Psikologi Dopamin Bagaimana Media Sosial Menciptakan Kecanduan Digital

Psikologi Dopamin Bagaimana Media Sosial Menciptakan Kecanduan Digital--screnshoot dari web

KORANRM.ID - Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dari sekadar menggulirkan layar hingga memberikan like dan komentar, interaksi kita dengan platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter semakin intens. Namun, di balik kemudahan akses dan kesenangan yang ditawarkan, ada mekanisme psikologis yang membuat kita terus kembali, sering kali tanpa sadar. Salah satu elemen utama dalam fenomena ini adalah dopamin, neurotransmitter yang berperan dalam sistem penghargaan otak. Bagaimana dopamin berperan dalam menciptakan kecanduan digital, dan apa dampaknya bagi kehidupan kita?

BACA JUGA:Terkuak, Ternyata Kebiasaan Buruk Bisa Hempas Lemak di Perut

BACA JUGA:5 Kebiasaan Malam Orang Malas yang Buat Hidup Tidak Pernah Maju

Dopamin adalah senyawa kimia di otak yang bertanggung jawab atas perasaan senang, motivasi, dan pembelajaran. Ketika kita melakukan sesuatu yang menyenangkan atau bermanfaat, otak melepaskan dopamin sebagai bentuk penghargaan. Ini mendorong kita untuk mengulangi tindakan tersebut. Secara alami, dopamin dilepaskan saat kita makan makanan enak, berolahraga, atau mencapai suatu tujuan.

Namun, dalam konteks media sosial, mekanisme ini dieksploitasi untuk menciptakan pola penggunaan yang adiktif. Setiap kali seseorang menerima notifikasi, like, atau komentar, otaknya mengalami lonjakan dopamin. Sensasi ini mirip dengan efek yang terjadi saat seseorang berjudi atau menggunakan zat adiktif, membuat media sosial menjadi sesuatu yang sulit untuk ditinggalkan.

Platform media sosial dirancang secara strategis untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Berikut adalah beberapa cara utama bagaimana media sosial memanipulasi sistem penghargaan dopamin:

1. Notifikasi sebagai Pemicu Dopamin

BACA JUGA:5 Kebiasaan yang Bisa Meningkatkan Risiko Kematian Dini

Setiap kali kita mendapat pemberitahuan tentang like, komentar, atau pesan, otak mengasosiasikan hal tersebut dengan penghargaan sosial. Karena notifikasi muncul secara tak terduga, ini menciptakan efek psikologis yang dikenal sebagai variable reward system, mirip dengan bagaimana mesin judi bekerja. Ketidakpastian ini membuat kita terus kembali ke aplikasi, berharap mendapatkan respons positif.

2. Infinite Scrolling dan Algoritma Konten

Fitur infinite scrolling memungkinkan kita terus menggulir tanpa batas, memberikan aliran konten yang tampaknya tak pernah habis. Algoritma media sosial juga dirancang untuk menunjukkan konten yang relevan dengan minat kita, membuat pengguna semakin sulit untuk berhenti. Semakin lama seseorang menghabiskan waktu di platform, semakin banyak dopamin yang dilepaskan, memperkuat kebiasaan ini.

3. Persetujuan Sosial dalam Bentuk Like dan Komentar

Manusia secara alami mencari validasi sosial. Ketika seseorang menerima like atau komentar positif, otaknya menerjemahkannya sebagai bentuk penerimaan dari lingkungan sosialnya. Ini menciptakan dorongan untuk terus memposting, berbagi, dan mencari interaksi sosial di platform digital, meskipun sering kali hanya bersifat dangkal.

4. Fitur Stories dan FOMO (Fear of Missing Out)

Fitur seperti stories yang hanya bertahan selama 24 jam menciptakan perasaan urgensi dan ketakutan akan ketinggalan informasi (FOMO). Akibatnya, pengguna merasa perlu untuk terus memeriksa media sosial agar tetap terhubung dengan tren dan aktivitas teman-teman mereka.

Dampak Kecanduan Digital terhadap Kesehatan Mental

Kecanduan media sosial tidak hanya mengubah kebiasaan kita, tetapi juga memiliki dampak serius terhadap kesehatan mental:

BACA JUGA:Kebiasaan Berbohong yang Kronis, Inilah Gangguan Mythomania pada Seseorang

• Gangguan Konsentrasi dan Produktivitas

Konsumsi konten yang berlebihan mengurangi kemampuan seseorang untuk fokus dalam jangka waktu lama. Banyak orang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas tanpa terganggu oleh dorongan untuk memeriksa ponsel mereka.

• Gangguan Tidur

Penggunaan media sosial sebelum tidur telah terbukti mengganggu kualitas tidur. Cahaya biru dari layar perangkat menghambat produksi melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur, menyebabkan insomnia dan gangguan tidur lainnya.

• Peningkatan Kecemasan dan Depresi

Media sosial sering kali menampilkan kehidupan yang dikurasi, di mana orang hanya menunjukkan sisi terbaik dari diri mereka. Hal ini dapat menyebabkan perasaan rendah diri, kecemasan sosial, dan bahkan depresi karena pengguna merasa hidup mereka tidak sebanding dengan orang lain.

• Dampak pada Hubungan Sosial

Meskipun media sosial bertujuan untuk menghubungkan orang, sering kali pengguna justru menjadi lebih terisolasi. Interaksi tatap muka berkurang, dan hubungan yang sebenarnya menjadi kurang bermakna dibandingkan dengan hubungan virtual yang superfisial.

Bisakah Kita Menghindari Kecanduan Digital?

Meskipun media sosial dirancang untuk menarik perhatian kita, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk menghindari kecanduan digital:

1. Tetapkan Batasan Waktu Penggunaan

Menggunakan fitur screen time atau aplikasi pengingat untuk membatasi waktu penggunaan media sosial dapat membantu mengurangi kebiasaan menggulir tanpa henti.

2. Matikan Notifikasi yang Tidak Perlu

Dengan menonaktifkan notifikasi yang tidak penting, kita dapat mengurangi dorongan untuk terus membuka aplikasi.

3. Praktikkan Digital Detox

Menetapkan hari tanpa media sosial atau menghindari penggunaan gawai sebelum tidur dapat membantu mengembalikan keseimbangan hidup digital.

4. Fokus pada Interaksi di Dunia Nyata

Mengalokasikan lebih banyak waktu untuk berbicara secara langsung dengan keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ketergantungan pada validasi digital.

Media sosial adalah alat yang luar biasa, tetapi juga dapat menjadi jebakan bagi otak kita melalui manipulasi sistem dopamin. Dengan memahami bagaimana platform ini dirancang untuk mempertahankan perhatian kita, kita dapat lebih sadar dalam mengelola penggunaannya. Meskipun teknologi terus berkembang, penting bagi kita untuk mengambil kendali atas kebiasaan digital agar tetap sehat secara mental dan emosional.

Referensi

1. Alter, A. (2017). Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked. Penguin Press.

2. Montag, C., & Diefenbach, S. (2018). Towards Homo Digitalis: Important Research Issues for Psychology and the Internet. International Journal of Environmental Research and Public Health.

3. Roberts, J. A., & David, M. E. (2019). The Social Media Addiction Scale: Theoretical Framework, Factorial Structure, and Psychometric Properties. Journal of Business Research.

4. Twenge, J. M. (2017). iGen: Why Today's Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood. Atria Books.

5. Zimbardo, P., & Coulombe, N. (2015). Man Interrupted: Why Young Men Are Struggling & What We Can Do About It. Conari Press.

 

Tag
Share