuan adat dan data modern memungkinkan strategi pengelolaan kebun yang lebih adaptif. Keberadaan mereka memperkuat pendekatan komunitas sebagai mitra, bukan pengganggu.

Teknologi juga turut mengubah permainan. Penggunaan drone dengan kamera termal memetakan pola pergerakan satwa dan kebocoran lahan. Kamera jebak (camera trap) tak sekedar mencatat anak harimau melintas, namun juga memicu data ilmiah lengkap. Sistem ini memandu pengambilan keputusan cepat untuk menutup celah habitat atau menambah buffer zone, memimpin kampanye konservasi berbasis data.

Namun ancaman nyata masih hadir: ekspansi ilegal kebun sawit setelah time lag restriksi, pembukaan lahan secara terselubung di taman hutan lindung, dan mafia investasi yang melupakan izin lingkungan. RAN dan lembaga independen merekam tren peningkatan empat kali lipat deforestasi dalam kawasan cadangan satwa seperti Rawa Singkil antara 2021–2023 reuters.com. Ini jadi alarm bahwa strategi konservasi harus diperketat dan legalisasi kawasan hijau semakin urgent.

Dari sisi regulasi, negara-negara pengimpor pun mulai menekan. Uni Eropa menerapkan regulasi larangan impor produk terkait eksploitasi lahan ilegal—tekanan yang meluas ke rantai global. Inilah yang mendorong “orangutan diplomacy” oleh Malaysia, mengirimkan satwa konservasi untuk membangun narasi keseriusan konservasi sawit reuters.comtheguardian.com. Namun kampanye ini dinilai simbolis jika tak diikuti perlindungan real terhadap habitatnya di lapangan.

Dalam dekade mendatang, sawit harus menjadi wajah kolaborasi. Jika petani kecil dilengkapi insentif konservasi, pemerintah menjamin sertifikasi, lembaga swadaya memeriksa implementasi, dan ilmu pengetahuan mendukung mitigasi damai—maka konflik satwa dan panen bisa berjalan bersamaan, bukan saling bunuh.

BACA JUGA:Peran UMKM dalam Pengolahan Produk Sawit, Pilar Perekonomian dan Keberlanjutan

Bagaimana mengakhiri konflik ini menjadi soal kemauan Kolektif. Gajah bernafas di bawah sinar matahari yang sama dengan panen sawit. Harimau merumput saat pekerja mengejar telur sawit. Orangutan merambat lembut saat petani mengumpulkan buah. Narasi ini menyinggung dua dunia yang selama ini dianggap berseberangan—ekonomi dan alam, manusia dan satwa—tapi sesungguhnya dapat dipadu dalam satu upaya besar: keberlanjutan sejati.

Kisah konservasi dan produksi bukan jalan terpisah. Ia jalur panjang yang sering kali terdengar berlawanan namun bisa beriringan. Di pagi berembun dalam hutan sawit dan jejak harimau yang menghilang di tengah pucuk sawit, terbentang harapan: Indonesia, negara mega-diversitas dan produsen sawit nomor satu, mampu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak harus merusak, dan konservasi bukan penghambat kemajuan—melainkan penopang keberlanjutan jangka panjang.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan