Delema Menggunakan SIPD, Awalnya Dianggap Mulya Nyatanya Memangkas Kewenangan Otonomi

Ilustrasi--screenshot dari web.

koranrm.id - Di tengah semangat transparansi dan efisiensi pengelolaan keuangan publik, pemerintah pusat meluncurkan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD). 

Sistem digital ini dirancang untuk menstandarkan seluruh proses perencanaan, penganggaran, hingga pelaporan keuangan di tingkat daerah. 

Di atas kertas, tujuan utamanya tampak mulia: memperkuat akuntabilitas, mencegah kebocoran anggaran, dan memastikan setiap rupiah pembangunan tepat sasaran. 

Namun, di lapangan, SIPD menghadirkan dilema baru. Banyak pemerintah daerah merasa, sistem ini justru memangkas ruang gerak mereka dalam mengelola kewenangan otonomi.

Sejak diberlakukan secara nasional pada 2021, SIPD telah menjadi tulang punggung administrasi digital bagi seluruh provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia. 

Melalui regulasi Kementerian Dalam Negeri, setiap daerah wajib memasukkan data perencanaan dan penganggaran ke dalam sistem ini. Artinya, setiap usulan kegiatan, perubahan anggaran, hingga evaluasi hasil, semuanya harus melewati sistem berbasis pusat tersebut. 

Dari sinilah muncul perasaan bahwa otonomi daerah, yang semula memberi keleluasaan mengatur urusan sendiri, kini kian tersandera oleh kontrol digital.

Mantan Bupati Mukomuko, DR. Sapuan, pernah menyampaikan kegelisahan serupa saat diwawancarai oleh sejumlah media lokal pada  ahir  2024. 

Ia mengungkapkan bahwa penerapan SIPD kadang justru memperlambat proses penganggaran daerah. “Kami tidak menolak sistem digital. Tapi, ketika semua keputusan teknis harus menunggu validasi dari pusat, otonomi yang kami miliki seolah menjadi formalitas,” katanya. 

Ia menambahkan, beberapa kegiatan pembangunan yang sifatnya mendesak sering tertunda hanya karena sistem belum membuka akses penginputan.

Kondisi itu memperlihatkan tarik-menarik antara prinsip efisiensi pusat dan fleksibilitas daerah. Dalam konsep otonomi, daerah diberikan kewenangan luas untuk mengatur urusannya sendiri sesuai kebutuhan masyarakat lokal. 

Namun, SIPD dengan mekanisme kontrol berlapis membuat pemerintah daerah tidak bisa sepenuhnya menentukan arah kebijakan fiskalnya. Seperti disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Universitas Andalas, Dr. Rahmad Fitri, “SIPD adalah instrumen yang baik untuk mencegah penyimpangan, tapi di sisi lain, ia mengandung logika sentralisasi baru dalam bentuk digital. Otonomi menjadi nominal ketika data dan keputusan dikuasai oleh satu pintu di pusat.”

Dari sisi pemerintah pusat, argumentasi yang dibangun berbeda. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Mochamad Ardian, menjelaskan bahwa SIPD justru memperkuat tata kelola. 

Menurutnya, selama ini banyak daerah yang membuat perencanaan anggaran tidak sinkron antara satu sektor dengan lainnya. “Melalui SIPD, kita bisa memastikan semua daerah bergerak dalam kerangka pembangunan nasional.

Ini bukan soal mengurangi otonomi, tapi menertibkan data agar tidak tumpang tindih,” ujarnya dalam konferensi nasional keuangan daerah di Jakarta, Agustus 2025 lalu.

Namun, bagi sebagian daerah, kebijakan ini tetap terasa seperti pengawasan berlebihan. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tanah Datar, Nova Feriani, menyebutkan bahwa sistem sering kali tidak fleksibel terhadap dinamika lapangan. 

“Misalnya, ketika ada bencana lokal yang memerlukan penyesuaian anggaran cepat, kami tidak bisa langsung mengubah melalui SIPD. Harus menunggu izin atau pembukaan akses dari pusat. Dalam situasi darurat, prosedur itu sangat menghambat,” jelasnya.

Kritik tersebut menyoroti bagaimana sistem digital yang seharusnya mempercepat proses justru dapat menimbulkan keterlambatan akibat birokrasi baru dalam bentuk daring. SIPD memang menyediakan transparansi, tetapi sekaligus mempersempit ruang inovasi fiskal di tingkat lokal. 

Beberapa kepala daerah bahkan menilai, sistem ini membatasi improvisasi kebijakan yang selama ini menjadi kekuatan utama otonomi daerah.

Di sisi lain, ada pula pandangan yang lebih moderat. Ekonom dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (BRIN), Dr. Lia Ambarwati, berpendapat bahwa perdebatan ini bukan tentang siapa yang berkuasa, melainkan tentang bagaimana memastikan keseimbangan antara kontrol pusat dan kreativitas daerah. 

“Otonomi tidak boleh dimaknai sebagai kebebasan tanpa pengawasan. Namun, sistem juga harus memberi ruang adaptif bagi daerah agar mampu merespons kebutuhan masyarakat secara cepat,” katanya. 

Ia menilai, revisi kebijakan teknis SIPD diperlukan agar sistem lebih kontekstual dengan karakter tiap wilayah.

Digitalisasi pemerintahan memang tidak terhindarkan. Tetapi, dalam konteks negara kepulauan dengan beragam karakter daerah, penerapan sistem terpusat selalu menuntut kehati-hatian. 

Jika tidak diimbangi dengan mekanisme konsultasi dua arah, maka digitalisasi akan berubah menjadi bentuk baru sentralisasi yang membungkus diri dengan jargon efisiensi. Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi motor inovasi bisa kehilangan daya geraknya karena harus menunggu restu sistem.

Dalam perjalanan menuju Pemilu 2029, isu ini kian relevan. Sebab, di tangan para pemimpin daerah lah sebenarnya letak kekuatan pembangunan Indonesia. 

SIPD semestinya menjadi jembatan, bukan sekat. Sistem yang baik bukan hanya mengatur, tetapi juga memampukan. Maka, evaluasi terhadap SIPD menjadi bagian penting dari upaya menjaga martabat otonomi daerah yang telah diperjuangkan sejak reformasi.

Sumber Berita:

• Kementerian Dalam Negeri RI. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 70 Tahun 2019 tentang SIPD.

• Rahmad Fitri. SIPD dan Arah Baru Sentralisasi Fiskal. Jurnal Kebijakan Publik Universitas Andalas, Vol. 5 No. 2, 2024.

• Lia Ambarwati. Digitalisasi Pemerintahan dan Tantangan Otonomi Daerah. LIPI Press, 2023.

• Bappenas RI. Evaluasi Penerapan SIPD 2021–2024. Laporan Resmi, 2024.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan