Tajib, Adik Gus Miftah: 'Kami Bukan Keturunan Kiai, Ayah Petani, Ibu Jualan Sayur

Tajib, Adik Gus Miftah 'Kami Bukan Keturunan Kiai, Ayah Petani, Ibu Jualan Sayur.--screnshoot dari web

radarmukomukobacakoran.com-Gus Miftah, sosok ulama karismatik yang terkenal dengan dakwah inklusif dan pendekatannya yang merangkul semua kalangan, ternyata memiliki kisah keluarga yang sederhana. Pernyataan Tajib, adik kandung Gus Miftah, bahwa mereka bukan berasal dari keluarga kiai melainkan dari keluarga petani dan pedagang sayur, telah mencuri perhatian publik. 

Gus Miftah, atau Miftah Maulana Habiburrahman, adalah seorang ulama asal Yogyakarta yang dikenal dengan gaya dakwahnya yang tidak biasa. Ia sering berdakwah di tempat-tempat yang jarang dikunjungi oleh ustaz pada umumnya, seperti diskotek, bar, dan tempat hiburan malam. Pendekatannya yang inklusif dan toleran terhadap semua golongan membuatnya disukai banyak kalangan, meskipun tidak lepas dari kritik.

BACA JUGA:Siapa Clara Shinta? Ini Alasan Namanya Dikaitkan dengan Gus Miftah

BACA JUGA:Pakar Mikroekspresi Ungkap Respons Emosional Prabowo Subianto terhadap Kasus Gus Miftah

Namun, banyak yang tidak mengetahui bahwa Gus Miftah berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Adiknya, Tajib, dalam sebuah wawancara mengungkapkan bahwa mereka bukan keturunan kiai seperti yang mungkin diasumsikan banyak orang. "Kami bukan keturunan kiai. Ayah kami seorang petani, dan ibu kami hanya seorang penjual sayur di pasar," ujar Tajib.

Pernyataan ini menjadi sorotan karena menantang persepsi umum tentang ulama besar yang sering diasosiasikan dengan garis keturunan kiai atau keluarga pesantren. Banyak masyarakat Indonesia yang masih beranggapan bahwa seseorang harus memiliki latar belakang keagamaan yang kuat sejak lahir untuk menjadi ulama terkemuka. Namun, kisah Gus Miftah membuktikan bahwa dedikasi, kerja keras, dan niat tulus bisa membawa seseorang mencapai puncak tanpa harus berasal dari garis keturunan tertentu.

Selain itu, pengakuan ini memberikan pelajaran penting bahwa kesederhanaan bukanlah penghalang untuk meraih mimpi besar. Justru dari kehidupan yang penuh tantangan, seseorang dapat belajar nilai-nilai kerja keras, empati, dan keberanian yang menjadi fondasi dalam kehidupan Gus Miftah.

Tajib menceritakan bahwa keluarga mereka hidup sederhana di desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Ayah mereka, seorang petani, bekerja keras di sawah setiap hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sementara itu, ibu mereka menjual sayur di pasar untuk menambah penghasilan. Kehidupan yang serba terbatas ini mengajarkan Gus Miftah dan saudara-saudaranya tentang pentingnya kerja keras dan kemandirian.

Gus Miftah sejak kecil sudah menunjukkan minat besar dalam agama. Ia sering belajar mengaji di surau kecil di desanya, meskipun tidak ada tradisi pesantren dalam keluarganya. Dari sanalah ia mulai mengenal ajaran Islam yang kemudian menjadi fondasi dalam perjalanan dakwahnya.

Kesederhanaan hidup keluarga Gus Miftah menjadi salah satu alasan mengapa ia bisa begitu dekat dengan berbagai kalangan, termasuk mereka yang sering dianggap "terpinggirkan" dalam masyarakat. Pengalaman hidup di tengah keterbatasan membuatnya memahami perjuangan orang-orang kecil. Hal ini tercermin dalam gaya dakwahnya yang tidak menghakimi, tetapi merangkul.

BACA JUGA:Kisah Haru Surhaji, Pedagang Es Teh Viral yang Diolok Gus Miftah: Sehari Hanya Raup Rp 10 Ribu

BACA JUGA:Usman Ali Salman: Sosok di Balik Tawa Saat Gus Miftah Hina Sunhaji Penjual Es The

Misalnya, ketika berdakwah di tempat hiburan malam, Gus Miftah tidak datang untuk mengkritik atau menyalahkan mereka yang bekerja di sana. Sebaliknya, ia membawa pesan Islam dengan cara yang penuh kasih sayang dan toleransi. Ia percaya bahwa setiap orang memiliki jalan untuk kembali kepada Tuhan, dan tugas seorang pendakwah adalah menunjukkan jalan itu, bukan menutupnya dengan vonis.

Pernyataan Tajib mendapatkan beragam respons dari masyarakat. Banyak yang memuji kejujuran keluarga Gus Miftah yang tidak mencoba menutupi latar belakang sederhana mereka. Hal ini dianggap sebagai bukti bahwa kesuksesan tidak selalu ditentukan oleh asal-usul, melainkan oleh usaha dan niat baik.

Namun, ada juga sebagian kecil yang mempertanyakan bagaimana seseorang tanpa latar belakang pesantren bisa menjadi ulama terkemuka. Bagi Gus Miftah dan keluarganya, hal ini bukanlah sesuatu yang perlu dibuktikan. Sebaliknya, perjalanan hidupnya adalah bukti nyata bahwa siapapun bisa menjadi agen perubahan, asalkan memiliki komitmen dan dedikasi.

Sebagai seorang tokoh publik, citra Gus Miftah tidak hanya dibentuk oleh kepribadiannya, tetapi juga oleh bagaimana masyarakat melihat latar belakangnya. Fakta bahwa ia berasal dari keluarga sederhana justru memperkuat citranya sebagai ulama yang merakyat. Ia tidak hanya bicara tentang Islam sebagai teori, tetapi juga menghidupkannya dalam tindakan sehari-hari.

Latar belakang sederhana ini juga membuat Gus Miftah lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan, termasuk mereka yang mungkin merasa teralienasi dari ajaran agama. Ia menjadi simbol bahwa Islam adalah agama yang inklusif, yang menerima semua orang tanpa memandang status sosial atau latar belakang.

Kisah Gus Miftah dan keluarganya adalah pengingat bahwa kesederhanaan tidak pernah menjadi hambatan untuk meraih mimpi besar. Sebaliknya, dari kehidupan yang penuh keterbatasan, seseorang dapat belajar nilai-nilai yang membentuk karakter kuat.

Selain itu, kisah ini juga mengajarkan bahwa menjadi pemimpin atau ulama tidak selalu membutuhkan garis keturunan tertentu. Yang lebih penting adalah dedikasi, ketulusan, dan kemampuan untuk memahami serta merangkul semua golongan.

Pernyataan Tajib, adik Gus Miftah, bahwa mereka bukan berasal dari keturunan kiai melainkan dari keluarga petani dan pedagang sayur, memberikan perspektif baru tentang bagaimana kesederhanaan hidup dapat membentuk karakter seseorang. Bagi Gus Miftah, latar belakang ini justru menjadi kekuatan yang membantunya mendekatkan diri kepada berbagai kalangan dalam dakwahnya.

Kisah ini bukan hanya inspirasi bagi mereka yang ingin mengejar mimpi, tetapi juga menjadi pengingat bahwa setiap orang, apa pun latar belakangnya, memiliki potensi untuk membawa perubahan positif di masyarakat.

Referensi

1. Kompas.com. (2023). "Kisah Tajib, Adik Gus Miftah: Kami Bukan Keturunan Kiai, Ayah Petani."

2. Tempo.co. (2023). "Gus Miftah dan Dakwahnya yang Merangkul Semua Kalangan."

3. Republika.co.id. (2023). "Kesederhanaan Gus Miftah: Dari Keluarga Petani hingga Ulama Nasional."

4. Detik.com. (2023). "Pernyataan Adik Gus Miftah Jadi Sorotan: Apa yang Bisa Kita Pelajari?"

5. CNNIndonesia.com. (2023). "Gus Miftah dan Perjalanan Dakwahnya di Tempat Hiburan Malam."

 

Tag
Share