Corak Hukum Adat dalam Tradisi Lisan Pribahasa Adat Jambi

HMI Jambi.--ISTIMEWA

Opini Oleh: Yasir Hasbi

TRADISI lisan merupakan warisan masyarakat secara turun-temurun yang mempresentasikan berbagai bentuk kebudayaan dari masyarakat penuturnya. Pada dasarnya tradisi lisan berfungsi sebagai cerminan harapan, kepercayaan, perilaku, cita-cita, pemimpin yang adil.

Tradisi lisan digunakan sebagai alat pendidikan, untuk memberikan pengetahuan, pengertian, dan pemahaman terhadap nilai-nilai yang  hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Tradisi lisan juga digunakan untuk mengontrol norma-norma, aturan-aturan atau hukum-hukum yang berlaku di dalam masyarakat. 

Tradisi merupakan sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun-temurun; menurut tradisi (adat). Sementara adat merupakan aturan (perbuatan, dsb) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; kebiasaan atau cara yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lainnya. Tradisi ini disampaikan secara yang lebih dikenal dengan sebutan tradisi lisan (oral tradition). Tradisi lisan merupakan warisan kebudayaan masyarakat suatu daerah secara turun-temurun yang dilakukan secara lisan. 

BACA JUGA:Golkar 5 Kursi, Choirul Huda Tetap Ajak Parpol Lain Berkoalisi di Pilkada

Masyarakat Indonesia memiliki beragam suku dan ras. Di dalam tradisi masyarakat, ada aturan-aturan (hukum) yang diterapkan kehidupan pada masyarakat tersebut. Aturan ini harus dihormati oleh siapa saja yang ada dalam masyarakat tersebut maupun yang mengunjungi atau menjadi bagian dari masyarakat itu.

Seringkali hukum ini disertai dengan adanya sanksi yang beragam, mulai dari adanya teguran sampai dengan dikucilkan oleh masyarakat. Biasanya hukum seperti ini terlahir turun-temurun dan sudah menjadi tradisi dari masyarakat tersebut. Aturan-aturan ini lebih dikenal dengan istilah hukum adat. 

Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang mengatur tingkah laku manusia antara satu sama lain yang lazim dilakukan di suatu kelompok masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun dari pengkalan-pengkalan sejarah yang masih berjalan dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat adat yang memiliki dukungan tertinggi dalam komunitas adat tersebut.

Adat yang memiliki sanksi disebut dengan hukum adat sedangkan yang tidak memiliki sanksi disebut dengan kebiasaan. Adat istiadat merupakan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. Pelanggaran terhadap adat istiadat ini akan menerima sanksi yang keras dari anggota lainnya.

BACA JUGA:Rapat Pleno KPU Mukomuko Target 4 Hari Clear

Aturan-aturan hukum ini tertuang dalam peribahasa adat Jambi yang lebih dikenal dengan sebutan seloko adat merupakan ungkapan yang mengandung pesan, amanat petuah, atau nasihat yang bernilai etik dan moral, serta sebagai alat pemaksa dan pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi. Isi ungkapan seloko adat Jambi meliputi peraturan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya dan kaidah-kaidah hukum atau norma-norma, senantiasa ditaati dan dihormati oleh masyarakatnya yang diwariskan secara turun-temurun.

Peribahasa banyak digunakan dalam kehidupan keseharian orang pada masa dulu dan diturunkan dari generasi ke generasi, karena dianggap sebagai jalan yang paling mudah bagi mereka untuk memberi nasihat, teguran atau sindiran. Demikian sebaliknya, isinya mudah ditangkap oleh pihak yang dinasihati. Bila diselidiki isi dan jiwa yang terkandung didalamnya, maka banyak bahan yang dapat diambil dari sejarah, sosial dan makna kehidupan mereka pada masa itu. 

BACA JUGA:DBD di Wonosobo Makan Korban Jiwa

Peribahasa sebagai tradisi lisan mengandung 1) nasihat, peringatan, atau sindiran (2) berupa ajaran dari orang-orang tua, dan (3) kadang-kadang merupakan undang-undang dalam masyarakat. Menurut Kridalaksana dalam Jaizah menyatakan bahwa peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat yang bersifat turun-temurun, digunakan untuk menguatkan maksud karangan, pemberi nasihat, pengajaran atau pedoman hidup. Peribahasa juga dapat diartikan sebagai sebuah rumusan dari kebijaksanaan masyarakat yang menunjukkan adanya sikap waspada yang berkaitan dengan moral dan kebajikan hidup yang sangat berguna untuk menghadap hidup dan kehidupan.

Kajian peribahasa pada dasarnya merupakan salah satu kajian linguistik yang berkaitan erat dengan penggunaan ungkapan atau kiasan linguistik yang termasuk dalam kajian metafora (ungkapan). Kajian ini meliputi ungkapan yang bersifat universal dan yang terikat budaya. Peribahasa merupakan ungkapan yang mengandung nasihat, ajaran-ajaran dari orang tua. Sedangkan peribahasa adalah kalimat atau kelompok perkataan yang tetap susunannya dan biasanya mengkiaskan suatu maksud tertentu, termasuk juga ungkapan dan perumpamaan.

Secara universal, peribahasa mempunyai medan semantik yang sama pada sebagian besar budaya baik lambang maupun makna yang dimaksud. Sedangkan peribahasa yang terikat budaya merupakan ungkapan medan semantik untuk lambang dan maknanya hanya pada satu budaya tertentu.

BACA JUGA:RSUD Mukomuko Bakal Menjadi UPTD

Peribahasa yang bersifat universal, persepsi bentuk metafora dapat dikategorikan berdasarkan persepsi manusia secara umum untuk memetakan hubungan yang sistematis antara lambang yang dipakai dalam ungkapan dengan makna yang dimasudkan. Peribahasa yang terikat budaya diasumsikan bahwa penutur suatu bahasa memiliki keterikatan yang erat dengan lingkungan fisik dan budaya yang dimilikinya serta berbeda dengan penutur bahasa yang berbeda.

Peribahasa terikat budaya, terikat dengan kebiasaan-kebiasaan sesorang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat mengisyaratkan aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat tersebut. Aturan-aturan ini lebih dikenal dengan istilah hukum adat.

Budaya sangat sejalan dengan kearifan lokal dan hukum adat masyarakat di suatu daerah termasuk dalam hal ini di Kabupaten Merangin. Menurut Koentjaraningrat dalam Chandra mengatakan bahwa Hukum adat memerlukan ilmu antropologi hukum, terutama mengenai metode-metode penelitiannya, agar dapat mengkaji dan meneliti tentang latar belakang hukum adat yang berlaku di suatu daerah.

Corak hukum yang terdapat dalam tradisi lisan peribahasa Jambi meliputi corak kebersamaan. 

BACA JUGA:Memasuki Purna Tugas, Kasi Ekobang Kecamatan Penarik Pamitan

Dalam kehidupan bermasyarakat corak kebersamaan mengisyaratkan adanya toleransi dan kepedulian terhadap anggota masyarakat lain. Corak lain yang ditemukan adalah corak musyawarah dan mufakat. 

Dalam mengambil suatu keputusan dalam memecahkan suatu permasalahan perlu dilakukan perundingan untuk mencapai kata mufakat

Corak lain yang ditemukan adalah corak tradisional dan corak visual. Kedua corak ini memberikan gambaran bahwa dalam melakukan tindakan dalam kehidupan bermasyarakat harus dilihat acuan yang sudah dilakukan secara turun-temurun. 

Keputusan yang diambil harus jelas dan berwujud, transparan serta terbuka. Dengan demikian seluruh anggota bisa menjalani hasil keputusan tersebut.*

Tag
Share