"WWIII Jadi Bahan Meme: Saat Gen Z Menghadapi Krisis Global dengan Humor"
"WWIII Jadi Bahan Meme: Saat Gen Z Menghadapi Krisis Global dengan Humor"--screenshot dari web.
-Radarmukomukobacakoran.com - Di tengah bayang-bayang krisis geopolitik yang kian memanas, generasi Z tak hanya menyimak kabar perang lewat media arus utama, tetapi juga mengubahnya menjadi bahan meme. Isu-isu serius seputar Perang Dunia Ketiga yang mungkin menghantui generasi-generasi sebelumnya, justru dijadikan ajang eksplorasi humor gelap dan satire online oleh Gen Z. Meme seputar wajib militer, skenario kiamat, hingga komedi tentang teknologi militer kini menyebar luas di TikTok, Instagram, dan X, mencerminkan cara baru generasi ini menghadapi realitas dunia yang semakin tak pasti.
Fenomena ini bukan sekadar kelucuan sesaat, tapi bentuk respons sosial dan psikologis atas ketidakberdayaan kolektif terhadap krisis global. Generasi Z, yang tumbuh di tengah ketidakpastian—mulai dari pandemi, krisis iklim, inflasi, hingga perang digital—mengembangkan mekanisme pertahanan diri lewat humor dan ironi. Meme menjadi bahasa universal yang menyatukan ketegangan menjadi tawa, ketakutan menjadi keterhubungan, dan rasa tidak aman menjadi bentuk solidaritas lintas negara.
Salah satu gelombang meme terbesar muncul ketika konflik geopolitik antara negara besar memunculkan kata kunci seperti "WWIII", "draft", atau "nuclear war" dalam tren pencarian global. Alih-alih panik, TikTok dipenuhi video parodi reaksi Gen Z saat dipanggil militer, menggunakan sound viral, atau menari sambil menyimulasikan serangan udara. Reaksi itu mungkin tampak absurd bagi generasi sebelumnya, tetapi di mata Gen Z, ini adalah cara paling masuk akal untuk menertawakan absurditas dunia yang mereka warisi.
Sociologist dan pakar budaya digital mencatat bahwa penggunaan meme dalam menghadapi isu global adalah bentuk digital coping mechanism. Dalam jurnal New Media & Society (2024), dijelaskan bahwa humor digital yang digunakan Gen Z dalam konteks krisis menciptakan ruang aman secara emosional dan kolektif. Mereka tidak menertawakan penderitaan, tetapi menertawakan sistem, absurditas kebijakan, dan narasi dominan yang terlalu serius namun tak memberi solusi.
BACA JUGA:Cegah Penyalahgunaan Narkoba, Camat Penarik Gelar Sosialisasi untuk Pelajar
Tren ini juga menjadi bentuk kritik terhadap media tradisional dan politik global. Gen Z menyadari bahwa narasi besar seperti “diplomasi perang”, “perimbangan kekuatan militer”, atau “perdagangan senjata” seringkali melupakan dampak nyata pada manusia biasa. Maka mereka mengambil alih narasi itu melalui meme, menjadikannya absurd agar bisa dicerna. Meme bukan lagi sekadar hiburan, tetapi bentuk citizen commentary.
Platform digital pun turut mempercepat penyebaran fenomena ini. Twitter (X) menjadi medan utama diskusi satiris, sementara Reddit dan Discord berperan sebagai tempat kompilasi meme perang. TikTok menambahkan lapisan visual dan musik yang membuat narasi krisis menjadi lebih pop dan ironis. Bahkan, AI generatif seperti DALL·E atau Midjourney kini digunakan untuk membuat ilustrasi “tentara Gen Z” yang mengenakan outfit e-girl atau membawa laptop di medan perang—sindiran sekaligus ekspresi kreatif khas era digital.
Namun, respons ini juga menuai kritik. Sebagian kalangan menilai bahwa penggunaan meme dalam konteks konflik bersenjata berpotensi menormalkan kekerasan atau mengabaikan penderitaan nyata. Tapi Gen Z membalas dengan narasi bahwa melawan lewat tawa lebih jujur daripada sekadar diam atau berpura-pura tidak peduli. Dalam perspektif mereka, empati bisa berjalan beriringan dengan satir, dan kesadaran politik tidak selalu harus dikemas dalam bentuk serius atau formal.
Fenomena ini menggeser cara kita memahami komunikasi di era krisis. Jika generasi sebelumnya berfokus pada analisis akademik dan forum formal, Gen Z menggunakan meme sebagai kanal cepat, massal, dan emosional untuk menyampaikan opini, ketakutan, dan harapan. Bahkan pemerintah dan lembaga militer mulai memperhatikan tren ini—beberapa di antaranya menggunakan pendekatan meme untuk kampanye, meski sering kali berakhir canggung karena tidak otentik.
Respons global juga menunjukkan hal serupa. Meme tentang Perang Dunia III bukan hanya muncul di Amerika atau Eropa, tetapi juga di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Di Indonesia, netizen ramai membuat konten lucu tentang wajib militer yang membandingkan karakteristik “anak kos vs tentara”, “game online vs real war”, hingga narasi “makin mending disuruh KKN daripada perang”. Unggahan semacam ini viral karena mencerminkan kecemasan kolektif yang dibungkus dengan budaya lokal.
Ke depan, tren ini tidak akan berhenti. Justru akan menjadi bagian dari budaya digital baru—di mana setiap krisis akan mendapat “balasan” dalam bentuk meme. Gen Z membentuk identitas mereka bukan dari pengaruh politikus atau jurnalis senior, tetapi dari viralitas, kreativitas, dan bagaimana mereka bisa menemukan makna dalam kekacauan. Di dunia yang kerap terasa di luar kendali, tawa menjadi salah satu hal terakhir yang masih bisa mereka pegang.
Dan mungkin, dalam sejarah yang mencatat trauma global lewat berita dan dokumen resmi, generasi ini akan meninggalkan jejaknya lewat kompilasi meme—bukan sebagai pengabaian, tetapi sebagai bukti bahwa mereka memilih untuk tetap waras, kreatif, dan bersuara... meski dengan cara yang tak biasa.
Referensi:
New Media & Society (2024). “Meme-ing the Apocalypse: Digital Coping Among Gen Z.”
Pew Research (2024). “How Gen Z Uses Humor to Navigate Global Uncertainty.”
The Atlantic (2025). “WWIII TikToks: Humor, Trauma, and Digital Expression.”
Vox Media (2025). “Satire as Survival: Why Gen Z Memes the News.”
Kompas Tekno (2025). “Meme Perang Dunia dan Generasi Z: Humor sebagai Tanggapan Serius.”