Wow, Upah Tukang di Mukomuko Lebih Tinggi dari Modal Fisik Bangunan

Ilustrasi--

koranrm.id - Fenomena ini kini menjadi perbincangan hangat di masyarakat Mukomuko, bagaimana sebuah rumah atau bangunan berdiri dengan modal terbesar bukan pada material, melainkan pada tenaga manusia yang membangunnya.

Mukomuko, kabupaten di ujung utara Bengkulu, sedang tumbuh dengan berbagai pembangunan. Jalan, rumah, hingga fasilitas publik bermunculan seiring meningkatnya kebutuhan. 

Di balik pertumbuhan itu, para tukang dan pekerja bangunan menjadi tulang punggung yang tak tergantikan. Mereka bekerja dari pagi hingga senja, memikul beban fisik yang berat, di bawah terik matahari atau hujan yang datang tiba-tiba.

Namun, jerih payah itu tidak datang tanpa harga. Upah tukang di Mukomuko kini terbilang tinggi dibanding daerah lain di sekitarnya. Menurut catatan lapangan, upah seorang tukang harian bisa mencapai Rp150.000 hingga Rp200.000 per hari, belum termasuk biaya makan dan tambahan lembur. Sementara pekerja atau kenek mendapat Rp100.000 hingga Rp150.000 per hari. Jika dikalkulasikan dalam pembangunan rumah sederhana, total biaya tenaga kerja bisa menelan lebih dari separuh anggaran, bahkan ada yang melebihi modal fisik bangunan itu sendiri.

Fenomena tingginya upah tukang di Mukomuko dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, ketersediaan tenaga kerja yang terbatas. Banyak anak muda memilih merantau ke kota besar atau bekerja di sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan. Akibatnya, jumlah tukang berpengalaman semakin sedikit, sementara kebutuhan pembangunan terus meningkat.

Kedua, tingginya biaya hidup di Mukomuko. Meski berada di daerah pesisir, harga kebutuhan pokok di Mukomuko relatif lebih mahal dibanding kota besar karena faktor distribusi barang. Tukang pun menyesuaikan tarif harian agar mampu menutupi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya.

Ketiga, standar sosial yang berkembang. Seiring meningkatnya penghasilan dari sektor lain seperti perkebunan sawit, tukang juga menyesuaikan tarifnya agar tidak tertinggal. Permintaan jasa mereka tetap tinggi meski harga naik, karena masyarakat tidak memiliki banyak pilihan lain selain menggunakan tenaga lokal yang tersedia.

Pak Surip, seorang kepala tukang yang sudah puluhan tahun bekerja di Mukomuko, mengakui bahwa ongkos kerja kini lebih tinggi daripada masa lalu. “Kalau dulu, satu rumah bisa jadi dengan ongkos separuh harga material. Sekarang terbalik, material lebih murah, tapi tukangnya mahal. Kami bukan mau mencekik, tapi kebutuhan hidup sekarang berat,” ujarnya sambil mengikat besi untuk fondasi rumah.

Di sisi lain, pemilik rumah seperti Pak Joni mengaku kewalahan. Ia sudah menabung bertahun-tahun untuk membangun rumah sederhana di tanah warisan. Namun ketika anggaran dihitung, ongkos tukang mencapai 60 persen dari total biaya. “Saya pikir modal besar itu untuk beli semen, pasir, bata. Rupanya lebih besar untuk bayar tukang,” ucapnya dengan nada pasrah.

Kisah ini menggambarkan realitas yang kini menjadi tren di Mukomuko: biaya membayar tenaga kerja lebih besar daripada biaya membeli bahan bangunan.

Jika dibandingkan dengan Bengkulu Kota atau Padang, upah tukang di Mukomuko terbilang lebih tinggi kenek bisa rp 200.000 tukang bisa 250.000 dengan durasi kerja tidak sampai 8 jam  terkadang baru azan asar sudah berkemas.  Sedangkan di Bengkulu Kota, rata-rata tukang dibayar Rp120.000–Rp150.000 per hari. Sementara di Padang, kisarannya Rp100.000–Rp130.000. Perbedaan ini cukup signifikan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Faktor geografis turut memengaruhi. Mukomuko yang relatif jauh dari pusat kota besar membuat mobilitas tenaga kerja rendah. Tukang dari luar daerah jarang mau datang karena biaya perjalanan dan akomodasi tidak sebanding dengan upah tambahan yang mereka dapatkan. Akhirnya, pasar jasa konstruksi lokal dikuasai oleh tenaga kerja setempat dengan tarif yang mereka tentukan.

Tingginya upah tukang di Mukomuko menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang cukup besar. Bagi masyarakat yang ingin membangun rumah, biaya menjadi jauh lebih tinggi. Tidak sedikit yang akhirnya menunda pembangunan atau memilih membangun secara bertahap, sekadar menyesuaikan kemampuan membayar tukang.

Bagi pemerintah daerah, fenomena ini juga berpengaruh terhadap proyek infrastruktur. Anggaran yang dialokasikan harus diperbesar untuk membayar tenaga kerja, sehingga ruang untuk pengadaan material atau peningkatan kualitas bangunan menjadi terbatas.

Namun, di sisi lain, tingginya upah juga membawa manfaat bagi tukang itu sendiri. Mereka bisa meningkatkan taraf hidup, menyekolahkan anak, dan memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Artinya, kenaikan tarif memberi dampak positif bagi kelompok pekerja, meski menjadi beban tambahan bagi konsumen jasa mereka.

Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Mukomuko telah menyoroti fenomena ini. Beberapa langkah strategis mulai didorong, antara lain pelatihan tenaga kerja baru agar ketersediaan tukang meningkat, sehingga persaingan pasar bisa menurunkan tarif ke tingkat yang lebih wajar. Selain itu, program pembangunan berbasis padat karya juga digulirkan, dengan melibatkan masyarakat sekitar agar biaya tenaga kerja tidak sepenuhnya ditentukan oleh pasar bebas.

Di sisi lain, masyarakat juga mulai beradaptasi. Ada yang memilih sistem borongan untuk menghemat biaya, di mana tukang dibayar per proyek, bukan per hari. Dengan cara ini, pemilik rumah bisa mengendalikan anggaran lebih baik, meski tetap ada risiko pekerjaan molor atau kualitas tidak sesuai harapan.

Upah tukang yang tinggi sesungguhnya mencerminkan nilai kerja keras yang selama ini sering diremehkan. Pekerja bangunan adalah aktor penting dalam setiap infrastruktur yang berdiri. Namun, jika ketidakseimbangan antara biaya tenaga kerja dan modal fisik dibiarkan berlarut-larut, maka pembangunan bisa tersendat dan kesejahteraan masyarakat yang ingin memiliki rumah layak bisa terhambat.

Di titik inilah kebijakan publik berperan. Pemerintah perlu hadir dengan regulasi dan program yang menyeimbangkan kebutuhan semua pihak. Di satu sisi, tukang tetap dihargai dengan upah yang layak. Di sisi lain, masyarakat tidak terbebani oleh biaya yang melampaui kemampuan.

Meski fenomena ini menimbulkan banyak keluhan, masyarakat Mukomuko tetap menyimpan harapan bahwa suatu saat biaya pembangunan bisa lebih rasional. Para tukang juga berharap ada program yang memberi jaminan sosial, pelatihan, dan akses lebih luas sehingga mereka tidak hanya bergantung pada tarif harian, melainkan bisa meningkatkan keterampilan dan daya saing.

Di warung kopi, topik upah tukang sering muncul dalam percakapan sehari-hari. Dari obrolan ringan itu terlihat betapa pentingnya isu ini dalam kehidupan masyarakat. Bagi sebagian orang, membangun rumah bukan sekadar soal dinding dan atap, tetapi juga tentang cita-cita dan kehormatan keluarga. Ketika biaya tenaga kerja menjadi penghalang, harapan itu terasa semakin berat diraih.

Sumber berita :

• Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Mukomuko. (2023). Laporan Infrastruktur dan Ketenagakerjaan Konstruksi.

• Media Cerak Bengkulu. (2023). Fenomena Upah Tukang di Mukomuko Melampaui Modal Bangunan.

• Rakyat Bengkulu. (2022). Tingginya Biaya Tenaga Kerja Konstruksi di Pesisir Mukomuko.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan