Demam Berdarah di Tengah Kota Mengapa Perumahan Modern Juga Rentan

Demam Berdarah di Tengah Kota Mengapa Perumahan Modern Juga Rentan.--screnshoot dari web

KORANRM.ID - Di tengah kemajuan infrastruktur dan arsitektur perumahan modern yang semakin berkembang di kota-kota besar, ancaman Demam Berdarah Dengue (DBD) ternyata tidak serta-merta menghilang. Justru, sejumlah kawasan hunian elit dan perumahan bertingkat tinggi kini menjadi lokasi yang tak kalah rawan dari kawasan padat penduduk atau permukiman kumuh. Hal ini mengejutkan banyak orang karena asumsi umum menyatakan bahwa lingkungan bersih dan tertata rapi identik dengan risiko kesehatan yang lebih rendah. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa nyamuk Aedes aegypti, sebagai vektor utama DBD, tidak memandang jenis lingkungan tempat berkembang biak. Bahkan, perumahan modern sering kali justru menyediakan banyak titik rawan genangan air tersembunyi, seperti pot tanaman hias, talang air tersumbat, kolam hias, atau bahkan tempat penampungan air yang tidak tertutup dengan baik. Ditambah dengan kepadatan hunian, sirkulasi udara yang minim, serta pola aktivitas penghuni yang lebih banyak berada di dalam ruangan, lingkungan semacam ini justru menjadi ekosistem ideal bagi nyamuk pembawa virus dengue berkembang biak secara tidak terdeteksi.

BACA JUGA:10 Kesalahan Makeup yang Bikin Riasanmu Cepat Luntur dan Kusam

BACA JUGA:Gigit Kuku Kebiasaan Kecil, Bahaya Besar bagi Kesehatan Anak

Banyak penghuni perumahan modern mengandalkan sistem kebersihan otomatis atau petugas kebersihan umum untuk menjaga lingkungan mereka. Meski terlihat bersih di permukaan, risiko berkembangnya jentik nyamuk tetap tinggi jika kesadaran individual tidak dibarengi dengan pemeriksaan berkala terhadap potensi tempat berkembang biak nyamuk. Dalam rumah bertingkat misalnya, area seperti balkon, rak pot yang jarang digunakan, atau bahkan air di dispenser dan akuarium bisa menjadi sarang sempurna bagi nyamuk untuk bertelur. Ironisnya, kenyamanan dan kemewahan fasilitas ini justru menimbulkan rasa aman palsu yang membuat penghuninya lengah. Berbeda dengan lingkungan padat yang mungkin lebih rutin dijadikan sasaran fogging atau pengasapan nyamuk oleh pemerintah, perumahan elit sering kali luput dari perhatian karena tidak termasuk dalam kategori wilayah rawan secara administratif. Alhasil, DBD tetap mengintai secara diam-diam di balik pagar tinggi dan dinding mewah rumah-rumah urban masa kini.

BACA JUGA:Dampak Efesiensi Anggaran, Pelayanan Adminduk di Ipuh Ditutup Peralatan Ditarik

Selain faktor lingkungan fisik, gaya hidup masyarakat perkotaan turut berkontribusi terhadap meningkatnya risiko penyebaran DBD di kawasan perumahan modern. Banyak keluarga yang hanya pulang malam atau bahkan tinggal hanya di akhir pekan, membuat pengawasan terhadap potensi genangan air atau sarang nyamuk menjadi minim. Sementara itu, para pekerja rumah tangga yang mungkin tinggal di rumah sepanjang hari belum tentu memiliki pemahaman yang cukup tentang pentingnya program 3M Plus. Edukasi seputar DBD pun sering kali tidak menyasar kelompok ini secara langsung, padahal mereka memiliki peran penting dalam mencegah penyakit tersebut melalui rutinitas kebersihan harian. Kurangnya pelibatan komunitas warga dalam gerakan bersama melawan DBD di perumahan elit menjadi tantangan tersendiri, terutama karena kecenderungan individualisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan komunitas di permukiman padat. Untuk itu, diperlukan strategi pendekatan yang lebih personal dan berbasis komunitas agar kesadaran kolektif dapat terbentuk tanpa harus menunggu munculnya kasus di lingkungan sekitar sebagai pemicu tindakan.

Lebih lanjut, penyebaran DBD di kota juga dipengaruhi oleh mobilitas tinggi penduduk yang setiap harinya berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Nyamuk Aedes aegypti dikenal sebagai jenis nyamuk yang aktif menggigit pada pagi dan sore hari—waktu yang sering kali dilewatkan penghuni rumah dalam perjalanan menuju tempat kerja atau sekolah. Hal ini berarti, potensi penularan tidak hanya terbatas di dalam rumah, tetapi juga dalam ruang-ruang publik tertutup seperti kantor, sekolah, hingga pusat perbelanjaan. Satu orang yang terinfeksi virus dengue di luar lingkungan perumahan, kemudian kembali ke rumah dan digigit nyamuk lokal, bisa memicu siklus penyebaran baru dalam radius yang sangat dekat. Maka, perumahan modern pun tidak dapat merasa aman hanya karena lingkungannya terlihat bersih atau memiliki pengelolaan gedung yang baik. Pencegahan tetap harus dilakukan secara aktif oleh setiap individu dan keluarga, dengan memantau kondisi rumah secara berkala, memastikan tidak ada air menggenang, serta mendukung gerakan pemberantasan sarang nyamuk secara kolektif.

BACA JUGA:Persiapan Halalbihalal, Pemerintah Kecamatan Lubuk Pinang Goro Bersihkan Area Kantor

BACA JUGA:Tak Semua Makanan Buruk Harus di Hindari, 6 Jenis Makanan Buruk Bisa Hempas Lemak di Perut

Dengan tingginya ancaman yang tersembunyi di balik hunian modern, penting bagi masyarakat perkotaan untuk menyadari bahwa kenyamanan tempat tinggal tidak menjamin kekebalan dari risiko penyakit menular seperti DBD. Pemerintah, pengelola perumahan, hingga komunitas penghuni harus bekerja sama membangun kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Edukasi berkala mengenai pentingnya pencegahan DBD, pelatihan bagi petugas kebersihan, serta integrasi program kesehatan dalam kegiatan warga adalah beberapa langkah konkret yang dapat diambil. Terlebih di tengah perubahan iklim dan pola hujan yang tidak menentu, DBD dapat menyerang kapan saja jika tidak diantisipasi sejak dini. Menjadikan perumahan modern sebagai zona aman dari DBD bukanlah hal mustahil, namun membutuhkan kerja sama lintas sektor yang saling mendukung. Keamanan lingkungan dari DBD harus menjadi bagian dari gaya hidup urban yang sehat dan berkesadaran tinggi.

BACA JUGA:Ethiopia: Negara Paling Kekurangan Air

Referensi:

• Kementerian Kesehatan RI. (2024). Peta Sebaran DBD dan Strategi Pencegahan di Wilayah Perkotaan.

• WHO. (2023). Urbanization and Dengue: The Challenge of Modern Environments.

• Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI). (2023). Faktor Risiko DBD di Permukiman Modern.

• Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2022). Evaluasi Efektivitas Program 3M Plus di Kawasan Perumahan Elit.

• UNICEF Indonesia. (2023). Peran Edukasi Berbasis Komunitas dalam Pencegahan DBD.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan