Alasan Pasutri di Jepang Tidak Mau Memiliki Anak
Populasi Penduduk Jepang Terus Merosot Tahun 2024 Paling Rendah--screnshoot dari web
koranrm.id - Di berbagai sudut kota di Jepang, dari distrik sibuk Shinjuku hingga kota-kota kecil yang kian lengang, ada arus sunyi yang terus mengalir: semakin banyak pasangan memilih hidup tanpa anak.
Fenomena ini bukan sekadar angka statistik, tetapi cerminan dari perubahan sosial yang begitu mendalam, hingga para peneliti menyebutnya sebagai salah satu pergeseran demografis paling signifikan di abad modern.
Dalam percakapan yang terbungkus kejujuran, para pasangan muda Jepang menggambarkan ketakutan, tekanan hidup, dan nilai-nilai baru yang perlahan membentuk arah masa depan negeri tersebut.
Di Osaka, sebuah percakapan yang sederhana dengan pasangan muda bernama Haruka dan Shinji memberi gambaran dekat tentang kenyataan itu. Mereka telah tiga tahun menikah dan hidup di sebuah apartemen berukuran 35 meter persegi ukuran yang lazim untuk pasangan kelas menengah di kota besar.
Haruka, seorang staf administrasi di perusahaan farmasi, menceritakan bahwa tekanan pekerjaan yang panjang membuatnya sulit memikirkan kehidupan sebagai orang tua. “Jam kerja yang tidak menentu membuat saya bahkan kesulitan mengurus diri sendiri.
Saya tidak percaya saya bisa memberikan perhatian penuh pada seorang anak,” ujarnya, dengan nada yang menggambarkan kelelahan mental yang tidak terlihat namun terasa.
Di berbagai kota besar, jam kerja panjang memang menjadi salah satu akar persoalan. Budaya kerja Jepang sejak lama dikenal menuntut loyalitas tinggi, sering kali mengorbankan waktu pribadi.
Banyak pasangan menyebut kondisi ini sebagai alasan utama menunda atau bahkan menolak memiliki anak. Shinji menjelaskan bahwa pendapatan bulanan mereka hampir habis untuk biaya sewa apartemen dan kebutuhan dasar.
“Jika kami punya anak, biayanya meningkat tajam. Rasanya seperti mengejar sesuatu yang tidak bisa kami kejar,” tuturnya.
Dalam hitungan angka, alasan tersebut diperkuat oleh survei Kementerian Kesehatan Jepang yang menunjukkan peningkatan kekhawatiran ekonomi pada pasangan usia produktif. Biaya pendidikan yang tinggi sering menjadi momok terbesar.
Di Jepang, sekolah negeri memang tersedia, tetapi ekspektasi sosial untuk mengikutkan anak pada kursus tambahan dari bahasa asing hingga matematika intensif membuat biaya membesarkan anak menjadi sangat tinggi.
Pasangan seperti Haruka dan Shinji merasa pilihan hidup mereka semakin sempit di tengah tuntutan sosial yang tak kunjung memudar.
Di sisi lain, ada perubahan nilai yang tidak kalah penting. Banyak pasangan masa kini menganggap kebahagiaan pribadi sebagai prioritas, berbeda dengan generasi sebelumnya yang menekankan keluarga besar dan keturunan sebagai pilar hidup.
Emiko Sato, pakar demografi dari sebuah universitas di Tokyo, menjelaskan bahwa generasi muda Jepang tumbuh pada era modern yang memberikan ruang lebih besar bagi pencarian jati diri.
“Bagi sebagian pasangan, hidup tanpa anak bukan lagi sesuatu yang tabu. Mereka ingin merawat hubungan, mengejar karier, dan mengelola kesejahteraan mental tanpa beban tambahan,” ujarnya.
Fenomena ini semakin kuat di daerah perkotaan, namun bukan berarti daerah pedesaan terbebas dari tren serupa. Di Prefektur Akita, salah satu wilayah dengan penurunan populasi paling drastis, banyak pasangan mengaku kehilangan harapan karena minimnya fasilitas publik, peluang kerja terbatas, dan biaya hidup yang tidak sebanding dengan pendapatan.
Bahkan beberapa pasangan yang ingin memiliki anak menghadapi hambatan geografis dan ekonomi yang membuat keputusan tersebut terasa semakin sulit.
Tak hanya soal uang dan waktu, beban sosial juga memainkan peran besar. Perempuan Jepang masih sering dihadapkan pada ekspektasi untuk menjadi pengasuh utama dalam rumah tangga, terlepas dari karier profesional yang mereka bangun.
Ketidaksetaraan peran ini dirasa berat bagi banyak perempuan muda, terutama di tengah meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental dan keseimbangan hidup.
Haruka menuturkan hal yang juga disampaikan oleh banyak perempuan lain pada survei nasional: “Jika saya melahirkan, saya takut karier saya terhenti. Di kantor, tidak mudah mendapatkan cuti panjang atau fleksibilitas.”
Walau pemerintah Jepang telah meluncurkan berbagai program untuk mendorong angka kelahiran dari subsidi biaya perawatan anak hingga penyediaan fasilitas penitipan implementasinya belum dirasakan efektif secara luas.
Banyak pasangan mengatakan bantuan tersebut belum menyentuh kebutuhan dasar mereka, terutama dalam menghadapi realitas ekonomi yang terus berubah.
Di tengah dinamika itu, keputusan pasangan-pasangan muda di Jepang untuk tidak memiliki anak bukanlah sekadar penolakan terhadap konsep keluarga, melainkan bentuk adaptasi terhadap kondisi hidup yang mereka hadapi.
Pilihan itu lahir dari pertimbangan panjang: tekanan kerja, beban ekonomi, perubahan nilai, hingga ketimpangan peran gender.
Haruka dan Shinji, seperti jutaan pasangan lain di negeri sakura, memilih jalan yang menurut mereka paling realistis untuk menjaga kualitas hidup dan stabilitas emosional.
Fenomena ini memberi pesan penting tentang perubahan masyarakat global, bahwa pertumbuhan penduduk tidak hanya ditentukan oleh kebijakan negara, tetapi juga oleh cara individu memaknai hidup di tengah realitas modern.
Jepang menjadi salah satu cermin yang memperlihatkan pergeseran besar itu, dan kisah setiap pasangan menjadi bagian dari wacana yang terus berkembang.
Sumber berita:
• Shirakawa, T. (2022). Declining Fertility in Modern Japan: Socioeconomic Pressures and Shifting Values. Journal of Population Studies.
• Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang (MHLW). Laporan Demografi Tahunan 2023.
• Sato, E. (2021). Work Culture and Family Planning in Urban Japan. Tokyo Institute of Social Research.