KORANRM.ID - Seiring dengan meningkatnya populasi global dan meningkatnya tekanan terhadap sumber daya pangan konvensional, dunia semakin mencari solusi inovatif untuk memenuhi kebutuhan makanan di masa depan. Dengan perubahan iklim yang mengancam hasil panen, meningkatnya permintaan akan protein, serta dampak lingkungan yang dihasilkan oleh industri peternakan, serangga dan daging buatan mulai dianggap sebagai alternatif yang layak. Namun, apakah kita benar-benar siap untuk mengubah pola makan kita? Bagaimana masyarakat akan menerima makanan-makanan ini? Dan apakah teknologi dapat membuat makanan masa depan ini lebih layak dikonsumsi secara luas?
Saat ini, sistem produksi pangan menghadapi tantangan besar. Lahan pertanian semakin terbatas, air bersih semakin sulit diakses, dan emisi gas rumah kaca dari industri peternakan terus meningkat. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan bahwa permintaan global akan protein hewani akan meningkat hingga 70% pada tahun 2050. Namun, dengan keterbatasan sumber daya, memenuhi kebutuhan ini melalui cara konvensional akan sangat sulit dan tidak berkelanjutan.
BACA JUGA:Gulai Telur Ikan Perpaduan Lezat yang Menggoda Selera
BACA JUGA:Kimchi Daun Bawang Sensasi Pedas dan Segar yang Menggoda
Industri peternakan, misalnya, bertanggung jawab atas sekitar 14,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Selain itu, dibutuhkan sekitar 15.000 liter air untuk menghasilkan satu kilogram daging sapi, dibandingkan dengan hanya 2.000 liter untuk satu kilogram kacang-kacangan. Dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap krisis lingkungan, para ilmuwan dan perusahaan makanan mulai mencari alternatif yang lebih ramah lingkungan dan efisien dalam menyediakan nutrisi yang sama.
Meskipun bagi banyak orang di dunia Barat gagasan mengonsumsi serangga masih terasa asing, serangga telah menjadi bagian dari makanan sehari-hari di berbagai budaya selama berabad-abad. Di Thailand, Meksiko, dan beberapa negara Afrika, jangkrik, ulat sagu, dan belalang sering dikonsumsi sebagai camilan kaya protein. FAO mencatat bahwa lebih dari 2 miliar orang di dunia secara rutin mengonsumsi serangga sebagai bagian dari makanan mereka.
Serangga memiliki keunggulan dibandingkan sumber protein hewani konvensional. Misalnya, jangkrik mengandung sekitar 60-70% protein dalam berat keringnya, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi yang hanya mengandung sekitar 25%. Selain itu, serangga juga kaya akan asam lemak esensial, serat, serta vitamin dan mineral seperti zat besi dan zinc.
BACA JUGA:Sayur Bening Bayam Jagung Sederhana, Sehat, dan Menggugah Selera
Keuntungan lain dari budidaya serangga adalah dampak lingkungannya yang jauh lebih rendah dibandingkan peternakan konvensional. Serangga membutuhkan lebih sedikit lahan, air, dan pakan, serta menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca. Sebagai contoh, jangkrik hanya membutuhkan seperdelapan pakan yang diperlukan oleh sapi untuk menghasilkan jumlah protein yang sama.
Namun, tantangan utama dari adopsi serangga sebagai makanan sehari-hari adalah persepsi budaya dan psikologis. Banyak orang di negara-negara Barat merasa jijik atau skeptis terhadap gagasan makan serangga. Oleh karena itu, perusahaan makanan mulai mengembangkan produk berbasis serangga dalam bentuk yang lebih dapat diterima, seperti tepung jangkrik yang dapat digunakan dalam roti, pasta, atau protein bar, sehingga konsumen tidak harus melihat bentuk asli serangga tersebut.
Selain serangga, daging buatan atau cultured meat juga menjadi salah satu inovasi terbesar dalam industri pangan. Daging buatan ini dibuat dengan menumbuhkan sel hewan dalam laboratorium tanpa harus membunuh hewan secara langsung. Proses ini dimulai dengan mengambil sampel sel dari hewan, kemudian menumbuhkannya dalam medium kaya nutrisi hingga membentuk jaringan otot yang menyerupai daging asli.
BACA JUGA:Semut Bersarang di Rumah? Ini 6 Cara Ampuh untuk Mengusirnya Secara Tuntas!
Keunggulan utama dari daging buatan adalah dampak lingkungannya yang jauh lebih rendah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa produksi daging buatan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 96% dibandingkan dengan peternakan tradisional. Selain itu, penggunaan lahan dan air juga berkurang secara drastis, mengingat daging ini dapat diproduksi di laboratorium tanpa memerlukan padang rumput atau pakan ternak dalam jumlah besar.
Daging buatan juga menawarkan potensi untuk mengurangi penggunaan antibiotik dan hormon dalam industri peternakan, yang sering dikaitkan dengan resistensi antibiotik pada manusia. Selain itu, dengan pengawasan yang ketat dalam laboratorium, risiko kontaminasi patogen seperti E. coli atau Salmonella dapat diminimalkan.
BACA JUGA:Trik Simpan Kemangi Segar agar Tahan Lama, Tetap Harum hingga Buka Puasa dan Sahur!
Namun, daging buatan masih menghadapi beberapa tantangan. Biaya produksi yang tinggi menjadi salah satu hambatan utama. Meskipun harga daging laboratorium telah menurun sejak pertama kali dikembangkan pada tahun 2013—dari sekitar $300.000 per burger menjadi kurang dari $10 dalam beberapa kasus—produksi massal masih memerlukan teknologi yang lebih efisien agar dapat bersaing dengan daging konvensional.
Selain itu, adopsi konsumen masih menjadi tantangan besar. Beberapa orang skeptis terhadap keamanan dan rasa daging buatan, meskipun para ilmuwan terus mengembangkan teknik untuk menciptakan tekstur dan rasa yang lebih mendekati daging alami.
Makanan berbasis serangga dan daging buatan hanyalah dua dari banyak inovasi dalam industri pangan. Alternatif lain seperti protein berbasis tanaman (plant-based meat), mikroalga, dan makanan berbasis fermentasi juga semakin populer. Perusahaan seperti Beyond Meat dan Impossible Foods telah berhasil menciptakan burger berbasis tanaman yang menyerupai daging asli, menarik perhatian konsumen yang ingin mengurangi konsumsi daging tanpa mengorbankan rasa.
Di masa depan, teknologi pangan akan semakin berkembang dengan personalisasi yang lebih tinggi. Dengan analisis DNA dan kecerdasan buatan, kita mungkin bisa memiliki pola makan yang disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi individu. Selain itu, teknologi seperti pencetakan 3D makanan dapat memungkinkan kita menciptakan makanan dengan bentuk, rasa, dan kandungan gizi yang disesuaikan dengan preferensi kita.
Meskipun serangga dan daging buatan memiliki potensi besar sebagai solusi makanan masa depan, tantangan dalam hal penerimaan masyarakat, regulasi, dan produksi massal masih harus diatasi. Perubahan pola makan membutuhkan waktu dan edukasi yang tepat agar masyarakat bisa menerima alternatif makanan ini sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan keberlanjutan dan dampak lingkungan dari industri pangan tradisional, kemungkinan besar kita akan melihat perubahan besar dalam cara kita mengonsumsi makanan. Dalam beberapa dekade ke depan, makanan berbasis serangga dan daging buatan mungkin tidak lagi dianggap sebagai hal aneh, melainkan sebagai bagian normal dari diet manusia.
Referensi:
• Food and Agriculture Organization (FAO). (2013). Edible Insects: Future Prospects for Food and Feed Security.
• Good Food Institute. (2022). The State of Cultivated Meat Industry.
• Post, M. J. (2014). Cultured Meat from Stem Cells: Challenges and Prospects.
• van Huis, A. (2020). Insects as Food: Why the World is Turning to Edible Bugs.
• Beyond Meat & Impossible Foods Reports. (2023). The Rise of Plant-Based Protein Industry.
Kategori :