Kelapa dan Sawit: Dua Komoditas, Dua Nasib Berbeda di Lahan yang Sama

Jarang diketahui Masyrakat, Ini Jenis Jenis Kelapa Sawit yang Jarang diketahui--istimewa

koranrm.id - Di  pelosok pesisir Sumatera, terutama di Kabupaten Mukomuko, hamparan pohon kelapa yang menjulang tinggi di tepi laut kini seakan menjadi saksi bisu perubahan nasib petani. Dulu, kelapa adalah raja buahnya dijual, sabutnya dimanfaatkan, bahkan tempurungnya bernilai. 

Namun kini, pohon-pohon tua itu berdiri dengan hasil yang kian mengecil, kalah pamor dari sawit yang kian mendominasi lahan-lahan subur di pedesaan. 

Pergeseran ini bukan sekadar soal pilihan komoditas, melainkan juga tentang arah ekonomi rakyat di tengah perubahan harga global.

Menurut data lapangan dari Dinas Perkebunan Mukomuko, satu hektare kebun kelapa hanya menghasilkan sekitar 6.000 butir kelapa per tahun, atau rata-rata 500 butir per bulan. 

Jika harga kelapa di tingkat petani saat ini berkisar Rp3.700 per butir, maka pendapatan kotor per bulan hanya mencapai Rp 1850.000. Setelah dikurangi biaya perawatan, tenaga panjat, dan ongkos angkut, keuntungan bersihnya bahkan tak sampai Rp1500.000. Angka ini membuat banyak petani berpikir ulang untuk bertahan dengan komoditas yang dulu menjadi kebanggaan daerah.

Sementara itu, kebun sawit memberikan gambaran yang sangat berbeda. Dalam lahan seluas satu hektare, tanaman sawit produktif mampu menghasilkan sekitar dua ton tandan buah segar (TBS) per bulan. 

Dengan harga jual yang kini berkisar Rp2.800 per kilogram di tingkat pabrik, petani dapat memperoleh pendapatan kotor sekitar Rp 5,6 juta. 

Setelah dipotong biaya pemeliharaan dan panen, hasil bersihnya masih di kisaran Rp4 juta hingga Rp4,5 juta per bulan. Angka ini enam kali lipat lebih tinggi dibandingkan hasil dari kebun kelapa pada luas lahan yang sama.

Perbandingan mencolok inilah yang membuat banyak petani beralih. “Kalau dulu satu hektare kelapa cukup untuk hidup, sekarang sudah tidak lagi. Harga kelapa turun, pembeli jarang, dan hasilnya kecil. 

Sementara sawit walau perlu modal awal besar, hasilnya jauh lebih pasti,” ujar Ahmad Nizar, seorang petani di Kecamatan Air Dikit yang telah menebang sebagian pohon kelapanya untuk ditanami sawit sejak 2018. 

Ia mengaku keputusan itu bukan tanpa berat hati, sebab kebun kelapa tersebut diwariskan dari ayahnya. Namun desakan ekonomi membuatnya tak punya pilihan lain.

Masalahnya tidak berhenti di situ. Pabrik pengolahan kelapa di banyak wilayah pesisir kini jarang beroperasi karena kekurangan pasokan bahan baku. 

Padahal, industri turunan kelapa seperti minyak kelapa murni (VCO), serabut kelapa, dan arang tempurung berpotensi besar untuk ekspor. Menurut Rudi, lemahnya jaringan industri pengolahan di daerah membuat rantai nilai kelapa berhenti di tingkat paling bawah, yakni buah mentah yang dijual murah kepada pengepul. 

“Petani kita tidak diuntungkan karena belum ada industri kuat yang menampung hasil olahan kelapa. Kalau hanya jual buah, jelas kalah dengan sawit,” ujarnya.

Namun, sebagian petani masih bertahan dengan pohon kelapanya, terutama di wilayah pesisir yang tanahnya kurang cocok untuk sawit. Mereka mencoba mencari nilai tambah dengan mengolah sendiri hasil panen. 

Salah satunya adalah Nuraini, warga Desa Pulai Payung, yang kini memproduksi minyak kelapa murni secara tradisional. Dari satu kuintal kelapa, ia dapat menghasilkan sekitar 20 liter minyak yang dijual Rp35.000 per liter. “Kalau dijual buahnya, dapatnya sedikit. Tapi kalau diolah jadi minyak, untungnya bisa dua kali lipat. Hanya saja butuh waktu dan tenaga,” tuturnya.

Kisah Nuraini menggambarkan bahwa masih ada ruang bagi kelapa untuk bangkit asal ada inovasi dan dukungan industri. Penguatan rantai pasok, pelatihan pengolahan, serta insentif bagi industri hilir bisa menjadi kunci agar kelapa kembali bernilai di pasar lokal dan ekspor. 

Pemerintah daerah kini mulai menggandeng beberapa koperasi untuk membentuk unit usaha berbasis olahan kelapa, seperti serabut kelapa untuk bahan jok mobil dan briket arang tempurung untuk pasar Timur Tengah.

Meski demikian, realitas di lapangan tetap menunjukkan bahwa sawit adalah pilihan ekonomi paling rasional bagi sebagian besar petani saat ini. Modal awal yang besar untuk menanam dan merawat sawit selama masa belum produktif sekitar tiga tahun dianggap sepadan dengan hasil jangka panjangnya. 

Petani seperti Ahmad menilai, sawit telah menjadi “tabungan hidup” bagi keluarganya, memberikan penghasilan stabil dan bisa menanggung biaya pendidikan anak-anaknya.

Perbandingan hasil jual antara kelapa dan sawit bukan sekadar soal angka, melainkan juga soal arah kebijakan pertanian yang berpihak pada nilai tambah lokal. Tanpa keberpihakan dan penguatan industri pengolahan, kelapa akan terus tertinggal, meski sejatinya komoditas ini memiliki potensi ekonomi dan keberlanjutan yang lebih baik dibandingkan sawit.

Kelapa dan sawit, dua komoditas yang sama-sama tumbuh di tanah subur tropis, kini berdiri di persimpangan nasib. Sawit melesat dengan nilai ekonomi tinggi, sementara kelapa masih berjuang menemukan bentuk baru agar tak sekadar menjadi nostalgia di ladang tua.

Sumber berita:

• Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Statistik Perkebunan Indonesia: Kelapa dan Kelapa Sawit.

• Rauf, A. et al. (2023). Comparative Analysis of Profitability Between Coconut and Palm Oil Farming Systems in Coastal Areas of Indonesia. Journal of Agribusiness and Rural Development, 45(2), 134–148.

• Dinas Pertanian Kabupaten Mukomuko. (2024). Laporan Tahunan Komoditas Perkebunan Rakyat.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan