Faktor Ini Penyebab Banyak Orang Mengeluh Urinnya Berbusa

Ilustrasi--screnshoot dari web

koranrm.id - Pagi itu, Ahmad  (54), seorang karyawan swasta di Kab Mukomuko, memperhatikan sesuatu yang tak biasa ketika hendak berangkat kerja. 

Saat buang air kecil, ia melihat air seninya berbusa lebih banyak dari biasanya. Awalnya dianggap sepele, namun setelah berulang kali terjadi, kegelisahan mulai tumbuh. “Saya kira karena tekanan airnya kuat atau karena kurang minum. 

Tapi lama-lama busanya tetap ada,” ujarnya. Ia pun memutuskan memeriksakan diri ke dokter. Dari sana, barulah diketahui bahwa gejala sederhana itu bisa menjadi tanda gangguan serius pada ginjalnya.

Fenomena urin berbusa kerap dianggap hal remeh oleh banyak orang. Padahal, di balik busa yang tampak ringan di permukaan, bisa tersimpan tanda-tanda gangguan metabolik dan fungsi organ vital. 

Dalam catatan Dinas Kesehatan, keluhan serupa semakin banyak ditemukan di fasilitas pelayanan primer, terutama pada kelompok usia produktif. Perubahan pola makan, gaya hidup, serta tingkat stres yang tinggi disebut sebagai faktor pemicu utama meningkatnya kasus tersebut.

Menurut dr. Hendra Putra, Sp.U, dokter spesialis urologi di RSUD M. Yunus Bengkulu, urin berbusa tidak selalu berbahaya, tetapi bisa menjadi indikator adanya protein dalam urine atau proteinuria. 

“Secara normal, urin memang bisa sedikit berbusa jika keluar dengan tekanan tinggi. Tapi kalau busanya bertahan lama, pekat, dan sering terjadi, itu tanda ada kebocoran protein dari ginjal. Ginjal tidak lagi mampu menyaring dengan baik,” jelasnya.

Ginjal, organ kecil berbentuk seperti kacang merah itu, berfungsi menyaring limbah dan menjaga keseimbangan cairan serta elektrolit dalam tubuh. Ketika lapisan penyaringnya rusak, protein yang seharusnya tetap berada dalam darah ikut keluar bersama urine. 

Kondisi inilah yang membuat air seni berbusa. “Biasanya disertai gejala lain seperti pembengkakan di kaki, cepat lelah, atau tekanan darah tinggi,” tambah dr. Hendra.

Selain gangguan ginjal, faktor lain yang dapat menyebabkan urin berbusa adalah dehidrasi. Tubuh yang kekurangan cairan membuat urine menjadi lebih pekat, sehingga buih tampak lebih banyak. 

“Banyak pasien datang dalam kondisi kekurangan cairan. Mereka minum hanya ketika haus, padahal kebutuhan air dalam sehari bisa mencapai dua liter,” kata dr. Nita Aryani, Sp.PD, dokter penyakit dalam yang juga menangani banyak kasus metabolik di Bengkulu Selatan. 

Ia menambahkan bahwa konsumsi makanan tinggi protein seperti daging merah, telur, dan suplemen protein juga dapat menyebabkan busa sementara dalam urine. “Kalau ini sifatnya fisiologis, biasanya akan hilang setelah hidrasi cukup dan pola makan seimbang,” jelasnya.

Namun, persoalan tak berhenti di sana. Dalam beberapa kasus, urin berbusa juga menjadi sinyal awal penyakit sistemik seperti diabetes mellitus. Kadar gula darah tinggi dalam waktu lama dapat merusak pembuluh darah kecil di ginjal, sehingga protein lebih mudah bocor. 

“Pasien diabetes kronis sangat rentan mengalami gangguan ginjal tanpa disadari. Kadang mereka baru tahu setelah muncul gejala seperti ini,” ujar dr. Nita. 

Ia menyarankan agar setiap orang rutin melakukan pemeriksaan urine minimal setahun sekali, terutama bagi mereka yang memiliki faktor risiko seperti obesitas, tekanan darah tinggi, atau riwayat keluarga dengan penyakit ginjal.

Gaya hidup modern yang cenderung sedentari turut memperparah keadaan. Banyak orang bekerja dalam posisi duduk seharian, kurang bergerak, dan mengonsumsi minuman manis secara berlebihan. 

“Kombinasi antara dehidrasi, stres, dan pola makan tidak sehat adalah bom waktu bagi fungsi ginjal,” ucap dr. Hendra. Ia mengingatkan bahwa ginjal adalah organ yang bekerja tanpa henti, dan ketika rusak, sering kali tidak menunjukkan gejala jelas sampai tahap lanjut.

Bagi sebagian masyarakat pedesaan, keluhan semacam ini kerap diatasi dengan ramuan tradisional tanpa pemeriksaan medis. 

Pak Sardi, petugas kesehatan lapangan dari Dinas Kesehatan Mukomuko, menyebut banyak warga menganggap air seni berbusa sebagai tanda kelelahan atau ‘masuk angin’. “Mereka biasanya minum rebusan daun meniran atau air kelapa muda. 

Kadang membaik, tapi bukan berarti penyebabnya hilang,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya edukasi agar masyarakat tidak menunda pemeriksaan ketika gejala tidak biasa muncul.

Penanganan urin berbusa bergantung pada penyebab dasarnya. Jika karena dehidrasi, cukup memperbanyak asupan air putih dan mengurangi makanan tinggi protein. 

Namun bila akibat kerusakan ginjal, pengobatan harus segera dilakukan melalui terapi medis. “Kalau kita temukan lebih awal, kerusakan ginjal bisa dikendalikan. Tapi kalau dibiarkan, bisa berujung pada gagal ginjal kronis yang membutuhkan cuci darah seumur hidup,” kata dr. Hendra dengan nada tegas.

Kesehatan sering kali baru disadari ketika tubuh memberi tanda-tanda kecil yang diabaikan. Padahal, tubuh memiliki bahasa tersendiri untuk berbicara dan urin berbusa adalah salah satunya. 

Sumber berita:

– Keterangan dr. Hendra Putra, Sp.U, RSUD M. Yunus Bengkulu, 2025

– Keterangan  dr. Nita Aryani, Sp.PD, dokter penyakit dalam Bengkulu Selatan

– Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, Laporan Kesehatan Metabolik dan Ginjal, 2024

– Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Deteksi Dini Penyakit Ginjal Kronis, 2023

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan