Generasi Burnout Mengapa Anak Muda Mudah Lelah Secara Mental
Generasi Burnout Mengapa Anak Muda Mudah Lelah Secara Mental--screnshoot dari web
KORANRM.ID - Di era modern yang penuh dengan tuntutan, banyak anak muda mengalami fenomena yang dikenal sebagai "generasi burnout." Burnout bukan sekadar kelelahan biasa, tetapi kondisi mental dan emosional yang disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, ekspektasi yang tinggi, serta kurangnya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan atau pendidikan. Fenomena ini semakin marak terjadi di kalangan generasi muda, khususnya mereka yang lahir di era digital, di mana produktivitas sering kali dikaitkan dengan nilai diri seseorang. Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan anak muda lebih rentan mengalami burnout?
BACA JUGA:AI dalam Dunia Perfilman Apakah Aktor Digital Akan Menggantikan yang Nyata
BACA JUGA:Teknologi Digital yang Sering Digunakan dalam Penelitian Satwa Liar
Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap burnout adalah tekanan sosial dan ekonomi. Anak muda saat ini menghadapi persaingan yang ketat di dunia kerja, ekspektasi tinggi dari keluarga, serta tuntutan untuk selalu produktif. Media sosial juga memainkan peran besar dalam membentuk standar kesuksesan yang tidak realistis, di mana banyak orang merasa harus selalu tampil sempurna dan mencapai banyak hal dalam waktu singkat. Selain itu, budaya kerja yang menuntut jam kerja panjang tanpa adanya keseimbangan kehidupan pribadi turut memperburuk kondisi ini.
Faktor lainnya adalah ketidakpastian ekonomi yang membuat banyak anak muda merasa cemas akan masa depan mereka. Biaya hidup yang terus meningkat, persaingan di dunia kerja, serta ketidakpastian terhadap stabilitas finansial menciptakan tekanan tambahan yang semakin memperburuk tingkat stres. Kondisi ini diperparah dengan gaya hidup yang kurang sehat, seperti kurang tidur, pola makan tidak teratur, dan minimnya aktivitas fisik yang dapat membantu mengelola stres.
Burnout bukan hanya sekadar rasa lelah, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental secara keseluruhan. Gejala umum dari burnout meliputi kelelahan emosional, kurangnya motivasi, serta perasaan sinis atau negatif terhadap pekerjaan dan kehidupan. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menyebabkan gangguan kecemasan, depresi, serta masalah kesehatan fisik seperti tekanan darah tinggi dan gangguan tidur.
BACA JUGA:Hubungan Harmonis dengan Sikap Lowkey di Era Modern jauh Lebih Membahagiakan
Penelitian menunjukkan bahwa individu yang mengalami burnout cenderung memiliki tingkat kortisol yang lebih tinggi, yaitu hormon stres yang dapat berdampak buruk pada tubuh jika terus meningkat dalam jangka panjang. Ketidakseimbangan ini membuat seseorang lebih rentan terhadap penyakit kronis dan menurunkan sistem kekebalan tubuh.
Untuk mengatasi burnout, penting bagi anak muda untuk mulai mengelola waktu dan energi mereka dengan lebih baik. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menetapkan batasan yang jelas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Mengambil waktu istirahat yang cukup, berolahraga, serta mengurangi penggunaan media sosial dapat membantu mengurangi tingkat stres.
Selain itu, mencari dukungan sosial juga sangat penting. Berbagi cerita dan pengalaman dengan teman atau keluarga dapat membantu seseorang merasa lebih didengar dan mendapatkan perspektif baru dalam menghadapi tekanan hidup. Jika burnout sudah mencapai tingkat yang mengganggu kehidupan sehari-hari, mencari bantuan profesional seperti psikolog atau konselor adalah langkah yang tepat untuk mendapatkan strategi coping yang lebih efektif.
Burnout di kalangan anak muda bukanlah fenomena yang bisa diabaikan. Tekanan sosial, tuntutan ekonomi, serta gaya hidup yang tidak seimbang menjadi penyebab utama mengapa generasi muda lebih rentan mengalami kelelahan mental. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk lebih sadar akan batasan mereka sendiri dan tidak terjebak dalam pola hidup yang hanya berfokus pada produktivitas tanpa memperhatikan kesehatan mental. Dengan mengadopsi kebiasaan hidup yang lebih seimbang, burnout dapat dicegah dan anak muda dapat menjalani hidup yang lebih sehat serta lebih bermakna.
BACA JUGA:Bermain 5 Game, Rekor Red Sparks Dihentikan Pink Spiders
Referensi
• Maslach, C., & Leiter, M. P. (2016). Burnout: The Cost of Caring. Cambridge: Cambridge University Press.
• Schaufeli, W. B., & Bakker, A. B. (2004). Job demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: A multi‐sample study. Journal of Organizational Behavior, 25(3), 293-315.
• World Health Organization. (2019). Burn-out an "occupational phenomenon": International Classification of Diseases.