Fenomena Lazy Girl Job Apakah Generasi Muda Menolak Hustle Culture

Fenomena Lazy Girl Job Apakah Generasi Muda Menolak Hustle Culture--screnshoot dari web

KORANRM.ID - Dalam beberapa tahun terakhir, istilah Lazy Girl Job semakin populer di media sosial, khususnya di kalangan pekerja muda yang mencari keseimbangan hidup yang lebih baik. Tren ini merujuk pada pekerjaan yang memiliki tingkat stres rendah, jam kerja fleksibel, dan tidak menuntut lembur berlebihan, tetapi tetap memberikan penghasilan layak. Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap hustle culture, budaya kerja keras tanpa henti yang mendominasi generasi sebelumnya. Dengan semakin banyaknya anak muda yang lebih mengutamakan kesehatan mental dan keseimbangan hidup dibandingkan ambisi karier yang menguras energi, pertanyaannya adalah: Apakah tren Lazy Girl Job menandai pergeseran besar dalam cara kita memandang dunia kerja?

BACA JUGA:Teknologi Pengendali Cuaca Bisakah Kita Mencegah Bencana Alam

BACA JUGA:Teknologi Anti-Usia Apakah Kita Menuju Era Manusia yang Tidak Menua

Istilah Lazy Girl Job pertama kali dipopulerkan oleh Gabrielle Judge, seorang kreator konten yang menyuarakan perlunya pekerjaan yang lebih manusiawi. Dalam konsep ini, pekerjaan ideal adalah yang memberikan pendapatan stabil tanpa tuntutan kerja berlebihan. Pekerjaan semacam ini sering kali berupa posisi administratif, remote work, atau peran berbasis teknologi yang memungkinkan seseorang bekerja dari rumah dengan tekanan yang lebih minim.

Berlawanan dengan namanya, Lazy Girl Job bukan berarti pekerja menjadi malas atau tidak produktif. Sebaliknya, tren ini mencerminkan keinginan untuk bekerja secara efisien tanpa harus mengorbankan kesehatan mental dan kehidupan pribadi. Ini merupakan bentuk perlawanan terhadap hustle culture, di mana seseorang harus bekerja ekstra keras, sering lembur, dan selalu terhubung dengan pekerjaan demi mencapai kesuksesan finansial atau karier yang lebih tinggi.

Generasi muda, terutama Gen Z dan Millennials, telah menyaksikan bagaimana hustle culture berdampak buruk pada generasi sebelumnya. Banyak orang tua mereka mengalami kelelahan ekstrem (burnout), stres kronis, hingga gangguan kesehatan akibat jam kerja yang panjang. Selain itu, pandemi COVID-19 mengubah cara pandang terhadap dunia kerja. Ketika banyak perusahaan beralih ke sistem kerja dari rumah (work from home), banyak pekerja menyadari bahwa mereka bisa lebih produktif tanpa harus menghabiskan waktu dan energi untuk perjalanan ke kantor atau bekerja hingga larut malam.

Selain itu, meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental juga berkontribusi terhadap pergeseran ini. Studi menunjukkan bahwa Gen Z lebih rentan terhadap kecemasan dan depresi dibandingkan generasi sebelumnya, dan mereka lebih peduli terhadap keseimbangan kehidupan kerja. Menurut survei Deloitte tahun 2023, 77% Gen Z mengutamakan kesejahteraan mental dalam memilih pekerjaan, bahkan jika itu berarti mereka harus mengorbankan gaji yang lebih tinggi.

BACA JUGA:Teknologi Regenerasi Bisakah Kita Memperbaiki Organ Tubuh Layaknya Cicak

Fenomena Lazy Girl Job membawa dampak besar bagi dunia kerja dan perusahaan. Banyak perusahaan kini menghadapi tantangan dalam merekrut dan mempertahankan talenta muda karena mereka tidak lagi tertarik dengan lingkungan kerja yang kompetitif dan penuh tekanan. Akibatnya, beberapa perusahaan mulai menawarkan lebih banyak fleksibilitas, seperti opsi kerja jarak jauh, jam kerja yang lebih pendek, dan kebijakan kesejahteraan karyawan yang lebih baik.

Namun, tren ini juga memicu kritik. Beberapa orang berpendapat bahwa mentalitas Lazy Girl Job dapat menghambat inovasi dan pertumbuhan karier. Dalam banyak industri, kemajuan karier masih bergantung pada dedikasi dan jam kerja ekstra. Jika terlalu banyak orang menghindari tantangan dan hanya mencari pekerjaan yang nyaman, ada kekhawatiran bahwa ini bisa berdampak pada produktivitas dan daya saing ekonomi dalam jangka panjang.

BACA JUGA:Teknologi Holografik Apakah Kita Akan Segera Memiliki Panggilan Video 3D

Selain itu, ada anggapan bahwa Lazy Girl Job hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki privilese, seperti mereka yang bekerja di industri digital atau posisi yang memungkinkan kerja jarak jauh. Sementara itu, pekerja di sektor jasa, kesehatan, dan manufaktur masih menghadapi tuntutan kerja yang berat tanpa fleksibilitas yang sama.

Meskipun Lazy Girl Job saat ini menjadi tren, pertanyaannya adalah apakah fenomena ini akan bertahan dalam jangka panjang. Beberapa ahli percaya bahwa tren ini hanyalah bagian dari pergeseran budaya yang lebih besar menuju keseimbangan hidup yang lebih sehat. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan otomatisasi, pekerjaan yang membutuhkan jam kerja panjang dan tenaga fisik mungkin akan semakin berkurang, memberi ruang bagi model kerja yang lebih fleksibel dan berfokus pada hasil ketimbang jam kerja.

BACA JUGA:Teknologi Telepati Digital Bisakah Kita Berkomunikasi Tanpa Suara

Namun, penting untuk menemukan keseimbangan antara menolak hustle culture dan tetap memiliki etos kerja yang baik. Generasi muda mungkin tidak lagi tertarik dengan budaya kerja yang mengorbankan kesehatan dan kehidupan pribadi, tetapi tetap diperlukan dedikasi dan keterampilan untuk berkembang di dunia kerja yang kompetitif.

Pada akhirnya, fenomena Lazy Girl Job adalah cerminan dari perubahan nilai dalam masyarakat modern. Generasi muda tidak menolak kerja keras, tetapi mereka menolak eksploitasi. Mereka mencari cara baru untuk tetap produktif tanpa harus kehilangan aspek penting dari kehidupan mereka, seperti waktu bersama keluarga, kesehatan mental, dan kebebasan pribadi. Jika perusahaan ingin tetap relevan dan menarik bagi tenaga kerja masa depan, mereka harus mulai beradaptasi dengan perubahan ini dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi.

Referensi

• Judge, G. (2023). Lazy Girl Job and the Future of Work-Life Balance. Medium.

• Deloitte (2023). Gen Z and Millennials: Shaping the Future of Work. Deloitte Insights.

• Grant, A. (2022). Work-life balance in the digital era: Trends and predictions. Harvard Business Review.

• Anderson, M. (2021). The Psychological Impact of Hustle Culture on Young Workers. Journal of Workplace Psychology.

 

Tag
Share