OPINI: Wahyu Budiarso, Kepala KPPN Mukomuko
PAJAK dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Demikian UUD kita menyebutkan. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada Masyarakat. Alhasil, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) harus didasarkan pada Undang-Undang, dalam hal ini Perda PDRD. Apabila tidak ada Perda PDRD maka pajak dan pungutan yang dilakukan Pemda merupakan hal yang illegal atau dapat dikatakan pungutan liar (pungli). UU HKPD yang ditetapkan tanggal 5 Januari 2022 mengamanatkan bahwa, jenis pajak dan retribusi, subjek pajak dan wajib pajak, subjek retribusi dan wajib retribusi, objek pajak dan retribusi, dasar pengenaan pajak, tingkat penggunaan jasa retribusi, saat terutang pajak, wilayah pemungutan pajak, serta tarif pajak dan retribusi, harus ditetapkan dalam satu perda sebagai dasar pemungutan pajak dan retribusi di daerah. Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku paling lama 2 (dua) tahun dan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini pun ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, Artinya setelah 5 Januari 2024, Perda PDRD eksisting sudah tidak berlaku lagi. BACA JUGA:Penerimaan Calon Anggota Polri Gratis, 101 Peserta Ikuti Seleksi Administrasi Apa kabar Perda PDRD Mukomuko? Sejauh informasi yang penulis ketahui, Perda PDRD Mukomuko belum juga disahkan. Saat ini masih dalam proses pembahasan antara DPRD (Dewan) dengan Pemkab Mukomuko terhadap hasil evaluasi dari Provinsi. Apa implikasi atas belum disahkannya Perda ini? Mari kita ulas sekilas. Sejak Januari 2024 sampai sekarang tentunya Pemda tidak dapat melakukan pungutan pajak atau pungutan lainnya sebagai pendapatan asli daerah karena pada prinsipnya pajak dan pungutan harus berdasarkan undang-undang. Semakin lama ditunda peraturan daerah ini, maka semakin besar pula potensi Pemda kehilangan pendapatan asli daerah. Terlebih perda tidak dapat berlaku surut. Tingkat kemandirian keuangan Mukomuko masih rendah, dengan kata lain masih sangat bergantung pada transfer ke daerah. Tentunya dengan hilangnya potensi pendapatan dari PDRD ini akan semakin melemahkan fiskal Mukomuko. Ruang gerak dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi maupun pelayanan kepada masyarakat juga semakin terbatas. Investor tentunya akan melihat kebijakan terkait perpajakan dan retribusi yang ditetapkan oleh Daerah sebelum melakukan investasi di daerah tersebut. Semakin lama tidak ada kejelasan terkait penetapan Perda PDRD maka berpotensi menurunkan minat investor untuk masuk ke Mukomuko. BACA JUGA:Kegiatan DD di Kecamatan Air Manjuto Masih Nihil Mengingat proses Perda PDRD tidak berhenti di Dewan namun masih akan melalui evaluasi dari Provinsi, perlu kiranya dilakukan akselerasi penetapan Perda dimaksud dengan pertimbangan potensi-potensi loss dan dampaknya terhadap masyarakat Mukomuko secara umum. Pemerintah pusat perlu membuat sanksi yang jelas dan tegas bagi Pemda yang terlambat dalam menetapkan Perda RDRD. Hal ini diimbangi dengan reward bagi Pemda yang cepat atau tepat waktu dalam penetapan PDRD-nya. Terlepas dari polemik dan dinamika yang terjadi dalam pembahasan Perda PDRD, kiranya patut dilihat kembali niat baik dari pihak Pemda dan Dewan yang notabene sama-sama memperjuangkan kepentingan rakyat dapat dikedepankan untuk percepatan penetapan Perda PDRD Mukomuko Dua tahun waktu yang diberikan untuk penyusunan Perda PDRD sebagai tindak lanjut ditetapkannya UU HKPD semestinya dapat digunakan sebaik-baiknya sehingga terhindar dari keterlambatan ini. Saat ini untuk lingkup Provinsi Bengkulu tinggal Seluma dan Mukomuko yang belum ditetapkan Perda PDRD-nya. Bukan mencari kawan terlambat, namun kiranya jadi pemicu untuk segera menyelesaikan Perda dimaksud untuk kesejahteraan rakyat Mukomuko.* *tulisan merupakan pendapat pribadi bukan mewakili instansi
Kategori :