Sengaja Mengurangi Timbangan dan Takaran dalam Bisnis ini Ancaman dan Azab Allah

Ilustrasi.-Ahmad Kartubi-Sceenshot

koranrm.id - Di tengah hiruk pikuk aktivitas ekonomi masyarakat, dari  pasar tradisional dan pusat perdagangan . Di sanalah kebutuhan hidup dipenuhi, rezeki dicari, dan kepercayaan dipertaruhkan. 

Namun, di balik transaksi yang tampak sederhana, terselip praktik yang kerap luput dari perhatian tetapi berdampak besar, yakni mengurangi timbangan dan takaran. Perbuatan ini tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga mengguncang sendi moral dan nilai keadilan yang menjadi fondasi muamalah dalam Islam.

Fenomena tersebut semakin terasa pada masa kini. Ustad Mustamirudin, Lc., saat dihubungi melalui telepon, mengungkapkan keprihatinannya atas praktik curang yang masih marak terjadi di berbagai sektor perdagangan. 

Ia mencontohkan penjualan sembako seperti gula yang diklaim satu kilogram, namun sengaja dikurangi beberapa gram. “Itu sudah termasuk mengurangi timbangan,” ujarnya tegas. Praktik serupa, lanjutnya, juga terjadi pada hasil bumi seperti penjualan buah sawit dan getah karet, di mana timbangan yang belum stabil sengaja diturunkan demi keuntungan sepihak.

Dalam pandangan Islam, jual beli bukan sekadar pertukaran barang dan uang. Ia adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan dan kejujuran kedua belah pihak. Ustad Mustamirudin menegaskan bahwa akad jual beli seharusnya berlangsung dalam suasana senang sama senang, tanpa ada unsur penipuan yang tersembunyi. 

Ketika timbangan dan takaran dimanipulasi, maka rusaklah akad tersebut, dan hilanglah keberkahan yang diharapkan dari rezeki yang diperoleh.

Larangan mengurangi timbangan dan takaran bukanlah sekadar nasihat moral, melainkan ketetapan tegas dalam Al-Qur’an. Allah SWT memperingatkan dengan sangat keras dalam Surah Al-Muthaffifin ayat 1 sampai 3 tentang celaka bagi orang-orang yang curang, yaitu mereka yang meminta dipenuhi timbangan ketika menerima, namun mengurangi saat memberi. 

Ayat ini, menurut Ustad Mustamirudin, menjadi peringatan abadi yang relevan sepanjang zaman, karena menyentuh langsung praktik ekonomi umat.

Selain Al-Qur’an, ancaman terhadap pelaku kecurangan timbangan juga ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW. Ustad Mustamirudin mengutip hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang menekankan pentingnya kejujuran dalam muamalah, serta hadis riwayat Abu Daud dan Tirmidzi yang menjelaskan bahwa perbuatan curang dalam takaran dan timbangan dapat mengundang bencana dan azab Allah.

“Ini bukan ancaman kosong. Dalam sejarah umat terdahulu, kecurangan dalam timbangan menjadi sebab turunnya musibah dan kehancuran,” tuturnya.

Praktik mengurangi timbangan, baik dalam perdagangan sembako maupun hasil pertanian, sering kali dianggap sepele karena selisihnya kecil. Namun, dalam perspektif Islam, sekecil apa pun kecurangan tetaplah kecurangan. 

Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pembeli yang dirugikan, tetapi juga oleh pelaku itu sendiri, karena rezeki yang diperoleh kehilangan keberkahan. Dalam jangka panjang, budaya curang akan merusak kepercayaan publik, melemahkan perekonomian rakyat kecil, dan menumbuhkan ketidakadilan struktural.

Ustad Mustamirudin menekankan bahwa pedagang sejatinya memegang amanah. Timbangan dan takaran adalah simbol keadilan dalam bisnis. Ketika amanah itu dikhianati, maka hubungan sosial antara penjual dan pembeli ikut tercemar. 

Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, menempatkan kejujuran sebagai pilar utama dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk ekonomi. Oleh karena itu, keuntungan yang diperoleh dengan cara menipu tidak akan membawa ketenangan, melainkan kegelisahan dan pertanggungjawaban berat di hadapan Allah SWT.

Sumber berita:

1. Al-Qur’an Al-Karim, Surah Al-Muthaffifin ayat 1–3.

2. Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Bab Kejujuran dalam Muamalah.

3. Sunan Abu Daud, hadis tentang larangan kecurangan timbangan.

4. Sunan Tirmidzi, hadis mengenai dampak mengurangi takaran dan timbangan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan