Tsalis Fatna dan Rekan: Mahasiswa Penggugat Presidential Threshold 20% yang Sukses di MK
Tsalis Fatna dan Rekan Mahasiswa Penggugat Presidential Threshold 20% yang Sukses di MK.--screnshoot dari web
radarmukomukobacakoran.com-Pada 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia mencatatkan sejarah penting dalam dunia demokrasi Indonesia, yang tidak hanya melibatkan elite politik, tetapi juga melibatkan seorang mahasiswa dan timnya yang sukses menggugat sebuah ketentuan hukum yang dianggap menghalangi akses partai politik untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Penggugatnya adalah Tsalis Fatna, seorang mahasiswa yang bersama timnya berhasil menggugat ketentuan presidential threshold (PT) 20% yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu (UU Pemilu). Keputusan MK ini menjadi titik balik dalam perjuangan hukum yang memperjuangkan sistem pemilu yang lebih adil dan terbuka.
Presidential threshold adalah ambang batas jumlah suara yang harus diperoleh sebuah partai politik untuk dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Pada pemilu 2019, ketentuan ini ditetapkan sebesar 20% kursi di DPR atau 25% suara nasional. Dengan demikian, hanya partai politik yang memiliki perolehan suara signifikan yang dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden mereka.
BACA JUGA:Grand Prismatic Spring Pelangi Tersembunyi di Yellowstone
BACA JUGA:Raja Hutan di Rumah, Mengenal Lebih Dekat Kucing Maine Coon
Bagi sebagian kalangan, ketentuan ini dianggap sebagai sebuah pembatasan bagi partai-partai kecil dan koalisi untuk mengusung calon presiden alternatif. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan mereka yang merasa bahwa presidential threshold yang tinggi tersebut tidak mencerminkan semangat demokrasi yang inklusif, yang seharusnya memberi ruang bagi lebih banyak pihak untuk berkompetisi dalam pemilu.
Tsalis Fatna, seorang mahasiswa Fakultas Hukum di salah satu universitas terkemuka di Indonesia, bersama sejumlah rekannya, menggugat presidential threshold 20% yang terkandung dalam Pasal 222 UU Pemilu 2017 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tsalis yang masih muda ini, memulai perjuangannya dengan keyakinan bahwa ketentuan PT 20% tidak hanya tidak adil, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dalam UUD 1945 yang menjamin hak rakyat untuk memilih dan dipilih tanpa ada pembatasan yang tidak wajar.
Dalam gugatannya, Tsalis Fatna dan timnya berargumen bahwa ketentuan PT 20% menyebabkan fragmentasi politik yang lebih besar dan menghambat perkembangan demokrasi yang lebih sehat di Indonesia. Mereka juga menganggap bahwa angka ambang batas yang tinggi tersebut menciptakan ketimpangan dan ketidaksetaraan dalam kompetisi politik, yang pada akhirnya dapat mengarah pada dominasi segelintir elit politik dan merugikan partai politik yang lebih kecil atau baru berkembang.
Setelah melalui proses persidangan yang panjang, pada 2024, MK akhirnya memutuskan untuk mengabulkan gugatan Tsalis Fatna dan rekan-rekannya. Majelis hakim MK memutuskan bahwa ketentuan presidential threshold 20% dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak sesuai dengan prinsip keadilan serta hak konstitusional rakyat untuk berpartisipasi dalam pemilu tanpa pembatasan yang berlebihan.
Putusan ini mengharuskan pemerintah dan DPR untuk merevisi ketentuan dalam UU Pemilu tersebut, yang membuka jalan bagi calon presiden dan wakil presiden untuk lebih beragam, bahkan dari partai-partai politik kecil yang sebelumnya tidak dapat mengusung calon presiden mereka sendiri karena terbentur oleh ambang batas yang tinggi. Keputusan ini dianggap sebagai kemenangan bagi demokrasi Indonesia, karena membuka peluang bagi lebih banyak alternatif calon yang bisa berkompetisi dalam Pemilu.
Sebagai penggugat utama, Tsalis Fatna memperoleh sorotan luas dari media dan masyarakat. Aksi mahasiswa ini bukan hanya menarik perhatian dunia akademis, tetapi juga menginspirasi gerakan-gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya yang memperjuangkan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam sistem politik Indonesia.
Tsalis tidak hanya dianggap sebagai seorang mahasiswa biasa, tetapi lebih sebagai simbol perlawanan terhadap praktik politik yang dianggap tidak adil dan tidak demokratis. Keberhasilannya menggugat PT 20% menjadi bukti bahwa meskipun berasal dari kalangan muda, mereka bisa memberi dampak besar dalam perubahan sosial dan politik.
Dalam berbagai kesempatan, Tsalis menyampaikan bahwa gugatannya bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi untuk kepentingan rakyat Indonesia secara umum. Ia menegaskan bahwa keputusan MK adalah kemenangan bagi rakyat Indonesia, yang berhak mendapatkan pilihan politik yang lebih luas dan adil.
BACA JUGA:5 Kesalahan Fatal Saat Bertemu Orang Baru & Cara Mengatasinya
BACA JUGA:Giliran Honorer RSUD Mukomuko yang Bakal Dirumahkan
Keputusan MK ini membawa dampak yang sangat besar terhadap sistem pemilu di Indonesia. Dengan penghapusan atau pengurangan ambang batas 20%, maka lebih banyak partai politik atau koalisi partai dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini tentunya akan membuat Pemilu 2024 menjadi lebih dinamis dengan banyaknya calon presiden yang dapat bersaing.
Pihak yang mendukung keputusan ini juga melihatnya sebagai langkah positif untuk memperkuat demokrasi di Indonesia. Mereka percaya bahwa pemilu yang lebih terbuka dan inklusif akan memberikan kesempatan kepada lebih banyak individu dan kelompok untuk menyuarakan aspirasi mereka tanpa terhambat oleh ambang batas yang tinggi.
Namun, di sisi lain, ada pula yang mengkhawatirkan bahwa pengurangan ambang batas PT dapat memunculkan lebih banyak calon presiden yang tidak siap secara politik dan administratif, yang pada akhirnya dapat memperburuk kualitas pemilu dan pemerintahan. Mereka berargumen bahwa kualitas calon yang diajukan partai-partai kecil mungkin kurang teruji dibandingkan calon dari partai besar yang memiliki dukungan kuat.
Keputusan MK ini mendapatkan berbagai reaksi dari masyarakat, mulai dari kalangan akademisi, pengamat politik, hingga masyarakat umum. Banyak yang menyambut gembira keputusan ini sebagai langkah maju dalam memperkuat demokrasi, sementara ada pula yang mengkritiknya karena menganggapnya dapat menambah kompleksitas dalam pemilu.
Ke depan, keputusan ini akan berdampak pada reformasi politik di Indonesia, terutama dalam hal pembentukan koalisi dan pencalonan presiden. Partai-partai politik kini perlu menyesuaikan strategi mereka dalam menghadapi Pemilu 2024, dengan mempertimbangkan kemungkinan munculnya lebih banyak kandidat dari berbagai latar belakang dan partai.
Tsalis Fatna dan rekannya telah menunjukkan bahwa melalui jalur hukum dan perjuangan konstitusional, bahkan seorang mahasiswa sekalipun dapat mempengaruhi sistem politik di negara besar seperti Indonesia. Keberhasilan mereka menggugat ketentuan presidential threshold 20% adalah bukti bahwa setiap warga negara, tanpa memandang usia dan latar belakang, memiliki hak untuk memperjuangkan keadilan dan hak konstitusional mereka.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini membawa angin segar bagi sistem demokrasi Indonesia dan memberikan harapan baru bagi perkembangan politik yang lebih inklusif dan demokratis di masa depan.
Referensi:
1. Kompas.com, "Gugatan Tsalis Fatna, Mahasiswa yang Gugat Presidential Threshold 20%", 2024.
2. Detik.com, "MK Putuskan Presidential Threshold 20% Tidak Konstitusional", 2024.
3. Jakarta Post, "Tsalis Fatna: Mahasiswa Penggugat PT 20% yang Berhasil Menyentuh MK", 2024.