Menimbang Ulang Syarat Calon Anggota DPR 2029, Berikut Pertimbangannya

Senin 06 Oct 2025 - 17:05 WIB
Reporter : Ahmad Kartubi
Editor : Ahmad Kartubi

koranrm.id - Gelombang diskusi mengenai kualitas wakil rakyat kembali menghangat menjelang Pemilu 2029. 

Di berbagai ruang publik, wacana menaikkan syarat pendidikan minimal bagi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai mencuat. 

Bukan semata-mata karena tuntutan elitis, melainkan karena semakin banyak kalangan menilai, pendidikan memiliki peran penting dalam menentukan mutu kebijakan dan arah pembangunan bangsa.

Syarat pendidikan bagi calon anggota legislatif selama ini diatur cukup longgar. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, syarat minimal untuk menjadi calon anggota DPR adalah lulusan Sekolah Menengah Atas atau yang sederajat. 

Artinya, seseorang dengan ijazah SMA sudah bisa mencalonkan diri untuk menduduki kursi strategis di parlemen yang menentukan masa depan hukum, anggaran, dan kebijakan negara. 

Namun, memasuki periode 2029, banyak pengamat menilai ketentuan ini perlu dikaji ulang agar sejalan dengan kompleksitas tantangan zaman.

Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, standar pendidikan bukan sekadar soal gelar, melainkan cerminan kesiapan intelektual untuk mengelola mandat publik. 

“Politik yang sehat membutuhkan aktor yang memahami konteks kebangsaan secara mendalam, memiliki kemampuan analisis, serta peka terhadap data dan ilmu. 

Itu semua sulit dicapai tanpa fondasi pendidikan yang memadai,” ujarnya dalam sebuah diskusi publik di Yogyakarta, awal Oktober 2025.

Pernyataan tersebut merefleksikan keresahan yang sama di masyarakat. Dalam survei nasional yang dilakukan Lembaga Indikator Politik pada September 2025, sebanyak 67 persen responden menyatakan setuju jika syarat minimal pendidikan bagi anggota DPR dinaikkan ke jenjang sarjana (S1). 

Alasan yang paling dominan: agar legislator mampu memahami substansi kebijakan dan tidak mudah terjebak dalam retorika politik semata.

Meski begitu, wacana ini tidak lepas dari kontroversi. Sebagian kalangan menilai, menaikkan syarat pendidikan justru berpotensi menutup kesempatan bagi masyarakat dari daerah terpencil yang mungkin tidak memiliki akses pendidikan tinggi. 

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengingatkan bahwa demokrasi harus tetap inklusif. “Kita tidak boleh membuat aturan yang meminggirkan rakyat kecil. 

Prinsip keterwakilan harus tetap dijaga, karena DPR bukan sekadar tempat orang pintar, tapi tempat semua lapisan masyarakat berjuang untuk kepentingan bangsa,” katanya di Jakarta.

Namun, argumen ini pun mendapat tanggapan berbeda dari kalangan akademisi. Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Nurhayati Rahman, inklusivitas tidak harus diartikan sebagai permisivitas terhadap standar kualitas. 

“Rakyat kecil pun berhak mendapatkan wakil yang cerdas, berintegritas, dan berwawasan luas. Keterwakilan tidak akan kehilangan makna jika diiringi dengan tanggung jawab intelektual,” ujarnya. 

Ia menambahkan, pendidikan tinggi tidak menjamin moralitas, tetapi memberi kemampuan berpikir sistematis yang sangat dibutuhkan dalam penyusunan regulasi.

Di sisi lain, beberapa partai politik mulai menyiapkan langkah adaptif. Sekretaris Jenderal salah satu partai besar, Andi Prasetyo, menyebutkan bahwa partainya tengah mendorong kaderisasi berbasis kampus. “Kami sadar, ke depan anggota DPR akan berhadapan dengan isu-isu yang semakin teknis, mulai dari transformasi digital, perubahan iklim, sampai kebijakan ekonomi global. 

Maka, kemampuan literasi dan nalar ilmiah menjadi kebutuhan utama,” ujarnya. Program pelatihan politik berbasis akademik kini mulai diterapkan di sejumlah daerah untuk mencetak calon legislator muda yang berpendidikan tinggi namun tetap berakar pada masyarakat.

Pandangan serupa datang dari aktivis muda, Sinta Marwan, yang menilai perubahan syarat pendidikan akan mendorong regenerasi politik yang lebih berkualitas. Ia menyebut, politik seharusnya menjadi ruang pengabdian, bukan pelarian bagi mereka yang gagal di bidang lain. 

“Kalau DPR diisi oleh orang-orang yang paham substansi kebijakan, maka setiap undang-undang yang lahir akan lebih rasional dan berpihak pada kepentingan rakyat,” katanya.

Meski ide peningkatan syarat pendidikan terdengar progresif, implementasinya membutuhkan kajian mendalam. 

Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan aspek transisi agar tidak menimbulkan kesenjangan politik antara daerah dengan akses pendidikan tinggi dan daerah yang masih tertinggal. 

Pendekatan bertahap bisa menjadi jalan tengah misalnya dengan menetapkan target waktu tertentu, disertai peningkatan akses beasiswa politik dan pendidikan bagi calon pemimpin daerah.

Sosiolog politik dari Universitas Airlangga, Prof. M. Yudi Latif, menegaskan bahwa pendidikan adalah jantung peradaban politik. 

“Pendidikan tidak hanya mengubah cara berpikir seseorang, tapi juga menentukan cara ia melihat rakyat dan negara. Legislatif yang berpendidikan baik cenderung lebih terbuka terhadap data, ilmu, dan kebenaran objektif. Itu yang membuat kebijakan lebih rasional dan berkelanjutan,” ujarnya dalam sebuah seminar nasional di Surabaya.

Pada akhirnya, perdebatan tentang syarat pendidikan anggota DPR bukan sekadar soal administrasi, melainkan soal arah moral dan intelektual bangsa. 

Menaikkan standar berarti menanamkan keyakinan bahwa politik bukan ruang sembarangan ia adalah tanggung jawab besar yang memerlukan kesiapan pengetahuan dan karakter. 

Di tengah derasnya arus informasi dan kompleksitas global, sudah saatnya parlemen diisi oleh mereka yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga memahami apa yang mereka perjuangkan.

Jika pendidikan adalah cermin masa depan bangsa, maka legislatif adalah wajah yang memantulkannya. Menyiapkan calon anggota DPR yang berpendidikan tinggi bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan investasi jangka panjang bagi kualitas demokrasi Indonesia.

Sumber  berita:

• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

• Zainal A. Mochtar, Pendidikan dan Kualitas Demokrasi di Indonesia, Jurnal Hukum Tata Negara UGM, 2024.

• Indikator Politik Indonesia,  Survei Nasional Persepsi Publik terhadap Calon Legislatif 2025 , September 2025.

• Nurhayati Rahman,  Inklusivitas dan Kecerdasan Politik , Jurnal Sosiologi Indonesia, Vol. 12 No. 3, 2023.

• Yudi Latif,  Moralitas dan Nalar Politik di Era Modern, Seminar Nasional Universitas Airlangga, 2024.

Kategori :