Perang Streamer Masih Berlanjut Netflix, Disney+, dan Pendatang Baru Siapa Unggul

Perang Streamer Masih Berlanjut Netflix, Disney+, dan Pendatang Baru Siapa Unggul.--screnshoot dari web

KORANRM.ID - Lanskap industri hiburan global mengalami transformasi besar sejak kemunculan layanan video on demand (VOD) yang kini telah menjelma menjadi “medan perang” bisnis hiburan digital. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, platform seperti Netflix, Disney+, Amazon Prime Video, hingga pendatang baru seperti HBO Max, Apple TV+, dan lokal player seperti Vidio dan WeTV bersaing merebut perhatian penonton dengan konten eksklusif dan inovasi teknologi. Perubahan pola konsumsi konten serta akselerasi digital akibat pandemi menjadi pemicu utama gelombang ini. Kompetisi pun bukan hanya sekadar soal katalog film, tetapi juga strategi harga, user experience, serta pendekatan terhadap pasar lokal dan global.

Netflix masih menjadi pemain dominan di kancah global dengan jumlah pelanggan mencapai lebih dari 260 juta pengguna per kuartal akhir 2024. Namun, dominasi itu tidak lagi mutlak seperti beberapa tahun lalu. Disney+, yang meluncur pada 2019, telah mempercepat ekspansinya dan kini memiliki lebih dari 150 juta pelanggan di berbagai wilayah, dengan kekuatan utama terletak pada portofolio waralaba besar seperti Marvel, Star Wars, Pixar, dan National Geographic. Di sisi lain, Amazon Prime Video tampil agresif dengan pendekatan bundling dalam layanan Prime dan konten eksklusif seperti serial “The Boys” dan “Reacher” yang terus menambah daya tariknya.

BACA JUGA:Laptop Generasi Baru Inovasi AI dan Performa Super dalam Genggaman

BACA JUGA:Generasi Beta Seperti Apa Anak-anak yang Lahir di Era AI

Hadirnya platform baru seperti Apple TV+ dan HBO Max turut memperketat kompetisi, terutama di pasar negara-negara dengan penetrasi internet tinggi dan preferensi terhadap konten premium. Apple TV+ mengandalkan pendekatan kualitas tinggi dengan jajaran konten original berstandar festival, seperti “Ted Lasso”, “The Morning Show”, dan “Severance”. Meski jumlah kontennya masih sedikit dibanding pesaing, Apple TV+ mendapat nilai tinggi dalam kualitas produksi dan storytelling. HBO Max, yang berada di bawah Warner Bros. Discovery, menggabungkan perpustakaan kaya warisan budaya pop seperti “Game of Thrones”, “Harry Potter”, dan film DC Universe. Kekuatan mereka ada pada kualitas sinematik dan loyalitas fanbase.

BACA JUGA:Tren ‘Co-Living’ Gaya Hidup Baru untuk Generasi yang Tidak Mau Punya Rumah

Ketika melihat siapa yang unggul dalam perang ini, penting untuk menilai berdasarkan pendekatan strategis masing-masing platform. Netflix terus berinovasi dengan memperluas genre dan meningkatkan investasi pada konten lokal di berbagai negara. Di Indonesia, misalnya, Netflix telah memproduksi film dan serial orisinal seperti “Gadis Kretek”, “Cigarette Girl”, dan beberapa dokumenter yang menyasar demografi milenial dan Gen Z. Selain itu, pengembangan teknologi AI untuk kurasi tontonan personal dan fitur preview interaktif menjadi keunggulan tersendiri. Netflix juga menjadi pelopor model binge-watch, di mana satu musim penuh dirilis dalam satu waktu, memberi kendali penuh pada penonton.

Disney+ memiliki kekuatan pada ekosistem kontennya yang terintegrasi. Dengan memanfaatkan IP besar yang telah memiliki fanbase loyal, Disney mampu menghadirkan konten berkualitas tinggi secara konsisten. Selain itu, strategi cross-platform seperti peluncuran film di bioskop dan layanan streaming secara bersamaan membuat mereka unggul dalam monetisasi. Disney+ juga berhasil menggaet segmen keluarga dan anak-anak dengan konten ramah keluarga yang tidak dimiliki oleh semua platform pesaing.

Amazon Prime Video menerapkan model yang lebih fleksibel dan terintegrasi dengan ekosistem e-commerce Amazon. Pengguna yang berlangganan Prime tidak hanya mendapatkan akses ke konten video, tetapi juga keuntungan pengiriman barang gratis, akses musik, dan e-book. Strategi ini menjadikan nilai ekonomis langganan Prime Video sangat menarik, terutama di pasar yang sensitif harga. Amazon juga mulai aktif dalam produksi konten lokal di berbagai wilayah, termasuk Asia Tenggara, demi memperluas jangkauan pasar.

BACA JUGA:Tren ‘Co-Living’ Gaya Hidup Baru untuk Generasi yang Tidak Mau Punya Rumah

Sementara itu, platform lokal seperti Vidio (Indonesia) juga menunjukkan performa kompetitif. Dengan lisensi eksklusif pertandingan olahraga seperti Liga Inggris dan berbagai sinetron populer, Vidio berhasil memikat pengguna domestik. Mereka memahami pola konsumsi lokal dengan baik, termasuk selera terhadap drama romansa, reality show, dan konten religius. Hal ini menunjukkan bahwa kompetisi tidak hanya berlangsung di tingkat global, tetapi juga sangat dinamis di level regional.

Faktor penentu kemenangan dalam kompetisi ini juga bergantung pada strategi harga dan fleksibilitas paket berlangganan. Netflix sempat mengalami penurunan jumlah pelanggan akibat kenaikan harga dan tindakan keras terhadap pembagian akun (password sharing). Namun, mereka segera menyesuaikan diri dengan meluncurkan paket beriklan (ad-supported tier) yang lebih murah dan mulai diterima baik di pasar seperti AS dan Eropa. Disney+ pun mengikuti strategi serupa untuk mengakomodasi segmen pasar yang lebih luas. Di sisi lain, Apple TV+ masih mempertahankan harga kompetitif dengan konten eksklusif yang lebih sedikit tetapi sangat terkurasi.

BACA JUGA:Generasi Rentan Mengapa Kesehatan Mental Menjadi Isu Global yang Mendesak

Adaptasi teknologi menjadi faktor penting lainnya. Banyak platform mulai mengadopsi kecerdasan buatan untuk personalisasi konten, subtitle otomatis multibahasa, dan rekomendasi berbasis perilaku pengguna. Mereka juga meningkatkan kualitas streaming hingga resolusi 4K HDR dengan surround sound, dan menawarkan fitur offline download untuk pengguna mobile. Antarmuka pengguna (UI) yang intuitif, kecepatan buffer, serta keandalan aplikasi menjadi aspek krusial dalam membangun loyalitas jangka panjang.

Dari sudut pandang pengguna, pilihan platform sering kali bergantung pada dua hal: eksklusivitas konten dan kenyamanan. Konsumen kini semakin selektif dalam memilih langganan. Banyak yang melakukan rotasi berlangganan: berlangganan satu layanan selama sebulan untuk menonton konten tertentu, lalu beralih ke layanan lain pada bulan berikutnya. Fenomena ini dikenal sebagai “subscription hopping” yang memaksa platform untuk terus menjaga keberlanjutan konten unggulan agar pengguna tidak berpaling.

Dalam konteks ini, konten orisinal menjadi senjata utama. Netflix tetap produktif dengan ratusan rilisan original per tahun. Namun, jumlah saja tidak cukup—platform kini bersaing dalam kualitas. Apple TV+ berhasil mencuri perhatian meskipun dengan jumlah rilisan yang minim, karena konsistensi mutu dan storytelling yang kuat. Disney+ di sisi lain fokus pada perluasan dunia sinematik (extended universe), di mana serial seperti “Loki”, “Andor”, dan “WandaVision” menjadi perpanjangan dari film layar lebar.

Di pasar Asia, tren streaming juga berkembang cepat. Pengguna muda lebih suka konten cepat, ringan, dan bisa ditonton sambil multitasking. Karena itu, platform seperti Viu dan iQIYI yang menyuguhkan drama Korea dan konten Asia lainnya tetap memiliki tempat tersendiri. TikTok bahkan mulai merambah ke dunia streaming serial pendek, memunculkan ancaman baru bagi pemain tradisional yang terbiasa dengan durasi tayang panjang. Ini membuat lanskap menjadi lebih kompleks dan terfragmentasi.

Dari sisi produsen konten, kehadiran banyak platform membuka peluang lebih luas. Produser, penulis, dan sineas kini memiliki lebih banyak pintu masuk untuk mendistribusikan karya mereka. Namun, ini juga berarti persaingan makin ketat dan standar kualitas makin tinggi. Platform streaming kini menjadi kurator besar yang menentukan selera penonton global, dan memiliki kekuatan dalam membentuk tren budaya populer.

Dalam jangka panjang, pertarungan ini tidak akan melahirkan satu pemenang mutlak. Justru, pasar akan semakin terbagi berdasarkan minat, gaya hidup, dan ekonomi pengguna. Model bisnis hybrid—gabungan langganan dan iklan—akan makin populer, terutama di negara berkembang. Platform yang mampu berinovasi secara berkelanjutan dan memahami psikologi penonton lokal akan lebih mudah bertahan.

Pada akhirnya, perang streamer adalah refleksi dari revolusi konsumsi konten digital. Siapa yang unggul bukan hanya mereka yang punya konten paling banyak, tapi yang paling relevan, personal, dan adaptif. Dunia hiburan telah berubah menjadi arena yang bergerak cepat dan tak kenal ampun, di mana algoritma dan kreativitas berjalan beriringan. Di tengah derasnya persaingan, satu hal tetap jelas: penontonlah yang memegang kuasa.

________________________________________

Referensi:

1. Statista. (2024). Number of Netflix subscribers worldwide.

2. The Verge. (2023). Disney+ subscribers hit 150 million globally.

3. Variety. (2023). Apple TV Plus Focuses on Prestige Originals to Grow Market Share.

4. The Hollywood Reporter. (2024). Streaming Wars Intensify With Ad-Supported Plans and Exclusive Content.

5. CNBC. (2023). Amazon Prime Video Expands Global Footprint with Local Content Strategy.

6. Media Partners Asia. (2024). Streaming Growth in Southeast Asia: Trends and Forecasts.

7. Kompas. (2024). Strategi Vidio Kuasai Pasar Streaming Lokal Lewat Siaran Olahraga.

8. TechCrunch. (2023). Subscription Hopping Becomes New Norm Among Streamers.

9. McKinsey & Company. (2024). The Future of Streaming: Innovation, Fragmentation, and Consolidation.

10. Forbes. (2024). Can Netflix Maintain Its Lead in the Streaming Battle?

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan